Setiap orang yang mendapat anugerah usia panjang, pasti dia akan mengalami yang namanya proses penuaan.
Kulit yang mulai mengeriput dan tak sekencang dulu lagi, fisik yang mudah merasa lelah dan kepayahan, dan banyak lagi tanda-tanda penuaan alamiah yang umumnya dialami oleh orang-orang yang usianya sudah tak muda lagi.
Menjalani masa tua itu, sebagaimana sedang saya alami (saat ini usia saya sudah menapaki angka 48 tahun) memang butuh persiapan. Termasuk kesiapan mental.
Mental di sini sangat penting, agar kita tak mudah kagetan atau merasa tersinggung (istilah sekarangnya baper) ketika ada orang yang, misalnya, memanggil kita dengan embel-embel Bapak atau Om bahkan Kakek.
Mungkin ada sebagian orang yang merasa tersinggung dan lantas melampiaskan kemarahannya ketika dirinya dipanggil dengan sebutan Ibu atau Tante oleh orang yang baru dikenal.
Misalnya saat membeli makanan di mini market, si pelayan memanggilnya dengan panggilan Ibu pada pembelinya. Lantas, si pembeli merasa tersinggung dan marah-marah kepada si pelayan, karena merasa panggilan Ibu dianggap tidak sopan dan dia merasa masih cukup muda untuk mendapat panggilan Ibu. Mungkin harusnya si pelayan memanggil Mbak atau Kakak saja.
Mudah merasa tersinggung inilah yang saya sebut dengan ketidaksiapan mental saat menghadapi masa-masa tua.
Mestinya, ketika seseorang memanggil Ibu atau Bapak pada kita yang usianya memang sudah lanjut, kita tak usah merasa tersinggung.
Justru menjadi semacam pengingat atau renungan, “Oh saya sudah semakin tua, ya?” Pengingat ini mestinya akan membuat kita berusaha memanfaatkan sisa-sisa usia kita dengan baik.

Saya pun sekarang sudah mulai membiasakan diri menerima segala bentuk panggilan dari orang-orang yang saya temui. Mulai dari panggilan Bapak atau Pak, Om, Pak Lik, hingga Mas. Memang sih, kalau mau jujur, saya lebih senang bila ada orang yang memanggil dengan panggilan Mas.
Menurut saya, diksi "Mas" terdengar lebih enak dan nyaman di telinga meski usia kita sudah tak muda lagi. Hehehe. Panggilan Mas juga terkesan lebih akrab dan menyenangkan.
Bahkan di antara sebagian teman-teman saya yang usianya tak lagi muda, kami biasa saling memanggil dengan panggilan Kakak.
Salah satu tujuannya adalah agar kami bisa lebih akrab dan seolah lupa dengan jumlah usia kami hahaha. Panggilan semacam ini juga menjadi cara bagi saya agar tetap semangat dan bahagia menjalani hari-hari.
Beda lagi dengan keponakan-keponakan saya yang sudah menikah dan memiliki buah hati. Mereka, anak-anaknya keponakan saya, akan memanggil saya dengan panggilan Mbah (Simbah) atau Kakek. Duh, jadi semakin merasa sangat tua, ya? Hehehe.
Namun, terlepas dari apa pun panggilan orang-orang pada kami (orang yang usianya tak lagi muda ini) saya sudah jauh-jauh hari menyiapkan mental dan menerima dengan lapang dada apa pun panggilan yang diberikan orang-orang pada saya. Rasa menerima dan lapang dada inilah yang lantas membantu saya merasa lebih tenang dan bahagia dalam menghadapi masa tua.
Selain perihal panggilan atau sebutan tersebut, tentu masih banyak lagi beragam hal yang berkaitan dengan kesiapan mental kita saat menghadapi masa-masa lanjut usia.
Misalnya, rambut yang semakin memutih. Bagi mereka yang tak siap dengan hal ini, mungkin akan melakukan upaya-upaya agar rambutnya tetap berwarna hitam. Mengecat rambut misalnya, biasa dilakukan oleh mereka yang sudah berusia lanjut usia dan masih ingin terlihat muda.
Lihat Juga: Podcast Terbaru Ayobandung
Kalau saya sendiri, jujur merasa enggan untuk mengecat rambut kepala yang sudah banyak memutih. Saya belajar untuk menerima kondisi saya apa adanya, kondisi yang memang sudah tak lagi muda. Yang saya lakukan adalah berusaha memangkas rambut agar lebih cepak atau pendek.
Selain lebih rapi dan tak butuh sisir, saya juga ada masalah dengan rambut kepala yang bila dibiarkan panjang sedikit saja sudah terasa gatal-gatal.
Jadi intinya, berdamai dan menerima kondisi rambut yang mulai memutih itu juga butuh persiapan mental.
Bila tak siap dengan kondisi perubahan rambut ini, maka dapat berakibat pada suasana hati atau mood yang tidak baik, atau merasa tidak percaya saat harus bertemu dengan banyak orang. Ini tentu akan mengganggu aktivitas kita dan akibatnya hidup kita menjadi kurang bahagia.
Menjalani masa tua dengan bahagia menjadi semacam jargon bagi saya saat ini. Bila ditelisik, ada begitu banyak cara yang bisa dilakukan agar kita tetap bahagia menjalani masa tua. Misalnya, melakukan beragam aktivitas yang bermanfaat dan menyenangkan.
Baca Juga: Hijrah Menuju Masyarakat Beradab
Menyalurkan hobi yang selama ini kita abaikan misalnya, dapat menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan.
Bersepeda, jalan kaki atau jogging di pagi hari, memancing, membaca beragam jenis buku, berwisata, bergabung dengan komunitas yang memiliki hobi senada, merupakan contoh dari sekian banyak hobi atau kegiatan positif yang bisa membuat masa-masa tua kita menjadi lebih menyenangkan.
Pada akhirnya, yang dapat menentukan bahagia tidaknya kita (mau usia muda atau tua) adalah diri kita sendiri. Bukankah Allah Swt. telah memberikan sedikit kuasa bagi kita untuk menentukan arah jalan hidup kita? Oleh karenanya, tentukan kebahagiaan hidup Anda dari sekarang.
Yang perlu dicatat di sini bahwa menjalani hidup bahagia bukan berarti tanpa ujian atau persoalan. Sebab yang namanya hidup, kita akan berhadapan dengan ujian yang sejatinya akan menjadi bekal bagi kita untuk menjadi sosok yang lebih dewasa dan bijaksana. Wallahu alam bish-shawaab. (*)