AYOBANDUNG.ID - Pasangan Jeje Richie Ismail dan Asep Ismail baru saja menyelesaikan 100 hari pertama mereka sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung Barat. Sejak resmi dilantik pada 20 Februari 2025, pasangan ini melangkah ke medan pemerintahan dengan janji membawa semangat baru lewat visi "Amanah". Namun, alih-alih gebrakan, publik justru disambut hening yang menimbulkan tanya.
Jeje-Acep dinilai belum mengambil langkah cepat atau keputusan berani yang membuat masa 100 hari pertamanya dipenuhi dengan catatan kritis.
Para pengamat sosial, politikus, hingga anggota DPRD ramai mengemukakan pandangan. Satu suara yang mencuat adalah bahwa Jeje-Asep masih belum menampakkan arah yang jelas, seolah roda pemerintahan hanya berjalan secara administratif tanpa arah yang pasti.
Tak sedikit yang berharap ada penanda perubahan pada masa awal ini. Tapi evaluasi dari luar justru menyiratkan sebaliknya. Ketidakhadiran gebrakan, ditambah belum solidnya tim di balik pasangan kepala daerah ini, menjadi gambaran yang muncul di tengah masyarakat Bandung Barat.
Pengamat sosial dari Yayasan Studi Maléla, Mad Su’ud, mengingatkan bahwa 100 hari pertama bukanlah ajang pencitraan. Ia menegaskan, yang dibutuhkan sekarang bukan gaya “super hero”, melainkan sistem yang bekerja tanpa bergantung pada satu figur.
Dalam pandangannya, publik masih menanti pemetaan masalah yang komprehensif. Tanpa itu, mustahil ada solusi yang terukur atau kebijakan yang tepat sasaran.
Ia juga menyayangkan belum adanya penjelasan terbuka kepada publik mengenai langkah-langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah utama di Bandung Barat.
Su’ud menyoroti lemahnya pengelolaan data di tubuh pemerintahan. Ia khawatir, tanpa data yang kuat, kebijakan hanya akan bersifat tambal sulam.
Salah satu contoh yang ia angkat adalah kasus banjir di Lembang. Minimnya riset dan kajian disebutnya sebagai penyebab utama lemahnya antisipasi.
Ia juga mempertanyakan kinerja Bapelitbangda, lembaga yang seharusnya menjadi motor perencanaan pembangunan berbasis data.
Tidak hanya itu, Su’ud juga mengkritik fungsi humas pemda yang ia nilai terlalu sibuk dengan media sosial dan mengabaikan komunikasi dua arah.
Baginya, humas seharusnya menjadi penghubung strategis antara masyarakat, DPRD, dan pemerintah itu sendiri, bukan sekadar corong visual di internet.
Sementara dari aspek pelayanan dasar, Su’ud menyoroti kondisi sekolah dasar yang dinilai memperihatinkan dan sering menjadi sorotan media.
Ia menduga lemahnya mitigasi dari dinas terkait adalah penyebab utama persoalan sarana pendidikan yang tak kunjung membaik.
Menurutnya, pelayanan pendidikan dan kesehatan tidak boleh dikesampingkan meskipun ada keterbatasan program karena masih mengandalkan perencanaan lama.
Catatan kritis lainnya disampaikan Direktur Kebijakan Publik dan Lingkungan dari Sabumi, Iqbal Robani Ilahi. Dia memberikan catatan dari sisi kebijakan publik dan keuangan daerah. Ia menyoroti lemahnya optimalisasi PAD yang hanya menyumbang 22%dari APBD.
Iqbal menilai birokrasi di Bandung Barat masih belum efisien. Banyak oknum hanya menjadi beban, bukan solusi.
Ia bahkan menyebut belum terlihat adanya visi reformasi birokrasi dari kepemimpinan Jeje-Asep, padahal itu penting untuk mengatasi stagnasi pembangunan selama hampir dua dekade terakhir.
Lebih jauh, ia mempertanyakan nilai kepemimpinan yang diperlihatkan oleh pasangan ini dalam membimbing birokrasi dan membebaskan diri dari ketergantungan pada program pusat.
Iqbal menekankan bahwa integritas birokrasi harus ditegakkan dari dalam. ASN yang tidak menjalankan tugas dengan baik perlu diberikan sanksi tegas.
Ia menyebut pembangunan yang akuntabel hanya bisa tercapai jika ada penegakan integritas dari pucuk pimpinan hingga ke tingkat teknis.
Dari kalangan akademisi, Pengamat Politik dan Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani, Arlan Siddha punya catatan tersendiri.
DIa melihat Bupati Jeje belum benar-benar percaya diri dalam menjalankan roda pemerintahan.
Arlan menilai masyarakat Bandung Barat masih belum ‘tune in’ dengan gaya kepemimpinan Jeje, sehingga belum tumbuh kepercayaan publik.
Ia juga menggarisbawahi belum adanya tim yang solid di sekitar Jeje, yang menyebabkan kebijakan belum terasa berdampak nyata.
Masalah infrastruktur disebut sebagai salah satu tantangan utama yang jika tidak segera dibenahi, akan menjadi catatan buruk di masa kepemimpinan mereka.
Arlan menyarankan agar Jeje mulai duduk bersama investor dan memastikan iklim investasi yang aman dan memiliki kepastian hukum.
Menurutnya, jika kepala daerah tidak aktif meyakinkan investor, maka arus investasi akan tersendat, dan peluang pembangunan pun terhambat.
Dari sisi legislatif, Ketua Komisi III DPRD KBB, Pither Tjuandys, menyebut belum ada program menonjol selama 100 hari pertama, kecuali penyusunan RPJMD.
Pither menilai wajar bila kepala daerah baru fokus ke RPJMD, tapi dengan adanya tim transisi sebelumnya, semestinya program prioritas sudah bisa mulai jalan.
Ia juga menyoroti penataan kawasan perkantoran pemda yang terkesan tidak terurus, dengan rumput tinggi dan kesan kumuh yang tak mencerminkan pusat pemerintahan.
Ketua DPRD KBB, Muhammad Mahdi, turut mengingatkan tiga pekerjaan rumah utama yang seharusnya menjadi prioritas: sampah, pengangkatan PPPK, dan janji politik.
Ia berharap meski belum terlihat selama 100 hari pertama, tiga hal tersebut bisa direalisasikan dalam waktu dekat demi menjaga kepercayaan publik.
Catatan kritis 100 hari pertama pemerintahan Jeje-Asep ini bukan suara sumbang. Sebaliknya, suara ini merupakan refleksi dari harapan dan kepedulian terhadap pemerintah yang mereka pilih.
Pemerintahan Jeje-Asep memang baru seumur jagung dan masih terbuka untuk membuktikan bahwa mereka memang layak menjadi pemimpin Kabupaten Bandung Barat. (*)