AYOBANDUNG.ID -- Bandung, kota kreatif yang menjadi magnet wisata dan pusat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat, kini menghadapi paradoks urban, yakni mobilitas yang stagnan di tengah geliat pembangunan.
Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, melainkan cermin dari tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya.
Data dari Dinas Perhubungan Kota Bandung tahun 2025 mencatat lebih dari 42 titik kemacetan kronis yang tersebar di pusat kota hingga kawasan penyangga. Jalan-jalan seperti Pasteur, Dago, dan Soekarno-Hatta menjadi langganan padat merayap, terutama pada akhir pekan dan jam sibuk.
Salah satu biang keladi yang terus berulang adalah praktik parkir liar. Meski Peraturan Daerah telah menetapkan zona larangan parkir, pelanggaran tetap marak. “Sudah ada Perda-nya tapi persoalannya adalah kepatuhan masyarakat,” ujar pengamat kebijakan publik dan tata kota, Yogi Suprayogi kepada Ayobandung.
Namun, menyalahkan masyarakat semata tak cukup. Yogi menekankan bahwa rendahnya kualitas transportasi publik turut memperparah ketergantungan warga pada kendaraan pribadi. “Transportasi publik yang mudah, aman, dan terpercaya masih minim. Akhirnya masyarakat memilih kendaraan pribadi atau transportasi online,” katanya.
Pertumbuhan kendaraan pribadi di Bandung mencapai 8% per tahun, sementara pertambahan panjang jalan hanya 1,2%. Ketimpangan ini menciptakan tekanan luar biasa pada infrastruktur yang sudah tua dan sempit.
Di sisi lain, upaya revitalisasi angkutan umum seperti Trans Metro Bandung dan rencana BRT Bandung Raya masih belum menjangkau kebutuhan riil warga. Pemerintah Kota Bandung sebenarnya telah menyusun Rencana Induk Transportasi Kota (RITK) yang memuat strategi jangka panjang.
Namun, implementasi di lapangan kerap tersendat oleh tumpang tindih kewenangan, keterbatasan anggaran, dan resistensi sosial. Yogi menilai bahwa solusi kemacetan Bandung harus dimulai dari perubahan paradigma.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan pembangunan fisik. Harus ada edukasi publik, insentif untuk pengguna transportasi umum, dan penegakan hukum yang konsisten,” ujarnya.
Parkir liar, menurutnya, adalah gejala dari sistem yang belum terintegrasi. Ketika kantong parkir terbatas dan transportasi umum tidak memadai, warga memilih opsi termudah yakni parkir sembarangan. “Itu bukan semata salah pemerintah atau swasta, tapi juga soal kesadaran kolektif,” tambah Yogi.

Bandung sebagai kota wisata juga menghadapi tekanan musiman. Lonjakan wisatawan saat libur panjang memperparah kemacetan. Tanpa manajemen lalu lintas berbasis data dan teknologi, kota ini akan terus terjebak dalam siklus stagnasi.
Salah satu pendekatan yang mulai diuji adalah sistem parkir elektronik dan pemantauan CCTV di titik rawan. Namun, efektivitasnya masih terbatas karena belum terintegrasi dengan sistem transportasi publik dan belum disertai sanksi yang tegas.
Yogi menyarankan agar Pemkot Bandung belajar dari kota-kota seperti Surabaya dan Semarang yang mulai sukses mengurangi kemacetan lewat integrasi moda, pembatasan kendaraan pribadi, dan insentif bagi pengguna angkutan umum.
"Intinya harus pula ada sosialisasi beralih ke transportasi publik. Jadi harus ada upaya dari pemerintah seperti dimodernisasi," katanya.
Pemerintah juga perlu melibatkan komunitas, kampus, dan sektor swasta dalam membangun budaya mobilitas baru. Kampanye publik, insentif tarif, dan digitalisasi layanan transportasi bisa menjadi pintu masuk perubahan perilaku.
“Tindakan tegas menurut saya juga diperlukan, itu bukan hanya untuk memberikan rasa jera tapi memberi contoh juga bagi yang lain jika dilakukan akan memberikan dampak," ujar Yogi.
Alternatif kebutuhan berkendaraan atau produk serupa: