AYOBANDUNG.ID — Kampung Rongga, Desa Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, kini masih dihantui tumpukan limbah sisa pembakaran batu bara atau fly ash dan bottom ash (FABA) yang tak kunjung ditangani, meski permasalahan ini sudah terjadi lebih dari setahun lamanya.
Di tengah keresahan warga, gundukan hitam yang tampak mirip pasir semakin membentuk lanskap yang mengganggu pemandangan di badan jalan sepanjang 1 kilometer. Beberapa limbah bahkan dikemas dalam karung-karung besar, masing-masing seberat 25 kilogram, menambah parah dampak buruk terhadap lingkungan.
Keberadaannya semakin memperburuk kualitas udara di sekitar kawasan tersebut, apalagi saat musim kemarau tiba, ketika debu-debu FABA terbang ke udara dan mengancam kesehatan warga. Tak hanya itu, limbah yang terbawa air hujan dapat meresap ke dalam tanah pertanian, mencemari lahan, sumber air, dan berisiko merusak kesuburan tanah yang digunakan untuk menanam padi dan palawija.
Sejak temuan limbah tersebut, harapan masyarakat akan penanganan yang cepat dan tuntas terus menguap. Meski pemerintah daerah sempat menyatakan akan mengambil tindakan, hingga kini limbah-limbah berbahaya itu tetap menggunung tanpa solusi jelas. Belum lagi, pengusutan soal siapa pelaku yang membuang limbah ini semakin kabur. Proses hukum yang seharusnya menjadi harapan warga untuk mencari keadilan dan mencegah kejadian serupa, terkesan mandek tanpa perkembangan berarti.
Deden, seorang petani berusia 68 tahun, mengungkapkan kekhawatirannya. Ia merasa bingung dan khawatir tentang dampak dari limbah batu bara ini.
"Limbah ini sudah ada sejak setahun yang lalu. Kami tidak diberi informasi mengenai apa yang harus kami lakukan atau bagaimana dampaknya pada tanaman kami," ungkap Deden, yang mengandalkan hasil pertanian untuk kehidupannya.
Deden dan petani lain di sekitarnya kini hidup dalam ketidakpastian, khawatir jika limbah berbahaya itu mengontaminasi lahan mereka, merusak tanaman, dan akhirnya mengancam mata pencaharian mereka. Bagi warga yang menggantungkan hidup dari pertanian, keberadaan limbah batu bara ini bukan hanya ancaman terhadap lingkungan, tetapi juga ancaman terhadap masa depan mereka.
"Solusinya harus jelas, ini limbahnya masih ada. Dampak negatif dari limbah yang mencemari lingkungan dan lahan pertanian berarti masih ada," tandasnya.
Ditangani KLH
Penanganan terhadap limbah B3 FABA di Desa Cihampelas bagai air terpanaskan lalu menguap di udara. Pemulihan lingkungan yang diharapkan warga tak jelas realisasinya. Begitu pun dengan tindakan hukum bagi pelaku pembuang limbah. Hingga saat ini, aparat berwajib tak pernah mengungkap siapa pelaku dan hukuman setimpal atas perbuatan itu.
Pada 21 Oktober 2024, DLH Bandung Barat serta Petugas Gakkum Kementerian KLH sebenarnya telah meninjau lokasi limbah. Mereka memetakan area ceceran limbah, menyegel lokasi, dan mengambil sampel.
Aktivitas buang limbah batu bara itu telah berlangsung sejak Juli–Oktober 2024. Jika diestimasi, tumpukan limbah telah memenuhi area Jalan Irigasi mencapai 1 kilometer. Selain memicu masalah lingkungan, kegiatan tersebut diduga tanpa mengantongi izin dari masyarakat.
"Nah jadi nanti itu kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup yang menetapkan. Untuk sampel nanti kita akan ngambil dengan DLH Provinsi," kata PPLH Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bandung Barat, Adhi, saat meninjau lokasi limbah, Senin 21 Oktober 2024 lalu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, FABA yang dihasilkan oleh kegiatan PLTU memang sudah tidak dikategorikan limbah B3. Namun, pengelolaannya harus dilakukan secara ketat oleh pihak ketiga yang telah mengantongi izin.
Dalam aturan tersebut, FABA yang dihasilkan dari mesin pengolahan batu bara untuk aktivitas tekstil dan peleburan logam tetap masuk kategori limbah B3.
"FABA diatur dalam PP 22 Tahun 2021. Jadi dalam Lampiran 14, limbah FABA yang dikeluarkan dari B3 adalah limbah PLTU, kecuali FABA dari boiler stoker untuk pabrik tekstil, itu masih kategori B3," kata Adhi.
"Yang jelas saya rasa ini tidak mungkin dari PLTU. Kalau dari PLTU, dia ngeluarinnya langsung dari pabrik-pabrik pemanfaat seperti pengolahan beton dan lainnya. Kalau yang di sini kemungkinan besarnya dari pabrik tekstil," tambahnya.

Menurut Adhi, limbah FABA dari industri di luar PLTU idealnya dikelola oleh pihak ketiga yang bertugas mengolah limbah dan tak boleh dibuang sembarangan begitu saja. Temuan limbah FABA di Jalan Irigasi Kampung Rongga merupakan pembuangan ilegal yang melanggar hukum. Para pelaku, yakni industri penghasil limbah serta transporter pengangkut limbah, bisa dijerat hukum.
"Ini kan seharusnya penghasil (limbah) bekerja sama dengan pihak ketiga. Terus dilakukan pengolahan di tempat berizin. Kalau ini tidak dilakukan berarti melanggar Pasal 104 Undang-Undang 32. Dengan ancaman denda Rp3 miliar atau pidana 3 tahun penjara," jelasnya.
"Pasal ini berlaku ke semuanya. Baik pihak penghasil limbah maupun pihak dump truk yang mengangkut. Karena kan ada Undang-Undang Angkutan. Kalau seperti ini, angkutan ini juga bisa kena pidana juga," papar Adhi.
Meski begitu, untuk mencari tahu para pelaku yang terlibat dalam kasus ini akan ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup serta jajaran kepolisian.
"Tahapan setelah ini, kita kan sudah tahu matrikulasinya. Nanti kita buatkan laporan dan ditembuskan ke kementerian. Jadi untuk penelusuran tersangka segala macam itu oleh mereka. Kalau kita hanya membantu menghitung berapa total limbah yang dibuang ke sini," tandasnya.
Warga Menunggu Pemulihan Lingkungan
Tumpukan limbah batu bara yang dibuang sembarangan di Jalan Irigasi mulai mencemari sumber air masyarakat usai diterjang hujan deras sepekan terakhir.
Limbah batu bara jenis material sisa pembakaran atau FABA ini dilaporkan meresap ke sumur warga sehingga air berubah keruh kehitaman. Kondisi itu membuat masyarakat khawatir mengalami dampak negatif sehingga memilih tak menggunakan air untuk kebutuhan air minum.
"Betul, sudah ada satu sumur warga yang tercemar. Ini karena beberapa hari ke belakang hujan deras sehingga meresap masuk ke sumur," kata Ketua RW 06 Desa Cihampelas, Asep Kusumah, saat dikonfirmasi, Kamis 7 November 2024 lalu.

Selain mencemari sumur, hujan mengakibatkan limbah B3 ini ikut terbawa ke lahan sawah dan kebun palawija milik masyarakat. Hal ini membuat para petani harap-harap cemas terhadap nasib tanaman yang mereka budidayakan.
"Kondisi tumpukan limbah terbuka, jadi ketika hujan tergerus masuk sawah dan terbawa ke irigasi. Airnya keruh, masyarakat khawatir akan berdampak pada padi dan kesuburan tanah," jelas Asep.
Masyarakat mendesak pemerintah daerah segera mengambil langkah pemulihan lingkungan terhadap area pencemaran limbah batu bara. Mereka bosan karena lokasi limbah terus-terusan hanya ditinjau tanpa solusi penanganan yang jelas. Apalagi dampak pencemaran sudah nyata di depan mata.
"Saya sudah beberapa kali melakukan pertemuan. Tapi gak pernah ada solusi pasti. Wacana solidifikasi juga gak jadi, mau dibersihkan juga tidak ada. Udah satu tahun penyelesaian gak jelas, ini jadi potret birokrasi kita gak bener. Kami berharap ke Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi bisa turun," ujarnya saat ditemui baru-baru ini.