Sore itu saya duduk di teras, menatap langit yang mulai menguning, sambil menikmati teh Gopek khas Kota Tegal. Dari halaman depan, terdengar riuh tawa anak-anak bermain.
Tapi yang mereka mainkan bukan petak umpet atau lompat tali. Mereka saling melempar tebak-tebakan karakter aneh yang membuat saya mengernyit sekaligus tersenyum.
“Tralalero Tralala! Ikan hiu bersepatu!”
“Bombardino Crocodilo! Kepala buaya, badan jet!”
“Tung Tung Tung Sahur! Pentungan mengejar orang yang tidak bangun sahur!”
“Ballerina Cappuccina! Balerina dengan kepala cangkir kopi!”
“Chimpanzini Bananini! Kepala simpanse, badan kulit pisang!”
Bagi saya yang terbiasa dengan dongeng klasik dan tokoh kartun 90-an, karakter-karakter ini terdengar seperti lelucon absurd. Tapi bagi anak-anak, para Generasi Alpha, ini adalah bagian dari realitas bermain sehari-hari.
Imajinasi mereka dibentuk bukan dari buku cerita, melainkan dari potongan video TikTok, meme viral, remix karakter ala internet dan tren global
Generasi Alpha, anak-anak yang lahir setelah 2010, adalah generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya dalam ekosistem digital. Menurut McCrindle & Fell (2020) dalam Generation Alpha: Understanding Our Children and Helping Them Thrive, mereka tidak mengenal dunia tanpa YouTube, iPad, atau media sosial. Mereka memiliki literasi digital dan visual sejak usia dini, dan sangat responsif terhadap tren yang cepat berubah.
Bermain dengan karakter “anomali” seperti ini adalah bentuk ekspresi sekaligus proses belajar informal. Mereka belajar berpikir lateral, memahami simbol, dan menciptakan dunia fiksi kolektif tanpa batas.
Tapi di sisi lain, ini juga menantang kemampuan mereka untuk fokus, membedakan realitas, dan memahami struktur narasi yang lebih panjang dan kompleks.
Anomali sebagai Budaya Pop Digital
Fenomena anomali yang kini viral di media sosial Indonesia bukanlah ciptaan murni anak-anak, melainkan hasil adaptasi dari sebuah tren global yang dikenal secara informal dengan sebutan “Italian Brainrot”. Tren ini pertama kali mencuat di TikTok sekitar Januari 2025 dan dengan cepat menyebar ke berbagai platform digital.
Italian Brainrot merupakan gelombang konten absurd berbasis AI yang ditandai oleh kehadiran karakter-karakter ganjil dengan nama-nama bergaya pseudo-Italia, seperti Bombardino Crocodilo, Tralalero Tralala, dan Chimpanzini Bananini. Karakter-karakter ini biasanya disajikan dengan visual yang tidak masuk akal, hasil manipulasi AI, disertai dengan narasi teatrikal yang dramatis, musik klasik Italia, dan humor yang mengaburkan batas antara lucu dan menyeramkan. Kontennya cepat, absurd, dan penuh kekacauan, namun justru di sanalah letak pesonanya.
Di Indonesia, tren ini diolah ulang oleh para kreator lokal dan diberi sentuhan khas Nusantara. Nama “anomali” dipilih sebagai label utama, sebuah kata yang menegaskan bahwa karakter-karakter ini memang “tidak normal”, mengganggu logika, tapi tetap menghibur.
Maka lahirlah karakter-karakter seperti Tung Tung Tung Sahur, yang menyatukan elemen tradisi lokal sahur dengan horor ringan; atau Gajah Tob Tobi Tob, yang memadukan bentuk hewan dan benda tak lazim dalam satu tubuh ganjil.
Meskipun istilah Italian Brainrot belum banyak dibahas dalam literatur akademik atau media arus utama, keberadaannya dapat dengan mudah ditelusuri melalui komunitas online seperti TikTok, serta forum-forum diskusi digital. Di sanalah tren ini berkembang sebagai bentuk ekspresi postmodern, menantang struktur narasi konvensional dan menyajikan absurditas sebagai bentuk hiburan baru.
Dengan demikian, “anomali” di Indonesia adalah hasil dari proses glokalisasi digital: tren global yang diterjemahkan ke dalam konteks lokal, dipopulerkan oleh generasi muda, dan kemudian menyatu dalam arus budaya populer nasional.
Adaptasi ini memperlihatkan betapa cepatnya Generasi Alpha menyerap, memodifikasi, dan mendistribusikan budaya digital lintas batas, dengan logika yang mungkin tidak masuk akal bagi generasi sebelumnya, tapi sepenuhnya relevan di dunia mereka yang terus berubah.
Fenomena ini menunjukkan pergeseran penting dalam lanskap budaya populer. Jika dulu budaya pop diproduksi oleh industri besar (film, musik, TV), kini ia juga lahir dari video TikTok, meme absurd, dan AI-generated content. Menurut Henry Jenkins (2006) dalam Convergence Culture, kita telah masuk ke era participatory culture, di mana pengguna internet tak hanya mengonsumsi, tetapi juga menciptakan dan menyebarkan budaya sendiri.
