Kisah Hidup Perempuan Penyintas HIV di Bandung, Bangkit dari Stigma dan Trauma

Redaksi
Ditulis oleh Redaksi diterbitkan Minggu 07 Sep 2025, 10:41 WIB
Ilustrasi penyintas HIV. (Sumber: Shutterstock)

Ilustrasi penyintas HIV. (Sumber: Shutterstock)

AYOBANDUNG.ID - Di sebuah rumah sederhana di Bandung, Desti duduk di dapur kecilnya, mengaduk kuah mi pedas yang ia jual untuk menghidupi anak-anaknya. Aroma cabai menyeruak, bercampur dengan cerita tentang hidup yang berliku. Sejak suaminya meninggal karena AIDS, Desti harus menjadi tulang punggung keluarga. "Saya menolak mati begitu saka," kata Desti. Ia ingat betul kata-kata anaknya, “Kalau ibu pergi, kami enggak punya siapa-siapa lagi. Ayah kan sudah enggak ada." Kalimat itulah yang membuatnya bangkit, mencari cara untuk bertahan, meski tubuhnya sendiri hidup berdampingan dengan HIV.

Kisah Desti adalah satu dari tujuh cerita nyata perempuan penyintas HIV di Bandung yang diteliti dalam riset The Everyday Life of Women Living with HIV in Bandung City yang dilakukan oleh Maulina Thahara Putri, Erna Herawati, dan Junardi Harahap dari Universitas Padjadjaran. Risalah yang terbit 2024 lalu itu menelusuri kehidupan Rara, Siska, Sinta, Anita, Rita, Liza, dan Desti—semuanya perempuan penyintas HIV yang menjalani terapi antiretroviral (ARV) dan membesarkan anak-anak mereka, sebagian besar sebagai orang tua tunggal. Cerita mereka menggambarkan HIV bukan hanya soal penyakit, melainkan juga tentang pergulatan psikologis, sosial, budaya, hingga ekonomi yang mewarnai keseharian para perempuan ini.

Tubuh yang Berubah dan Disiplin dalam Terapi

Kehidupan penyintas HIV di Bandung diwarnai perjuangan panjang untuk memahami tubuh mereka sendiri. Sebagian dari mereka sempat menunda pengobatan ARV karena merasa sehat. Rara dan Rita, misalnya, tidak merasakan gejala berarti selain batuk atau pilek ringan yang berlangsung singkat. Desti pun pernah menolak pengobatan selama beberapa bulan hingga tubuhnya mulai mengalami penurunan daya tahan dan infeksi oportunistik mulai menggerogoti kesehatannya. Pada akhirnya, semua perempuan ini memutuskan menjalani terapi ARV untuk menjaga harapan hidup.

Baca Juga: Kisah Siti Fatimah: Intel Cilik yang Menjadi Saksi Agresi Militer Belanda

Terapi ARV membawa banyak tantangan. Efek samping obat menjadi masalah besar bagi beberapa di antaranya. Desti pernah mengalami gangguan bicara akibat regimen obat tertentu sebelum akhirnya beralih ke kombinasi baru yang lebih ringan. Siska dan Anita mengalami pembengkakan akibat toksoplasmosis yang memerlukan perawatan intensif. Siska bahkan harus menjalani dua kali operasi, sementara Liza menghadapi asma dan infeksi gonore yang meninggalkan bekas ruam dan luka di kulitnya.

Konsumsi ARV setiap hari adalah rutinitas yang tidak bisa diabaikan. Alarm ponsel menjadi penolong untuk mengingatkan jadwal minum obat. Namun di balik disiplin itu, ada kecemasan yang selalu membayangi. Rara dan Liza, yang masih aktif bekerja, harus berhadapan dengan rasa takut diketahui rekan-rekan mereka. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “obat apa” yang mereka minum membuat keduanya memilih berbohong dan mengatakan itu adalah vitamin. Beban psikologis semakin berat ketika mereka merasa harus menyembunyikan penyakitnya di lingkungan kerja demi menghindari stigma.

Walau pemerintah menyediakan obat secara gratis melalui BPJS dan klinik-klinik seperti Klinik Mawar yang dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat, hambatan dalam pelayanan kesehatan masih sering terjadi. Liza pernah mengalami diskriminasi di rumah sakit ketika ia tidak mendapatkan perawatan selama dua hari dengan alasan kamar penuh, meski saat itu ia tengah mengalami serangan asma akibat infeksi oportunistik. Peristiwa semacam ini menunjukkan bahwa akses kesehatan yang seharusnya menjadi hak semua warga belum sepenuhnya dapat dirasakan secara merata oleh penyintas HIV.

Luka Psikologis dan Pergulatan Emosional

Diagnosis HIV membawa dampak psikologis yang mendalam. Anita kehilangan suami dan dua anaknya dalam waktu hanya 53 hari. Kesedihan yang begitu besar memicu stroke dan pembengkakan kelenjar akibat toksoplasmosis. Ia menyesal tidak mengetahui status HIV lebih awal karena merasa ada langkah pencegahan yang bisa dilakukan untuk melindungi anak-anaknya.

Baca Juga: Sampai ke Bandung, Sejarah Virus Hanta Bermula dari Perang Dunia 1

Sinta juga menjalani masa-masa penuh tekanan saat mengetahui dirinya positif HIV setelah suaminya meninggal. Selama enam tahun pernikahannya, ia tidak pernah mengetahui bahwa suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Rasa terkejut bercampur hancur membuatnya merasa tertipu dan dikhianati. Beban semakin berat ketika ia harus memastikan kesehatan anaknya, yang untungnya tidak tertular HIV.

Siska, seorang mantan pengguna narkoba suntik, menjalani pernikahan yang penuh kekerasan verbal dan fisik. Pengalaman hidupnya mencerminkan betapa stigma dan diskriminasi sering datang dari lingkaran terdekat. Ia diperlakukan dengan kasar oleh mantan suaminya meskipun ia sudah berusaha meninggalkan masa lalunya.

Dalam penelitian ini, para peneliti mencatat bahwa sebagian perempuan mengalami trauma mendalam hingga memilih mengisolasi diri. Desti bahkan sempat menutup diri dari dunia luar selama satu tahun setelah suaminya meninggal, menolak pengobatan, dan membiarkan tubuhnya melemah karena infeksi. Namun, titik balik datang ketika mereka mulai terhubung dengan komunitas penyintas HIV. Sinta, misalnya, menemukan semangat baru setelah bergabung dengan Rumah Cemara dan KPA Kota Bandung. Keterlibatannya di komunitas memberi arti baru dalam hidupnya dan membantunya menemukan rasa percaya diri untuk membantu orang lain yang mengalami situasi serupa.

Stigma, Diskriminasi, dan Tekanan Sosial Budaya

Stigma masih menjadi tembok besar yang harus mereka hadapi setiap hari. Bagi sebagian perempuan, menjaga rahasia tentang status HIV adalah strategi bertahan hidup. Namun tidak semua berhasil menghindari perlakuan diskriminatif. Liza merasakan secara langsung bagaimana status HIV membuatnya diperlakukan berbeda oleh tenaga medis. Penolakan perawatan dan ketidakpedulian petugas kesehatan mencerminkan masih kurangnya pengetahuan tentang HIV di kalangan tenaga medis.

Baca Juga: Dari Gurun Pasir ke Kamp Konsentrasi, Kisah Tragis Keluarga Berretty Pemilik Vila Isola Bandung

Siska merasakan stigma dalam bentuk lain. Ia menjadi korban pelecehan verbal dari suaminya sendiri, yang terus merendahkannya dan menyebut ia akan segera mati karena HIV. Kasus-kasus seperti ini menegaskan bahwa stigma dari pasangan intim sering kali lebih menyakitkan dibandingkan stigma dari masyarakat luas.

Di tengah budaya patriarkal Indonesia, perempuan penyintas HIV kerap tidak memiliki ruang untuk bersuara atau membela diri. Program seperti Warga Peduli AIDS (WPA) berusaha mengedukasi masyarakat, memberikan informasi, dan menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk berbagi pengalaman. Anita adalah contoh nyata perempuan yang bangkit melawan stigma. Kini ia memimpin lingkungannya sebagai ketua RW dan menjadi suara vokal dalam edukasi HIV, menunjukkan bahwa keterbukaan dan pengetahuan dapat mengikis diskriminasi di tengah masyarakat.

Halang Rintang Kondisi Ekonomi

Problem ekonomi menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan perempuan penyintas HIV. Banyak dari mereka harus menjadi kepala keluarga setelah kehilangan suami. Desti memulai bisnis mi pedas dari nol, memanfaatkan bantuan peralatan memasak dan modal awal dari program pemberdayaan. Kini ia memiliki pekerja untuk membantu penjualan. Hidupnya menjadi bukti bahwa status HIV tidak menghalangi perempuan untuk mandiri secara ekonomi dan memberikan masa depan yang layak bagi anak-anaknya.

Rara juga pernah terpaksa menjadi pekerja seks komersial untuk menghidupi kedua anaknya. Namun, tekanan emosional dalam dunia itu membuatnya memilih keluar meski pendapatannya menurun. Ia kemudian bekerja sebagai terapis, profesi yang memberinya ketenangan dan ruang untuk fokus menjalani pengobatan.

Semua perempuan ini menjadikan anak-anak mereka sebagai sumber motivasi utama. Mereka menolak pandangan bahwa HIV identik dengan penderitaan dan berusaha menunjukkan bahwa penyintas HIV bisa hidup normal, bekerja, dan berkontribusi bagi masyarakat. Sebagian besar dari mereka kini aktif dalam kegiatan advokasi HIV, membagikan pengalaman hidup mereka di forum-forum publik, dan menjadi sumber inspirasi bagi orang lain.

Contohnya Anita, tetap percaya diri meskipun statusnya terbuka di lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak menghadapi diskriminasi karena edukasi HIV yang intensif di daerahnya telah mengubah cara pandang masyarakat. Ia percaya bahwa HIV hanyalah salah satu penyakit yang bisa mematikan, tetapi tidak harus membuat seseorang merasa tidak berharga.

Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa komunitas dan jaringan dukungan memiliki peran penting dalam proses pemulihan psikologis para perempuan penyintas HIV. Mereka menemukan kembali harga diri, membangun solidaritas, dan memperjuangkan hak mereka untuk hidup sehat dan bermartabat.

Kisah tujuh perempuan penyintas HIV di Bandung yang diungkap penelitian ini memperlihatkan kompleksitas hidup dengan HIV. Perjuangan mereka bukan hanya melawan virus, tetapi juga stigma sosial, tekanan budaya, diskriminasi tenaga medis, serta kesulitan ekonomi. Namun dari keterpurukan, mereka menemukan kekuatan untuk bangkit.

Baca Juga: 18 Tahun Tanpa Akta Nikah: Kisah Ogi dan Pentingnya Perlindungan Hak Sipil Warga Adat Cireundeu

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 07 Sep 2025, 14:14 WIB

Bandung dari Lensa Kamera: Sarae Hills dan Fenomena Wisata Instagrammable

Wisata swafoto telah menjadi fenomena sosial yang tak bisa diabaikan. Generasi muda menjadikan estetika visual sebagai bagian penting dari pengalaman berwisata.
Sarae Hills destinasi wisata yang tidak hanya indah, tapi juga Instagrammable. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 07 Sep 2025, 11:27 WIB

Ci Sanggiri Sungai yang Menggentarkan

Ci Sanggiri, aliran sungai di lembah rangkaian pegunungan selatan yang berarus deras, di aliran sungai yang lebar dan dalam.
Tempuran Ci Hurip (kiri) dengan Ci Sanggiri (kanan). (Sumber: Citra satelit: Google maps)
Ayo Jelajah 07 Sep 2025, 10:41 WIB

Kisah Hidup Perempuan Penyintas HIV di Bandung, Bangkit dari Stigma dan Trauma

Kisah nyata tujuh perempuan penyintas HIV di Bandung memperlihatkan perjuangan melawan stigma sosial dan tantangan ekonomi.
Ilustrasi penyintas HIV. (Sumber: Shutterstock)
Ayo Netizen 07 Sep 2025, 07:35 WIB

Beban Ganda Perempuan dan Isu Fatherless lewat Film 'Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah'

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah merupakan film yang sedang tayang di bioskop yang mengangkat isu keluarga dan peran orangtua di dalam rumah.
Poster Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah (Sumber: Instagram | Rapi Films)
Ayo Netizen 06 Sep 2025, 18:59 WIB

Muludan, Rindu Rosul

Semua maha karya itu menegaskan satu kerinduan, kecintaan pada Rasulullah SAW tak pernah lekang dimakan zaman.
Suasana malam di Masjid Raya Al Jabbar. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 11:39 WIB

Kenapa Harus Pakai Earphone Bagus?

Earphone adalah perangkat audio kecil yang digunakan dengan cara ditempelkan atau dimasukkan ke dalam telinga untuk mendengarkan suara secara pribadi.
Ilustrasi foto Earphone (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 10:34 WIB

Kopi Toko Tua, Bukan Hanya Sekedar Tempat Ngopi di Braga

Di tengah padatnya aktivitas Kota Bandung, ada satu tempat yang bisa membuatmu merasa seperti kembali ke masa lalu. Kopi Toko Tua, sebuah kafe bergaya kolonial, menghadirkan suasana vintage yang hanga
Kopi Toko Tua (Foto: GMAPS)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 09:38 WIB

Opak Linggar, Cemilan Tradisional dari Rancaekek

Pencinta kuliner khas Sunda baiknya melirik kudapan sederhana yang masih bertahan di tengah gempuran camilan modern. Namanya Opak Linggar, jajanan tradisional yang diproduksi di Linggar, Rancaekek
Ilustrasi Foto Opak Linggar. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 05 Sep 2025, 19:28 WIB

10 Netizen Terbaik Agustus 2025 dengan Total Hadiah Rp1,5 Juta

Ayobandung.id dengan bangga mengumumkan 10 netizen terpilih dengan kontribusi terbaik di kanal AYO NETIZEN sepanjang Agustus 2025.
Ayobandung.id dengan bangga mengumumkan 10 netizen terpilih dengan kontribusi terbaik di kanal AYO NETIZEN sepanjang Agustus 2025. (Sumber: Unsplash/Bram Naus)
Ayo Biz 05 Sep 2025, 18:42 WIB

Lisung Dulang Resto Menyuguhkan Strategi Etnik di Tengah Tren Wedding Resto Bandung

Di tengah lanskap yang penuh inovasi, Lisung Dulang Resto tampil sebagai salah satu pelaku usaha yang mampu bertahan dan beradaptasi.
Di tengah lanskap yang penuh inovasi, Lisung Dulang Resto tampil sebagai salah satu pelaku usaha yang mampu bertahan dan beradaptasi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 05 Sep 2025, 17:56 WIB

Kompakers Bandung: Komunitas Perempuan yang Menjadikan Fotografi sebagai Ruang Tumbuh dan Bisnis

Puluhan fotografer perempuan yang tergabung dalam Kompakers Bandung menjadikan fotografi sebagai ruang tumbuh, berkarya, dan berbagi cerita.
Puluhan fotografer perempuan yang tergabung dalam Kompakers Bandung menjadikan fotografi sebagai ruang tumbuh, berkarya, dan berbagi cerita. (Sumber: dok. Kompakers Bandung)
Ayo Jelajah 05 Sep 2025, 17:50 WIB

Sejarah Pahit Keemasan Kopi Priangan di Zaman Kolonial, Kalahkan Yaman via Preangerstelsel

Kopi Priangan pernah jadi primadona dunia lewat Preangerstelsel, menumbangkan dominasi Yaman dan menyisakan jejak pahit bagi petani lokal.
Koffie Pakhuis alias gudang penyimpanan kopi zaman kolonial yang kini berubah fungsi jadi Balai Kota Bandung. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 05 Sep 2025, 16:46 WIB

Stereotipe 'si Kabayan' Masih Menempel Laki-Laki Keturunan Sunda

Apakah si Kabayan juga merepresentasikan identitas laki-laki suku Sunda?
Iustrasi orang Sunda. (Sumber: Unsplash/Zulfikar Arifuzzaki)
Ayo Biz 05 Sep 2025, 12:50 WIB

Bakso Jumbo dan Doa Panjang: Perjalanan Kuliner Sumarmi di Kedai Bakso Laman Astaghfirullahaladzim

Tak semua nama warung makan lahir dari strategi branding. Kadang, nama itu muncul dari momen spontan yang kemudian melekat kuat di benak pelanggan.
Seporsi menu bakso di kedai Bakso Laman Astaghfirullahaladzim. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 05 Sep 2025, 09:52 WIB

Eksistensi dan Penggunaan Bahasa Sunda di Kota Bandung

Bahasa Sunda adalah bahasa ibu bagi suku Sunda. Penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari sudah mulai bergeser.
Pertunjukan Wayang Golek sebagai Budaya Sunda (Sumber: Pexels)
Beranda 05 Sep 2025, 07:16 WIB

Mengenal Greenwashing, Muslihat Korporasi yang Mengklaim Ramah dan Peduli Lingkungan

Simbol daun, warna hijau, atau gambar bumi kerap dipakai untuk memperkuat kesan seolah produk tersebut benar-benar berkelanjutan.
Ilustrasi greenwashing.
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 20:39 WIB

Modifikasi Camilan Cipuk alias Aci Kerupuk

Cipuk atau aci kerupuk merupakan makanan yang terbuat dari campuran aci(tepung tapioka) dengan kerupuk.
Cipuk (Aci Kerupuk) Mang Adin (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 17:45 WIB

Demam Koleksi Figur Estetik: Ketika FOMO Menyulut Tren Boneka Desainer di Bandung

Perburuan boneka desainer bukan lagi sekadar hobi koleksi, tapi menjelma jadi gaya hidup yang menggabungkan seni, estetika, dan dorongan psikologis untuk tak ketinggalan tren.
Perburuan boneka desainer bukan lagi sekadar hobi koleksi, tapi menjelma jadi gaya hidup yang menggabungkan seni, estetika, dan dorongan psikologis untuk tak ketinggalan tren. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 17:36 WIB

Berburu Barang Bekas di Pasar Loak Terbesar di Bandung

Namanya juga Pasar Loak Astana Anyar, ya pasti berada di Jalan Astana Anyar, Kota Bandung.
Pasar Loak Astana Anyar. (Sumber: Ayobandung.com)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 16:54 WIB

Warung Sangrai dan Misi Mengangkat Puyuh: Kuliner Lokal yang Tak Lagi Dianggap Sebelah Mata

Ketika banyak pelaku kuliner berlomba menyajikan olahan ayam dan bebek, Warung Sangrai memilih menjadikan burung puyuh sebagai menu utama.
Ketika banyak pelaku kuliner berlomba menyajikan olahan ayam dan bebek, Warung Sangrai memilih menjadikan burung puyuh sebagai menu utama. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)