Isu lingkungan memang menjadi hal yang krusial hampir di semua negara. Isu lingkungan di negara maju erat berkaitan dengan industrialisasi, konsumsi yang tinggi dan perubahan iklim yang ekstrem. Sementara di negara berkembang isu lingkungan lebih kompleks lagi, meliputi polusi udara, perubahan iklim dan penipisan sumber daya alam. Selain itu negara berkembang juga terancam masalah deforestasi, hancurnya keanekaragaman hayati, pengasaman laut serta kurangnya akses ke sumber daya air bersih dan sanitasi.
Siapa sangka jika sisa sampah makanan bisa menyumbang 8-10% kerusakan alam dan perubahan iklim. Hal ini selaras dengan ungkapan Karina Nursyafira sebagai Chief Resources Development Aksata Pangan.
Berdasarkan angka FAU, setelah dilakukan penelitian bahwa 1/3 makanan yang diproduksi atau dikonsumsi itu hilang atau terbuang disebut Food loss and waste. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WRI pada waktu itu dinyatakan bahwa 8% dari emisi rumah kaca dihasilkan oleh sampah makanan. Jika 8% itu dianggap sebagai sebuah negara maka dia dianggap akan melewati Tiongkok dan Amerika. Jadi emisi rumah kaca itu memiliki gas yang bernama metana. Gas ini merupakan yang paling dahsyat karena dia 25-80 x lebih besar bahayanya daripada Co2
Hal ini terbukti pada tragedi yang terjadi di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005 yang meledak akibat gas metana yang dihasilkan dari sampah makanan. Masalah ini bukan saja krusial untuk setiap individu tapi juga sangat krusial terhadap bumi. Pernyataan diatas juga dijelaskan oleh Prof. Enri Damanhuri selaku profesor ahli dalam bidang lingkungan ITB menuturkan,
Gas metan (CH4) dan Karbon dioksida (CO2) menjadi pemicu ledakan dahsyat dan longsoran sampah yang menggunung. Gas metana selalu berada di atas udara sementara karbon dioksida berada di bawah. Sehingga ada beberapa temuan pada kasus yang menimpa penggali sumur yang tewas karena oksigen yang dibutuhkan untuk bernafas semakin menipis karena kehadiran karbon dioksida
Manusia di era modern mulai melupakan esensi dari makanan itu sendiri. Hadirnya sebuah makanan yang tersaji di piring itu sudah melalui perjalanan yang panjang. Makanan bisa hadir dimulai dari petani yang menanam dan proses ini tidak luput dari sumber daya alam yang digunakan seperti tanah, air atau sumber daya lainnya. Manusia juga sering lupa dan tidak bijak ketika memilih makanan. Teknologi yang menciptakan makanan instan atau hanya sekedar lapar mata ketika melihat makanan yang sedang viral. Tanpa kita sadari bahwa sebetulnya lidah kita tidak cocok dengan makanan tersebut dan pada akhirnya akan terbuang sia-sia.

Makanan yang terbuang sia-sia tidak hanya berdampak pada lingkungan tapi juga terhadap tatanan kehidupan sosial dan ekonomi. Berdasarkan data yang dihimpun dari Departemen Amerika Serikat pada tahun 2023, makanan yang tidak dimakan dan terbuang di Amerika Serikat mengandung cukup kalori untuk memberi makan lebih dari 150 juta orang setiap tahun. Sehingga mengakibatkan 42 juta orang di Amerika (12.8%) mengalami kerawan pangan.
Sementara menurut ReFED, lembaga nirlaba nasional yang berfokus pada solusi limbah makanan, sisa makanan di Amerika merugikan negara sekitar $428 miliar pada tahun 2022. Sementara limbah makanan diseluruh dunia mengakibatkan kerugian ekonomi mendekati $1 triliun setiap tahun.
Sementara indonesia sendiri menjadi negara peringkat ke 5 penghasil sampah makanan di dunia dan peringkat 1 di ASEAN. Berdasarkan kajian dari BAPERNAS, Indonesia bisa menghasilkan 23-48 juta ton/ tahun atau 115-180 kg/kapita/tahun yang tentu memberi efek yang tidak baik terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Hal ini menjadi ironi ketika Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya alam tapi justru ada ketimpangan terkait makanan tersebut bagi masyarakat yang membutuhkan.
Baca Juga: Tung Tung Tung Sahur dan Anomali Absurd: Imajinasi Digital Generasi Alpha
Maka salah satu upaya manusia paling mudah dalam menjaga bumi adalah dengan menghabiskan isi piring yang sudah tersaji. Selain itu Food Recovery Hierarchy dengan konsep segitiga terbalik yang berisi langkah-langkah seperti Source Reduction (mengurangi volume jumlah makanan yang dihasilkan), Feed Hungry People (membagikan makanan ke bank makanan/ tempat penampungan), Industrial Uses (diproses untuk kebutuhan bahan bakar), Composting (dibuat pupuk), Landfill/ Incineration (melakukan upaya terakhir sebelum dibuang ke TPA) . Jadi hal yang pertama harus dilakukan adalah mengurangi sampah dari sumber makanan dengan berbagi kepada tetangga.
Selain berbagi, satu langkah penting yang bisa dilakukan adalah dengan mengelola sumber makanan misalnya, oncom, seblak, rengginang. Selain itu juga bisa diolah menjadi pupuk kompos yang dimana bisa menjadi lebih bermanfaat dan mengurangi adanya tumpukan gas metana yang bertandang di TPA. (*)