Hikayat Hantu Dua Duo yang Gentayangan di Konflik Lahan Kota Bandung

Gilang Fathu Romadhan Redaksi
Ditulis oleh Gilang Fathu Romadhan , Redaksi diterbitkan Rabu 24 Sep 2025, 13:47 WIB
Puluhan warga Dago Elos yang tergabung dalam Forum Dago Melawan melakukan aksi memperingati hari buruh internasional atau MayDay di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Rabu 1 Mei 2024. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)

Puluhan warga Dago Elos yang tergabung dalam Forum Dago Melawan melakukan aksi memperingati hari buruh internasional atau MayDay di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Rabu 1 Mei 2024. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)

AYOBANDUNG.ID - Tampak ada yang aneh di Bandung belakangan ini. Di dua titik yang berjauhan, tiba-tiba warga harus mempertanyakan arti ‘rumah’. Sukahaji dan Dago Elos tak pernah meminta jadi medan perang, tapi konflik lahan menjadikannya demikian. Di dua lokasi ini, dua pasangan penggugat muncul seperti jagoan film laga. Mereka siap mengeksekusi, lengkap dengan dokumen, sejarah kolonial, dan perusahaan pengembang di belakangnya. Sementara itu, warga hanya punya satu hal: bertahan.

Dua duo ini beraksi dengan caranya masing-masing, Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar di Sukahaji, serta Duo Muller di Dago Elos, seakan menjadi hantu yang menggentayangi warga, menghantui mereka dengan klaim yang tak kunjung reda. Siapa yang benar? Siapa yang salah? Di balik deretan surat tanah, sertifikat hak milik, dan laporan pengadilan, ada ketegangan yang mendorong warga untuk bertahan, melawan, dan tak gentar dengan intimidasi yang datang.

Sukahaji: Ketegangan Tak Berujung

Sejak 2013, nama Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar sudah tak asing lagi di telinga warga Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay. Kedua pengusaha ini bukan datang untuk membuka pabrik atau mendirikan mall, tapi untuk mengklaim lahan seluas 7,5 hektare yang dihuni oleh warga. Tanah yang sejatinya sudah digarap oleh mereka sejak 1980-an, kini menjadi titik api pertarungan yang menyulut emosi.

Sumber ketegangan ini bukan hanya klaim atas tanah. Warga yang selama ini tinggal di sana menilai bahwa tanah yang mereka tempati adalah hak mereka. Mereka bekerja di sana, menanam, membangun rumah, dan bahkan membesarkan keluarga. Tak heran, ketika Junus dan Juliana datang dengan sertifikat yang mereka klaim sah, warga merasa terancam. Ancaman itu bukan hanya berupa kata-kata, tetapi tindakan.

Baca Juga: Hikayat Konflik Lahan yang Gusur SMAN 1 Kota Bandung: Berakar Sejak Era Kolonial

Bukan sekali dua kali perlawanan warga terjadi. Pada 21 April 2025, bentrokan terjadi lagi di Sukahaji. Siang itu, sekelompok pria kekar yang diduga dari ormas datang dengan niat memasang pagar seng di lahan yang dipersengketakan.

"Kalau ada yang melawan ibu-ibu, mau siapa aja, habisi aja pak, pokoknya kita kawal ini," ujar salah satu dari mereka, menurut saksi mata, Yuli, seorang ibu yang juga jadi korban dalam insiden tersebut.

Bayangkan ini: ibu-ibu yang lebih terbiasa memegang sapu atau penggorengan, kini berdiri di garis depan menahan pagar seng yang akan dipasang. Upaya warga untuk menahan pagar yang didirikan oleh pihak Junus dan Juliana berujung pada perlawanan fisik.

Yuli masih ingat betul bagaimana ia dipukul, didorong, bahkan dilempar batu oleh kelompok yang datang untuk memasang pagar.

"Sampai malam. Sampai ada petasan, ada samurai, akses jalan warga untuk keluar masuk ditutup. Terus ciri ormas itu pakai pita warna biru," ujar Yuli dengan nada kesal. Situasi mencekam ini bahkan membuat anak-anak, perempuan, hingga lansia turut merasakan dampaknya.

Di Sukahaji, Kota Bandung, hidup sehari-hari tak lepas dari ancaman kehilangan rumah. Dua Pengusaha Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar berupaya mengklaim 7,5 hektare lahan di sana. (Sumber: Ayobandung | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Di Sukahaji, Kota Bandung, hidup sehari-hari tak lepas dari ancaman kehilangan rumah. Dua Pengusaha Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar berupaya mengklaim 7,5 hektare lahan di sana. (Sumber: Ayobandung | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyayangkan peristiwa ini. Ia mengimbau agar semua pihak menghormati proses hukum yang tengah berlangsung. Namun, bagi Yuli dan warga Sukahaji, imbauan itu terasa hampa. "Kami butuh solusi nyata, bukan hanya uang kerohiman atau janji kosong,” kata Yuli dengan getir.

Bahkan, tawaran kompensasi sebesar Rp10 juta per kepala keluarga yang datang dari Pemkot Bandung pun dianggap bukan solusi yang diharapkan. Warga, menurutnya, hanya ingin kepastian hukum. Siapa yang berhak atas tanah itu?

Junus dan Juliana, melalui kuasa hukumnya, menegaskan bahwa mereka memiliki sertifikat hak milik dan dokumen yang sah. Namun, di mata warga, ini hanya sebatas dokumen fotokopi yang tak bisa menghapus kenyataan mereka telah menempati tanah tersebut selama lebni dari dua dekade.

Baca Juga: Jejak Sejarah Perlawanan Rakyat Bandung terhadap Kerja Paksa Kopi Era Kolonial

“Kalau klaim mereka sah, kenapa harus ada ormas yang datang?” kata Yuli tegas.

Sejak 30 Juli 2025, enam warga Sukahaji ditahan di Polda Jabar setelah memenuhi panggilan polisi. Mereka dituding melakukan pelanggaran hukum. Pada awal Agustus, Forum Sukahaji Melawan bersama LBH mengajukan penangguhan penahanan. Dukungan terus berdatangan lewat spanduk, orasi, dan aksi solidaritas, menuntut pembebasan dan kejelasan lahan.

Sewindu Berjalan Perjuangan Warga Dago Elos

Di sisi lain kota, suasana Dago Elos juga sempat amat panas. Sengketa di sana dimulai sejak 2017, ketika keluarga Muller mengklaim tanah seluas 6,3 hektare sebagai hak waris mereka. Tanah ini dahulu adalah milik George Hendrik Muller, seorang warga negara Jerman yang hidup di Indonesia pada masa kolonial. Menggunakan hukum warisan dari masa penjajahan, keluarga Muller menggugat warga yang telah lama tinggal di sana.

Klaim itu berakar pada dokumen Eigendom Verponding, sejenis sertifikat kepemilikan dari zaman kolonial Belanda. Mereka menyebut tanah itu dibeli oleh George Muller dari perusahaan bernama PT Tegel Semen Handeel Simoengan pada tahun 1936. Saat itu, lahan tersebut merupakan bekas pabrik tegel, tambang pasir, dan kebun kecil—jejak industrialisasi era kolonial yang kini tinggal serpihannya.

Tapi cerita warga berbeda. Mereka menyebut tanah itu pertama kali ditempati oleh Nini Karim dan beberapa keluarga lain pada tahun 1974. Dengan surat penempatan resmi dari pemerintah, mereka membuka lahan, membangun rumah, dan hidup di sana hingga sekarang. Sebagian besar dari mereka bahkan lahir dan besar di Dago Elos, menganggap tanah itu sebagai bagian dari hidup, bukan hanya sekedar tempat tinggal.

Secara hukum, warga merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang memberi waktu hingga 1980 bagi pemilik tanah Eigendom untuk mengkonversi status kepemilikannya. Jika tidak dilakukan, tanah tersebut otomatis menjadi milik negara. Dan hingga kini, tidak pernah ada satu pun Muller yang hadir atau mencatatkan nama mereka dalam sistem pertanahan modern Indonesia.

Baca Juga: Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess

Warga melintas di dekat bentangan spanduk perlawanan warga Dago Elos di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LL. RE. Martadinata, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)
Warga melintas di dekat bentangan spanduk perlawanan warga Dago Elos di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LL. RE. Martadinata, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Kondisi itu tidak menghentikan langkah hukum keluarga Muller. Bersama PT Dago Inti Graha—perusahaan yang mengaku telah menerima hak atas lahan dari keluarga Muller—mereka menggugat 331 warga Dago Elos. Gugatan dikabulkan. Pada 2017, Pengadilan Negeri Bandung memenangkan Muller. Warga diminta angkat kaki. Bahkan, mereka dikenai biaya perkara sebesar Rp238 juta.

Warga melawan. Mereka naik banding. Dalam proses kasasi pertama, gugatan keluarga Muller sempat kandas. Tapi jalan hukum panjang kembali membuka peluang: Muller mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dan kali ini, mereka menang. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 109/PK/Pdt/2022, lebih dari 300 warga dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka diminta mengosongkan lahan yang sudah mereka tempati selama lebih dari empat dekade.

Jika mereka tidak pergi, rumah-rumah itu bisa saja diratakan. Tanah akan diserahkan ke PT Dago Inti Graha. Prosedur hukum akan selesai. Tapi untuk warga, persoalan tak berhenti di sana.

Baca Juga: Kisah Hidup Perempuan Penyintas HIV di Bandung, Bangkit dari Stigma dan Trauma

Warga mencium ada yang tidak beres. Mereka menuding adanya rekayasa dokumen waris dan mempertanyakan legalitas dokumen kolonial yang dijadikan dasar klaim. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mulai turun tangan. Dukungan perlahan mengalir. Tapi proses hukum terus berjalan. Dan sementara itu, bayang-bayang ekskavator terus menghantui gang-gang sempit Dago Elos.

Setelah delapan tahun berteriak di tengah gemuruh beton dan dokumen tua, warga Dago Elos akhirnya bisa menarik napas panjang. Meski tidak lega sepenuhnya, tapi cukup panjang untuk membacakan amar putusan hakim. Pada hari Senin yang cerah, 14 Oktober 2024, Ketua Majelis Hakim Syarif, di hadapan para pencari keadilan di Pengadilan Negeri Bandung, mengumumkan Duo Muller resmi diganjar hukuman kurungan 3,5 tahun penjara.

Tentu saja bukan karena telat bayar pajak, melainkan karena memainkan akta otentik seperti sulap jalanan. Akta itu katanya resmi, tapi isinya ternyata bohong belaka. “Seolah-olah isinya benar,” kata hakim Syarif dalam amar putusan.

Vonis ini jadi air minum dalam padang gurun untuk warga Dago Elos. Forum Dago Melawan langsung mengibarkan bendera kemenangan. Delapan tahun mereka berdiri melawan klaim tanah dengan dokumen yang lebih tua dari kakek-kakek generasi Z akhirnya terbayar.

Jaksa Penuntut Umum dari Kejati Jabar, Sunarto, menyebutkan bahwa akta mereka bahkan dibuat menggunakan scanner. Bukan pena, bukan mesin ketik, tapi teknologi pemindai.

Seperti dalam sinetron yang tidak lengkap tanpa adegan dramatis, cerita ini juga punya akhir tragis. Dodi Rustandi Muller, salah satu aktor utama kisah scanner dan tanah ini, wafat pada 24 Desember 2024. Konon ia terkena serangan jantung ketika hendak berwudhu di Rutan Kebonwaru. Ingin membersihkan diri, tapi takdir lebih dulu menjemputnya.

