AYOBANDUNG.ID -- Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan sejarah kolonial yang memesona. Kota ini adalah ruang hidup yang terus berdenyut dengan semangat pluralisme dan kreativitas. Dari distro, musik indie, hingga kuliner khas, wajah Bandung dibentuk oleh energi warga yang tak henti mencipta.
Sejak era 1970-an, kreativitas anak muda Bandung telah muncul dalam bentuk kelompok musik dan gaya busana. Menurut antropolog Universitas Padjadjaran, Budi Rajab, saat itu kreativitas masih menjadi bentuk aktualisasi diri, belum menjadi industri.
“Kreativitas anak muda Bandung sendiri sudah muncul sejak tahun 1970-an dalam bentuk kelompok-kelompok musik atau mode busana sendiri. Tetapi, memang pada masa itu kreativitas masih sebatas aktualisasi diri, belum menjadi sebuah industri,” ujar Budi kepada Ayobandung.
Budi juga menyebutkan bahwa Bandung tidak memiliki akar budaya tradisional sekuat kota-kota lain, sehingga lebih terbuka terhadap ide-ide luar. “Bandung ini berbeda dari kota-kota yang memiliki akar budaya yang sangat kuat. Kalau pun ada kultur yang dominan, yaitu Sunda, itu hanya terbatas pada bahasa. Kultur Sunda ini bukan satu poin penentu,” ungkap Budi.
Keterbukaan ini, lanjut Budi, menjadikan Bandung ladang subur bagi ide-ide baru. Kota ini juga dibentuk sebagai kota pendidikan, menarik pelajar dari berbagai daerah. “Selain menjadikan Bandung kota plural, kedatangan para pelajar itu membuat warga yang berada pada usia produktif pun tinggi jumlahnya,” lanjut Budi.
Budi mengungkapkan, sejak era kolonial, Belanda menjadikan Bandung sebagai kota gaya hidup. Jalan Braga dan julukan Paris van Java menjadi simbol pertukaran nilai budaya sejak 1920-an. “Belanda sengaja menjadikan Bandung sebagai kota waktu luang dan gaya hidup yang terkenal dengan Jalan Braga dan sebutan Paris van Java. Hal ini membuat Bandung, sejak tahun 1920-an sudah terjadi pertukaran ide dan nilai-nilai budaya dengan pihak luar,” jelas Budi.

Senada, mantan Ketua Bandung Creative City Forum, Fiki Satari, bahan menyebut Bandung sebagai kota kosmopolitan. “Bandung sejak dulu itu sudah kosmopolitan, bukan metropolis,” ungkap Fiki.
Ukuran kota yang menengah membuat Bandung lebih mudah dikelola dan menonjolkan keunggulan lokal. Fiki menyebutnya sebagai keuntungan sebuah kota menengah (secondary city).
“Ukuran radius kota dan populasi Bandung ini lebih mudah dikelola. Dan sebagai kota menengah lebih mudah menonjolkan keunggulan yang ada di kotanya. Istilahnya Kota Bandung itu memiliki spiritnya membawa trensetter,” ujar Fiki.
Populasi usia muda di bawah 40 tahun yang tinggi menciptakan ruang diskusi intensif di kafe, warung, dan tempat nongkrong. Kondisi ni memperkuat ekosistem kreatif yang inklusif. Bahkan Budi mengatakan, faktor lain yang membuat Bandung kreatif adalah banyaknya perguruan tinggi di kota itu sehingga melahirkan banyak anak muda terdidik.
“Syarat tumbuhnya industri atau ekonomi kreatif adalah talenta yang dimiliki warganya sehingga mereka dapat menangkap peluang serta mengakses dan memanfaatkan teknologi. Dengan jenjang pendidikan yang cukup tinggi secara otomatis ide kreativitas pun bisa banyak bermunculan,” kata Budi.
Fiki juga mengamini bahwa karakter masyarakat Bandung menjadi indikator utama kota kreatif dunia. “Unsur utamanya adalah karakter manusianya dan Bandung dari dulu dikenal sebagai pusat kreativitas, seperti desain, seni, fashion, baju, dan kreativitas komunitasnya sendiri sangat aktif,” jelas Fiki.
Tak ketinggalan keguyuban komunitas-komunitas di Bandung, menurut Fiki mampu membangun kepedulian yang berujung pada pengaplikasian usaha ekonomi kreatif. Bahkan kata Fiki, potensi masyarakat Bandung untuk lebih maju lagi, terutama di bidang ekonomi kreatif sangat besar.
“Saat ini Kota Bandung sudah memiliki banyak kampung kreatif. Semua ini punya usaha ekonomi kreatif yang secara tidak langsung bermanfaat untuk perekonomian warga,” kata Fiki.
Hal itu lah yang lantas menunjukkan kreativitas masyarakat Bandung tak terbatas pada satu ide saja, melainkan semua lini usaha ekonomi kreatif mampu dibuat oleh warga Kota Kembang ini. Tidak aneh jika karakteristik masyarakatnya yang kreatif dan kompak tersebut membuat Kota Bandung dianugerahi penghargaan sebagai kota teramah untuk anak muda.

“Hal ini mampu menjadi trafik pertumbuhan ekonomi dan kreativitas warga lainnya. Karena warga bisa memetik manfaat ketika kampungnya dibuat keren,” tambah Fiki.
Menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung tahun 2025, terdapat lebih dari 42.000 unit usaha ekonomi kreatif aktif. Subsektor kuliner, fesyen, dan kriya mendominasi dengan masing-masing lebih dari 3.000 unit usaha. Hal ini menunjukkan diversifikasi yang kuat dalam ekonomi kreatif lokal.
Kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap PDRB Kota Bandung mencapai 7,8 persen pada tahun 2024, naik dari 6,5 persen pada tahun sebelumnya. Pemerintah melalui program Patrakomala dan Open Data Bandung juga mencatat lebih dari 18.000 pelaku ekonomi kreatif telah terdaftar secara formal.
Namun, tantangan digitalisasi masih menghantui. Sekitar 38 persen pelaku ekonomi kreatif di Bandung belum memiliki akses optimal terhadap teknologi digital dan pemasaran daring. Di sisi lain, ekspor produk fesyen dan kriya dari Bandung ke pasar Asia Tenggara meningkat 12 persen pada semester pertama 2025 menurut data Kementerian Perdagangan.
Kampung kreatif seperti Dago Pojok, Cicadas, dan Braga menjadi contoh bagaimana kreativitas warga bisa mengubah wajah kota. Mereka tidak hanya menciptakan produk, tetapi juga membangun narasi lokal yang kuat. Festival seperti Bandung Design Biennale memperkuat jejaring kreatif dan partisipasi warga.
Bandung juga menjadi kota percontohan dalam program UNESCO Creative Cities Network sejak 2015. Dalam laporan evaluasi UNESCO tahun 2024, Bandung dinilai memiliki ekosistem kreatif yang kuat, namun perlu memperkuat inklusi sosial dan aksesibilitas. Hal ini menjadi tantangan penting agar kreativitas tidak hanya dinikmati oleh segelintir, tetapi menjadi milik bersama.
Dengan semua dinamika ini, Bandung tetap menjadi kota yang hidup oleh warganya. Kreativitas bukan sekadar label, tetapi cara hidup. Dari ruang publik hingga kampung kreatif, dari festival hingga ekspor, semangat warga Bandung untuk mencipta terus menyala. “Warga Bandung itu dari dulu punya visi menjadi kota kreatif dunia,” ujar Fiki.
Alternatif UMKM Bandung atau produk kreatif serupa: