Kesadaran kesehatan di masyarakat seringkali muncul ketika ditemukannya sebuah studi kasus. Salah satunya apa yang terjadi dengan raya, bagaimana penderitaan yang raya rasakan akibat kehadiran cacing gelang (askariasis) bisa merenggut nyawanya. Membuat masyarakat takut dan berbondong-bondong membeli obat cacing ke apotek.
Kesadaran masyarakat tiba-tiba meningkat. Tak perlu banyak edukasi tak perlu banyak sosialisasi, tanpa diminta masyarakat mendadak sadar sendiri. Berbeda halnya ketika suatu wabah penyakit belum benar-benar menjangkit, masyarakat tidak akan berbuat banyak. Istilahnya masyarakat kita lebih suka mengobati dibandingkan dengan melakukan upaya pencegahan.
Misalnya saja, pada kasus DBD (Demam Berdarah Dengue), penyakit ini terbilang wabah yang sudah lama terjadi di Indonesia. Kemunculannya di Indonesia ditandai dengan dilaporkannya sebuah kasus pada tahun 1968 di Surabaya dan DKI Jakarta.
DBD sendiri termasuk ke dalam penyakit endemik (suatu penyakit yang selalu ada pada suatu daerah atau kelompok tertentu). Iklim yang tropis juga mempengaruhi kehadiran penyakit endemik lainnya seperti TBC hingga malaria.
Kehadirannya di negara berkembang seringkali menyebabkan penyebaran yang cepat jika wabah terjadi. Beberapa penyakit endemik ini juga termasuk menjadi masalah penting di beberapa negara berkembang lainnya yang memiliki iklim tropis.
Penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegypti seringkali mudah berkembang pada musim penghujan. Nyamuk ini biasa hidup dalam genangan air seperti kaleng bekas, ban, pot bunga atau penampungan bak di kamar mandi.
Umumnya masyarakat tidak begitu mengindahkan upaya-upaya yang sudah disosialisasikan oleh tenaga kesehatan. Tentunya kesadaran tersebut akan hadir dan menular jika terjadi suatu kasus pada seseorang.
Begitu juga dengan penyakit askariasis (cacing gelang). Masyarakat sering abai terhadap anak-anak yang bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki. Tidak memotong kuku anak yang sudah panjang. Tidak mengingatkan anak untuk cuci tangan sebelum menyantap sebuah makanan.
Mengindahkan petugas kesehatan ketika penyaluran program kesehatan melalui pemberian obat cacing 2x dalam setahun. Juga tidak membiasakan beberapa upaya kebersihan yang mendasar.
Sebagai seorang nakes yang mengabdi pada pelayanan di apotek, saya melihat penjualan obat cacing tidak begitu masif. Dalam satu bulan operasional, paling hanya 2-3 botol yang terjual, itu pun tidak selalu sama dinamika tiap bulannya. Bahkan dalam satu bulan terkadang tidak ada sama sekali yang membeli obat cacing tersebut.
Semenjak kasus Raya ramai diperbincangkan di media, mendadak penjualan obat cacing meningkat. Dalam satu hari bisa terjual 10-25 botol, sungguh luar biasa mencapai 5-8 x lipatnya. Fenomena tersebut semakin menunjukkan bahwa kesadaran akan meningkat seiring kasus terkuak.

Saat kesadaran masyarakat meningkat, permintaan pasar pun kian meroket. Munculah permasalahan baru yaitu kelangkaan sebuah produk. Salah satu merk obat cacing yang terkenal dan familiar di masyarakat adalah combantrin. Selang beberapa hari kasus raya naik, mendadak ketersediaan obat tersebut langka di PBF (Pedagang Besar Farmasi).
Beberapa pihak yang mengerti situasi pasar tentu tidak hanya tinggal diam, dia akan bermain di dalamnya, memanfaatkan peluang yang ada. Beberapa apotek besar seringkali membeli habis ketersediaan barang yang sedang ramai dicari masyarakat.
Hal ini tentu membuat obat tidak terdistribusi secara merata. Bahkan apotek besar seringkali mendapat previlage dari PBF berupa informasi atau penawaran produk dalam jumlah yang tidak masuk akal. Bahkan jika ada konspirasi, apotek besar sudah tau, jauh lebih dahulu, bahkan sebelum wabah yang bersangkutan terjadi di masyarakat.
Sementara masyarakat yang resah akan dengan susah payah mencari obat tersebut ke setiap apotek yang ada di kotanya. Jarak tak menjadi halangan karena yang terpenting bisa mendapatkan barang tersebut. Kasus kelangkaan memang seringkali menjadikan sebuah produk lebih berharga dari apapun.
Tak hanya itu, kelangkaan juga menyebabkan hadirnya permainan harga di pasaran, harga bisa tiba-tiba melonjak tak masuk akal. Sama seperti kasus masker pada wabah Covid-19, dari harganya yang Rp. 20.000/box bisa menjadi Rp.150.000- Rp.300.000/box. Sistem kapitalis ekonomi memang seringkali merugikan banyak pihak. Tak hanya konsumen tapi juga pedagang ecer dalam jumlah kecil.
Begitu juga dengan kasus obat combantrin ini, harga pasaran normal biasanya dibanderol seharga Rp.23.000/botol menjadi Rp.24.000-Rp.30.000 untuk sediaan sirup. Sementara untuk sediaan tablet yang biasanya dibanderol Rp.20.000 naik jadi Rp.23.000-Rp.25.000.
Fenomena serupa juga terjadi hampir di seluruh apotek yang ada di kota/kabupaten Bandung. Saya juga mengkonfirmasi kepada beberapa rekan sejawat yang bertugas di apotek lain melalui pesan whatshapp pun mengalami keluhan yang serupa.
"Rame teh tiap hari order, tiap hari juga habis. Tapi yaitu teh susah banget dapat barangnya, kadang ada, kadang engga. Aneh ya di Indonesia mah, harus viral dulu baru masyarakatnya sadar" tukasnya sambil menambahkan emoticon ketawa dengan kepala miring. (*)