Jalan hukum juga belum sepenuhnya rampung. Kuasa hukum keluarga Muller menyampaikan bahwa mereka masih menempuh jalur kasasi. Siapa tahu Mahkamah Agung punya pandangan lain soal keabsahan dokumen hasil scanner tersebut.

Warga Dago Elos sendiri masih senantiasa tetap berjaga. Mereka tahu, perjuangan mempertahankan tanah bukan soal surat-surat saja, tapi tentang hidup, napas, dan sejarah. Dan hari itu, untuk sekali ini saja, mereka merasa hukum berdiri di sisi warga yang melawan.

Baca Juga: Curhat Buruh Digital Perempuan Bandung, Jam Kerja Fleksibel jadi Tameng Eksploitasi Terselubung

Dago Elos jadi Simbol Solidaritas dan Perlawanan

Warga Dago Elos kini tidak lagi hanya bicara tentang kampung mereka sendiri. Setelah sewindu menghadapi intimidasi, gugatan hukum, hingga kriminalisasi, mereka memahami bahwa perjuangan mempertahankan tanah bukan sekadar urusan batas bidang atau dokumen kepemilikan.

lebih dari itu, ia dimaknai sebagai penanda eksistensi, martabat, dan hak untuk hidup tenang di tanah yang sudah puluhan tahun mereka pijak. Maka ketika kabar perjuangan warga Sukahaji menggema, Dago Elos tak ragu merentangkan tangan. Bagi mereka, Sukahaji adalah cermin: sebuah kisah yang mirip, hanya dengan latar berbeda.

Solidaritas itu juga menjalar ke tengah Kota Bandung, ke halaman SMAN 1 yang kini dipertaruhkan akibat sengketa dengan Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK). Dago Elos melihat betapa hak atas pendidikan bisa saja direnggut oleh logika legal-formal yang meminggirkan kepentingan publik.

Warga Dago Elos menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung PTUN Bandung, Jalan DIponegoro, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)
Warga Dago Elos menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung PTUN Bandung, Jalan DIponegoro, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Bagi mereka, perjuangan para siswa dan guru mempertahankan sekolah adalah bentuk lain dari pertarungan melawan penggusuran. Bedanya, yang diusir bukan kampung, tapi ruang belajar dan masa depan. Itu lebih dari cukup buat warga Dago Elos berdiri di barisan yang sama.

Kini, Dago Elos menjelma menjadi simbol perlawanan di tengah kota yang kian sempit oleh proyek pembangunan dan ketidakadilan struktural. Mereka jadi bukti sosiofak yang menunjukkan bahwa kemenangan melawan kapital besar bukanlah hil yang mustahal.

Baca Juga: Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial

Suar perlawanan Dago Elos melampaui batas geografis kampungnya sendiri dan menjadi suara bagi warga-warga kecil yang digerus oleh keangkuhan hukum dan pengabaian negara.

Dalam tiap jengkal tanah yang mereka pertahankan, tersimpan semangat yang sama: menolak tunduk pada ketimpangan yang diwariskan dari satu generasi penindas ke generasi berikutnya.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 24 Sep 2025, 20:49 WIB

Catatan Reuni Angkatan 95 Pendidikan Ekonomi IKIP Bandung

Tidak semua alumnus Jurusan Pekon 95 yang sejatinya dididik untuk menjadi calon-calon tenaga pendidik di tanah air itu menjadi guru.
Villa Isola di Universitas Pendidikan Indonesia, Kota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 20:02 WIB

Perlu Terobosan Kebijakan, Bagaimana Mengukuhkan Bandung sebagai Kota Talenta?

Dengan terobosan kebijakan yang adaptif dan partisipatif, Bandung bisa bangkit memperkuat kualitas kebijakan.
Bandung juga menjadi tuan rumah bagi talenta-talenta kreatif. (Sumber: Pexels/Heru Dharma)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 19:16 WIB

Musik yang Menembus Batas: Grunge, Bandung, dan Regenerasi Subkultur

Grunge meledak di Purnawarman 90-an: kaset, flanel, gigs gang sempit, dan semangat liar anak muda Bandung yang tak bisa dibobodo.
Ilustrasi. Bandung Lautan Grunge, festival atau konser yang menunjukkan tren positif dalam skena musik Bandung. (Sumber: instagram.com/lautan_grunge)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 18:27 WIB

Meretas Makna 'Islam téh Sunda, Sunda téh Islam'

Membuka lapis sejarah, politik, dan budaya tentang wajah Islam Sunda yang terbuka dan beragam.
Masjid Raya Al Jabbar di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 17:22 WIB

Menyulam Masa Lalu Pasir Kaliki Menjadi Taman Bermain Masa Depan ala Skyward Project

Jejak kearifan lokal nyaris terlupakan dalam nama dan wilayah “Pasir Kaliki”, namun Skyward Project menghidupkan kembali narasi lokal lewat pendekatan edutainment.
Jejak kearifan lokal nyaris terlupakan dalam nama dan wilayah “Pasir Kaliki”, namun Skyward Project menghidupkan kembali narasi lokal lewat pendekatan edutainment. (Sumber: dok. Skyward Project)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 15:28 WIB

Menembus Pasar Global Lewat Cita Rasa Lokal, Kisah Niko Saputra dan Bechips Indonesia

Langkah pertama Bechips dimulai dari sebuah keputusan sederhana tapi berani, di mana bisnis harus memiliki identitas kuat dan nilai tambah yang membedakan.
Owner CV Bechips Indonesia, Niko Saputra dan sang istri saat menunjukkan produk andalannya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 15:23 WIB

Masjid Al-Lathiif Bandung: Ruang Spiritual sekaligus Rumah Kreatif bagi Anak Muda di Kota Bandung

Al-Lathiif merupakan masjid yang termasyur berkat gerakan pemuda hijrah yang digagas oleh Ustaz Hanan Attaki.
Masjid Al-Lathiif , Jl.Saninten No.2 Cihapit Kota Bandung (Sumber: Masjid Al-Lathiif)
Ayo Jelajah 24 Sep 2025, 13:47 WIB

Hikayat Hantu Dua Duo yang Gentayangan di Konflik Lahan Kota Bandung

Konflik lahan Bandung jadi drama panjang. Warga Sukahaji dan Dago Elos hadapi intimidasi, gugatan kolonial, hingga kriminalisasi.
Puluhan warga Dago Elos yang tergabung dalam Forum Dago Melawan melakukan aksi memperingati hari buruh internasional atau MayDay di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Rabu 1 Mei 2024. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 12:29 WIB

Kerupuk Kulit Mak Yuyu dari Cimahi, Dorokdok dengan Sentuhan Kekinian

Siapa sangka camilan tradisional khas Garut bisa tampil dengan wajah baru dan rasa yang lebih beragam. Itulah yang dilakukan Liliyan Yulianti lewat produk Kerupuk Kulit Mak Yuyu, usaha rumahan yang
Dorokdok Mak Yuyu (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 10:21 WIB

Si Mungil yang Wajib Dimiliki Para Penikmat Musik

Mini speaker menjadi salah satu benda yang wajib dimiliki oleh para penikmat musik. Benda ini merupakan perangkat pengeras suara berukuran kecil yang praktis digunakan untuk memutar musik, podcast
Ilustrasi foto penikmat musik. (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 09:46 WIB

Mengunjungi Saung Kasep, Padepokan yang Juga Jadi Galeri Kerajinan Sunda

Semangat melestarikan budaya Sunda mengantarkan Edi Dago menekuni bisnis aksesoris dan cinderamata khas Jawa Barat. Usaha yang dirintis sejak 2015 ini tak sekadar menjadi sumber penghasilan, tetapi ju
Workshop di Saung Kasep. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 09:12 WIB

Bandung Barometer Peradaban Budaya Sunda

Bandung menyimpan jejak peradaban lewat museum, cagar budaya, kesenian, dan kaulinan.
Ada tantangan nyata di ruang publik Bandung dimana rasa kasundaan yang kian bergeser. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 21:10 WIB

Bandung Harus Ramah bagi Pejalan Kaki

Bandung belum ramah terhadap pejalan kaki karena sarana dan prasaranya belum sepenuhnya memenuhi syarat.
Kondisi Trotoar bagi Pejalan Kaki di Bandung (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 20:01 WIB

Rampak Gitar, Mukti-Mukti, dan Luka Agraria di Tanah Pasundan

Puluhan gitar akustik dimainkan serentak dalam sebuah rampak bertajuk The Revolution Is.
Mukti-Mukti, musisi asal Bandung. (Sumber: Facebook/Mukti-Mukti)
Ayo Biz 23 Sep 2025, 19:22 WIB

Sisi Tiara dan Kopi Cantel: Meracik Kehangatan di Tengah Estetika Kafe Bandung

Sejak 2019, Kopi Cantel tumbuh sebagai simbol kehangatan dan keterhubungan, menjawab kebutuhan masyarakat urban Bandung akan tempat nyaman, inklusif, dan estetik.
Sejak berdiri pada 2019, Kopi Cantel tumbuh sebagai simbol kehangatan dan keterhubungan, menjawab kebutuhan masyarakat urban Bandung akan tempat yang nyaman, inklusif, dan estetik. (Sumber: dok. Kopi Cantel)
Ayo Jelajah 23 Sep 2025, 19:19 WIB

Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess

Di balik megahnya KAA 1955 di Bandung, ada drama intelijen. CIA dituding pasang bom. Pemimpin Tiongkok Zhou Enlai nyaris jadi korban. Apakah benar konspirasi itu nyata?
Pemimpin Tiongkok Zhou Enlai bersama Presiden Soekarno berkeliling di Bandung saat KAA 1955. (Sumber: Museum Konferensi Asia Afrika)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 18:00 WIB

Sunda, Kematian, dan Alam Baka: 'Bapa Keur Bujang, Ema Keur Lanjang, Kuring Keur di Mana?'

Kematian bagi Sunda bukan sekadar akhir, teka-teki yang abadi. Ia dipahami sebagai kesatuan awal-akhir.
Di antara narasi-narasi besar, Sunda tampil bicara kematian dengan artikulasinya yang sangat rendah hati. (Sumber: Pexels/Jusup Budiono)
Ayo Biz 23 Sep 2025, 17:11 WIB

Musik Tanpa Instrumen: Ensemble Tikoro dan Revolusi Vokal Metal

Di balik absurditas yang tampak dari Ensemble Tikoro, tersimpan filosofi musikal yang mendalam. Grup vokal eksperimental ini hadir dan menantang batas konvensional.
Di balik absurditas yang tampak dari Ensemble Tikoro, tersimpan filosofi musikal yang mendalam. Grup vokal eksperimental ini hadir dan menantang batas konvensional. (Sumber: dok. Ensemble Tikoro)
Ayo Biz 23 Sep 2025, 15:36 WIB

Langkah Berani Azalia Yasyfa Menyajikan Cita Rasa Negeri Seberang di Rasa Melayu Bandung

Memperkenalkan kuliner Melayu di Bandung bukan perkara mudah, Azalia harus menjembatani selera lokal dengan rasa yang belum familiar.
Rasa Melayu Bandung, sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Melayu, sesuatu yang belum banyak disentuh di kota ini. (Sumber: instagram.com/rasa_melayubdg)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 15:13 WIB

Angkot, Suara Rakyat dan Pergumulan Batin yang Tersirat

Angkot bukan hanya sekedar transportasi umum, ia tempat yang selalu mengingatkan suara-suara kecil yang tak pernah terdengar.
Angkot dan Suara Rakyat Kecil (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)