Karakter-karakter seperti Troppi Trippi (ikan berbadan beruang) tidak dibuat oleh animator profesional, tetapi lahir dari logika remix, visual acak, dan audio teatrikal khas platform digital. Seperti dijelaskan Lev Manovich dalam The Language of New Media (2001), budaya digital bergerak dengan logika database dan remixability, semua bisa dikombinasikan ulang, dimodifikasi, dan dikembangkan oleh siapa saja.
Globalisasi dan Glokalitas: Ketika Meme Menjadi Bahasa Dunia

Yang menarik, karakter-karakter ini juga menunjukkan bagaimana globalisasi membentuk selera humor dan estetika generasi muda. Mengutip Roland Robertson (1995), fenomena ini adalah contoh glokalitas, yaitu proses di mana unsur global dibingkai ulang dalam konteks lokal.
Nama-nama seperti Chimpanzini Bananini atau Bombardino Crocodilo terdengar asing, tapi dibacakan oleh anak-anak Indonesia dengan percaya diri. Karakter Tung Tung Tung Sahur punya akar dari budaya lokal Ramadan, tapi dibungkus dengan gaya narasi teatrikal ala tren global. Semua ini memperlihatkan bahwa dalam era digital, meme telah menjadi bahasa dunia yang lintas batas, lintas budaya, dan lintas logika.
Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi
Apa Sebenarnya yang Kita Hadapi? Sisi Positif dan Negatif dari Dunia Anomali
Seperti halnya setiap fenomena budaya, dunia anomali digital ini bukan tanpa konsekuensi. Di satu sisi, ia membuka ruang baru bagi imajinasi, kebebasan berekspresi, dan bentuk komunikasi yang segar. Tapi di sisi lain, ia juga membawa tantangan, baik bagi perkembangan anak maupun bagi cara kita memahami realitas, makna, dan relasi antar generasi.
Untuk itu, penting bagi kita melihat fenomena ini secara lebih jernih, bukan sekadar sebagai tren lucu anak-anak, tetapi sebagai cerminan dari perubahan besar dalam cara manusia, terutama Generasi Alpha, berpikir, bermain, dan berhubungan dengan dunia. Dan seperti semua perubahan budaya, ia membawa dua sisi yang perlu kita pahami, sisi positif yang patut dirayakan, dan sisi negatif yang harus diwaspadai.
Sisi Positif
- Kreativitas Tinggi
Karakter-karakter absurd ini memperlihatkan bagaimana anak-anak Gen Alpha memiliki imajinasi yang sangat liar dan bebas. Mereka tak lagi terikat oleh logika naratif tradisional, dunia mereka bisa diisi oleh ikan berbadan beruang (Troppi Trippi) atau balerina berkepala cappuccino (Ballerina Cappuccina). Jika diarahkan dengan baik, kreativitas seperti ini bisa menjadi fondasi inovasi di masa depan. - Koneksi Sosial
Meski terdengar acak, dunia anomali ini membentuk kode sosial internal. Nama-nama seperti Tralalero Tralala hanya dimengerti oleh yang “masuk lingkaran”. Ini menjadi semacam bahasa rahasia antar-anak digital, media untuk membangun rasa kebersamaan, identitas kelompok, dan solidaritas generasional. - Kritis Terhadap Konvensi
Absurd bukan berarti kosong. Karakter seperti Tung Tung Tung Sahur dapat dibaca sebagai satire terhadap tradisi yang dijalankan secara mekanis. Ini adalah bentuk cara anak-anak memproses simbol sosial dan menciptakan versi mereka sendiri yang lebih reflektif, jenaka, dan bebas.
Sisi Negatif
- Tantangan Realitas
Paparan berlebih terhadap dunia absurd dapat menyulitkan anak-anak dalam membedakan realitas dan fiksi. Ketika semua bisa dijadikan parodi, kemampuan untuk menanggapi dunia nyata dengan serius bisa terancam. - Fragmentasi Budaya
Banyak simbol dalam tren ini hanya bisa dipahami oleh kelompok tertentu. Akibatnya, komunikasi lintas generasi jadi semakin sulit. Orang dewasa seringkali tidak mengerti dan ini bisa memperlebar jarak antara dunia anak-anak dan dunia orang tua. - Superficial Thinking
Budaya instan dan cepat-viral ini bisa melemahkan daya tahan berpikir. Jika semua hal diserap secara cepat dan dangkal, anak-anak mungkin kehilangan kemampuan untuk merenung, bertanya, dan berpikir kritis secara mendalam.
Absurd sebagai Cerminan Zaman
Dari Tralalero Tralala hingga Gajah Tob Tobi Tob, kita tidak hanya sedang menyaksikan tren digital, tetapi juga transformasi cara anak-anak memahami dunia. Mereka membangun identitas, bermain simbol, dan menciptakan ruang imajinasi sendiri, dengan gaya yang mungkin terasa aneh bagi kita, tapi sepenuhnya masuk akal di dunia mereka.
Sebagai orang dewasa, mungkin kita tak langsung paham. Tapi justru karena itulah, kita perlu lebih dekat, lebih mendengar, dan lebih mencoba mengerti. Karena di balik kelucuan karakter-karakter absurd itu, sedang terjadi sesuatu yang sangat serius: redefinisi budaya, realitas, dan masa depan imajinasi manusia. (*)