AYOBANDUNG.ID -- Banyak orang masih beranggapan bahwa sehat berarti bebas dari penyakit fisik. Padahal, sehat sejati mencakup keseimbangan jasmani dan rohani. Pepatah latin Mens Sana In Corpore Sano mengingatkan bahwa tubuh yang sehat harus ditopang jiwa yang kuat.
Kesehatan mental yang baik berarti batin tenteram, pikiran jernih, dan emosi terkendali. Tanpa itu, aktivitas sehari-hari bisa terganggu, relasi sosial merenggang, bahkan muncul perilaku destruktif.
Gangguan mental hadir dalam berbagai bentuk, seperti stres, depresi, kecemasan, bipolar, ADHD, hingga NPD. Kesadaran menjaga mental health kini menjadi kebutuhan mendesak, terutama di kota besar seperti Bandung.
Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2025 menunjukkan satu dari lima orang Indonesia mengalami gejala gangguan mental, mulai dari kecemasan hingga depresi berat. Angka ini menegaskan bahwa isu kesehatan mental bukan sekadar wacana, melainkan realitas yang harus dihadapi.
Pendiri Tim Hope for Indonesia, Diah Mahmuda, menegaskan bahwa menurut WHO, setiap detik ada satu orang di dunia yang bunuh diri. Total 800.000 kasus bunuh diri terjadi tiap tahun, menjadikannya penyebab kematian terbesar kedua bagi usia 15–29 tahun.
“Masalah depresi jangan dianggap enteng. Jika pernah memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, segera hubungi pihak yang bisa membantu,” ujar Diah kepada Ayobandung.
Namun stigma masih menjadi tembok besar. Banyak masyarakat Bandung menganggap pembicaraan tentang mental illness tabu, bahkan memalukan. Akibatnya, penderita memilih diam dan tidak terbuka kepada keluarga.
Kondisi ini diperparah oleh data Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang mencatat 15,5 juta remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Bandung sebagai kota pelajar tentu menjadi bagian dari angka tersebut.
Menjawab keresahan itu, Diah menggagas program Hope for Indonesia untuk membangun kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental.
“Kegiatan ini bentuk keprihatinan kami setelah menerima berbagai aduan psikologi. Misalnya, saya sering menangani kasus Baby Blues atau Post Partum Depression pada ibu muda,” ungkap Diah.
Ia juga mencatat banyak mahasiswa dan pelajar SMA di Bandung mengalami stres berat hingga depresi yang menumpuk lama. Menurut Diah, kesehatan mental sama pentingnya dengan fisik. Tanpa mental yang sehat, aktivitas sehari-hari sulit dijalani.
Faktor eksternal seperti lingkungan rumah dan pertemanan sering memicu gangguan mental. Gejala awal kerap tak disadari, sehingga penanganan terlambat dan berakibat fatal.
“Kami mengamati fenomena tragis, di mana mahasiswa Bandung memilih bunuh diri. Ada yang baru ditemukan setelah beberapa hari meninggal di indekosnya,” kata Diah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kesehatan mental bukan isu individu, melainkan masalah sosial yang membutuhkan perhatian kolektif. Oleh karena itu, Diah menekankan perlunya sinergi lintas pihak mulai dari pemerintah, kampus, komunitas, dan keluarga. “Membangun mental health awareness tidak bisa dilakukan sendiri,” kata Diah.
Program yang ia gagas pun bertujuan memberi pembekalan agar masyarakat mampu menjaga kesehatan mental diri sendiri dan orang terdekat. Langkah ini juga mengajarkan masyarakat untuk lebih memahami, menghargai, dan peduli terhadap orang lain dengan segala kekurangan dan masalahnya.
Data Dinas Kesehatan Jawa Barat mencatat lebih dari 9.143 orang dengan gangguan jiwa berat (ODGJ) mendapat pelayanan kesehatan di seluruh kabupaten/kota Jawa Barat pada 2024, termasuk Bandung. Angka ini menunjukkan bahwa kebutuhan layanan kesehatan mental di Bandung nyata dan terus meningkat.
Selain itu, Jawa Barat memiliki prevalensi depresi tertinggi di Indonesia, yakni 3,3 persen berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2025. Hal ini menegaskan bahwa Bandung sebagai pusat urban harus menjadi prioritas dalam penguatan layanan kesehatan jiwa. Dengan kondisi tersebut, Bandung membutuhkan ruang aman bagi warganya untuk berbicara tentang mental health tanpa stigma.
“Intinya, misinya adalah kami ingin memberikan kepedulian yang wujudnya nyata, gak cuman simpati saja tapi juga dengan mengulurkan tangan. Minimal kita bisa bergerak untuk mengurangi fenomena bunuh diri. “Jadi sekarang intinya bagaimana menyadarkan dan membangun kepedulian masyarakat,” ujar Diah.
Alternatif produk untuk membangun kesadaran kesehatan mental:
