Udara dingin yang memeluk lembut berpadu dengan keindahan alam yang menyejukkan pandangan. Di antara Gunung Malabar dan Gunung Haruman, tersimpan harta sejarah yang kini hidup kembali lewat langkah generasi muda yang mencari ketenangan. Siapa sangka, di balik hijaunya pepohonan, tersimpan sisa Stasiun Radio Malabar. Terletak di Jl.. Gn. Puntang, Pasirmulya, Kec. Banjaran, Kabupaten Bandung, bersejarah yang kini menjadi ruang bagi generasi muda untuk kembali terkoneksi dengan alam.
Seiring waktu, kawasan Stasiun Radio Malabar kini menjadi saksi tumbuhnya budaya baru di kalangan muda. Puing-puing bangunannya yang tersisa berpadu dengan hijaunya alam Gunung Puntang, menghadirkan suasana tenang yang kerap dijadikan tempat melepas penat.Bukan lagi pusat transmisi seperti masa jayanya dahulu, area ini kini bertransformasi menjadi ruang pertemuan antara sejarah dan kebiasaan modern.
Kaum muda datang dengan secangkir kopi, kamera di tangan, dan cerita di kepala. Mereka duduk bersandar di bawah rindangnya pepohonan, berbagi tawa, atau sekadar menikmati sunyi. Di sini, nongkrong bukan sekadar kegiatan sosial, melainkan cara baru untuk merasakan kedekatan dengan alam dan sejarah yang masih bernafas di antara reruntuhan Stasiun Radio Malabar.
Mayla, salah satu pengunjung Stasiun Radio Malabar, mengaku terkesan dengan pemandangan alam yang memanjakan mata dan menenangkan hati. Sisa puing-puing bangunan yang kini tak lagi berdiri megah dinilainya bukan sebagai gangguan, melainkan sebagai nilai tambah yang justru menjadi keunikan dari wisata alam tersebut. Baginya, di balik reruntuhan itu tersimpan kisah panjang tentang kejayaan masa lalu yang kini berpadu dengan ketenangan alam pegunungan, menciptakan suasana yang sulit ditemukan di tempat lain.
“Jujur unik sih karena kan disini ngopi tapi bisa sambil liat-liat juga disana ada apa, kalo bosen duduk disini bisa juga pindah duduk di sisa puing bangunan itu,” ujarnya pada Minggu (2/10/2025).
Menempuh jarak sekitar satu jam tiga puluh menit dari pusat kota, perempuan berambut merah tersebut mengaku perjalanannya menuju Stasiun Radio Malabar dilandasi keinginan untuk kembali terhubung dengan alam sekaligus menenangkan pikirannya dari hiruk pikuk kehidupan kota. Ia bercerita, selama perjalanan menuju kawasan pegunungan itu, hamparan hijau pepohonan dan udara sejuk yang perlahan menyapa membuatnya merasa seperti sedang meninggalkan beban kota sedikit demi sedikit.

Baginya, ada perbedaan yang nyata antara sekadar nongkrong di tengah keramaian kota dan duduk santai di alam terbuka. Di kota, setiap percakapan sering terselip oleh notifikasi dan suara kendaraan, sementara di alam, keheningan justru menghadirkan kedekatan yang lebih tulus. Ia menilai bahwa nilai lebih dari suasana di Stasiun Radio Malabar terletak pada ketiadaan sinyal yang membuatnya bisa melamun tanpa distraksi, tertawa lebih lepas, dan berbagi cerita hangat bersama teman-temannya di bawah langit yang tenang.
“Lebih berasa deket sama temen-temen terus ada ruang buat diri sendiri yang nggak mikirin kehidupan kota sih,” ceritanya dengan penuh kesenangan.
Tatang Setiadi, pengelola wisata Stasiun Radio Malabar, berpendapat bahwa meningkatnya minat pengunjung tak lepas dari kehadiran kedai kopi Berg yang dikelola pihak swasta di bawah Perhutani Alam Wisata. Menurutnya, kedai tersebut menjadi daya tarik tersendiri karena mampu menghadirkan suasana yang akrab dan hangat di tengah kesejukan alam pegunungan. Namun, Tatang menekankan bahwa nilai utama dari wisata Stasiun Radio Malabar bukan sekadar tempat bersantai, melainkan bagaimana pengunjung dapat kembali terkoneksi dengan alam dan berbincang lebih intim dengan sesama.
“Kenapa rame? ya balik lagi ke filosofi dan fungsi dari Nagara Puntang, hangat untuk mengobrol dan menikmati alam,” ujar Tatang.
Di tengah derasnya arus kehidupan modern, Stasiun Radio Malabar seolah menjadi ruang jeda bagi siapa pun yang ingin bernafas lebih pelan. Tempat ini mengingatkan bahwa ketenangan tak selalu harus dicari jauh, kadang cukup dengan duduk, menyeruput kopi, dan mendengar bisu sejarah yang masih bergaung di antara pepohonan. Di Malabar, waktu seolah melambat, membiarkan setiap pengunjung menata pikirannya, sambil menyadari bahwa diam pun bisa menjadi cara lain untuk berbicara dengan alam.(*)
