Sejatinya, kehadiran 1 Muharam 1447 H yang jatuh pada tanggal 27 Juni 2025 menjadi momentum awal untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Saat yang tepat untuk meneguhkan kembali keteladanan dalam kehidupan sehari-hari dan membangun masyarakat yang beradab.
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah bukan sekadar perpindahan secara geografis, melainkan tonggak besar dalam sejarah transformasi peradaban.
Dari masyarakat yang keras, jahil, dan terpecah-belah, Islam menghadirkan tatanan sosial baru yang dilandasi nilai kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama.
Titik Balik Perubahan
Hijrah adalah titik balik. Setiap perubahan pasti terjadi, termasuk bagi masyarakat yang sebelumnya dilabeli “biadab.”
Di Madinah, Nabi bersama para sahabat membangun masyarakat yang plural, bermartabat, dan berkeadaban. Nilai-nilai moral ditegakkan bukan dengan kekerasan, melainkan dengan keteladanan, dialog, dan keberanian untuk berubah.
Dalam catatan sejarah, peristiwa hijriah yang diikuti Muhammad dan 200 orang pengikutnya yang secara diam-diam berhijrah mulai dari bulan Juli-September 622 M ke Madinah ini menjadi titik balik bagi keberuntungan Muhammad dan terciptanya tahapan baru dalam sejarah gerakan Islam.
Apalagi pada saat umat Islam mengambil peranan guna terbentuknya sebuah kesatuan umat bernama negara di Madinah.
Arti penting hijriah dicerminkan dalam pengambilannya sebagai awal tahun baru Islam. Kaum muslim memilih awal tahun sejarah mereka tidak berdasarkan kelahiran Muhammad atau diturunkan wahyu pertama kepadanya, tetapi dari pembentukan komunitas Islam (umat).
Umat ini sebagaimana pribadi-pribadinya menjadi kendaraan untuk mewujudkan kehendak Illahi di muka bumi. (John L. Esposito, 2004:14)

Berkat peristiwa ini, penanggalan Islam dihitung sejak Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Rasul tiba di Madinah pada Senin, 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan 22 September 622 M. Penentuan tahun baru Hijriah dilaksanakan pada era Khalifah Umar bin Khatab.
Ketika peristiwa tahun baru Hijriah kembali tiba untuk diperingati, sesungguhnya spirit dari sejarah nabi yang mesti diserap, khususnya oleh umat Islam, dan umumnya bangsa Indonesia. Buah dari perubahan ini bisa dirasakan oleh semua elemen bangsa dan lebih jauh masyarakat dunia.
Konteks kesejarahan hijriah nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah memuat makna reformatif, baik menyangkut pembangunan perilaku maupun kultur. Bahkan lebih luas lagi perubahan peradaban.
Terminologi masyarakat Madani, sesungguhnya mewakili watak bangunan struktur kemasyarakatan yang universal yang di bawah kepemimpinan Muhammad. Kita merindukan kepemimpinan ala Rasulullah yang secara istiqamah adalah sikap amanah, adil, konsisten yang semuanya berorientasi rakyat. (Pikiran Rakyat, 24/10/2013).
Hikayat Kota Madinah
Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita mewujudkan masyarakat berperadaban, (madani, civil society) di negeri kita tercinta, Republik Indonesia.
Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nabi Muhammad yang memberi teladan kepada umat manusia kearah pembentukan masyarakat berperadaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Makkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan. Allah memberikannya petunjuk untuk hijrah ke Yatsrib, kota wahah (oase) yang subur sekitar 400 km sebelah utara Makah.
Sesampai di Yatsrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, nabi disambut oleh penduduk kota itu dan para gadisnya menyanyikan lagu Thalaa al-badru alayna (bulan purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia.
Setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi ubah nama Yatsrib menjadi al-Madinah artinya kota. Sering dilengkapi menjadi Madinat al-Nabiy (Kota Nabi)
Secara konvensional perkataan Madinah memang diartikan sebagai kota. Tapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna peradaban. Dalam bahasa Arab, peradaban memang dinyatakan kata-kata madaniyah (tamaddun, hadlarah).
Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat (proklamasi), bahwa Rasulullah bersama para penduduknya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.
Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua unsur penduduk Madinah secara kongkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madani dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam satu dokumen yang dikenal sebagai Piagam madinah (Mistaq al-Madinah).
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan antara lain kepada wawasan kebangsaan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama.
Di Madinah itu pula, sebagai pembelaan kepada masyarakat Madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri menghadapi musuh-musuh peradaban.

Keberhasilan Nabi dalam membangun masyarakat berbudi luhur, berakhlak mulia itulah membuat terkagum-kagum Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka, disebut masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah Nabi sendiri wafat tidak bertahan lama.
Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan yang modern, seperti dirintis Nabi.
Setelah wafat Nabi, masyarakat Madani warisan Nabi itu, yang antar lain bercirikan egalitarianisme, berdasarkan prestasi, (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras), keterbukaan, partisipasi seluruh anggota masyarakat dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan hanya berlangsung selama tigapuluh tahun masa Khulafaur Rasidin.
Sesudah itu, sistem sosial Madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak kesukuan (tribalisme Arab pra-Islam) yang dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan (geneologis).
Dalam menegakan masyarakat Madani Nabi tidak pernah membedakan antara orang atas orang bawah ataupun keluarga sendiri. Nabi pernah menegaskan hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu dikarenakan orang atas melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi orang bawah melakukannya pasti dihukum.
Karena itu Nabi pun menegaskan, seandainya Fatimah itu melakukan kejahatan maka akan diberi hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban melakukan adanya pribadi-pribadi dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan. (Jurnal Ulumul Quran No 2 VII/1996: 51-53)
Memupuk Semangat Hijrah
Bagi Cak Nur, pelajaran terpenting dari peristiwa Hijrah adalah memperingati pergantian nama Kota Yatsrib menjadi Madinah. “Pergantian itu melambangkan peningkatan tata hidup yang ber-madaniyah, bersivilisasi, beradab, dan berbudaya. Dan itulah memang yang dibangun Nabi Saw. Setelah Hijrah.”
Usaha membangun masyarakat yang berperadaban itulah yang Rasulullah Saw. lakukan selama sepuluh tahun di Madinah. Dan umat Islam bisa berefleksi tentang tantangan modernitas dari pengalaman Nabi di masa klasik ini. (Nurcholish Madjid, 1994:113 dan Budhy Munawar-Rachman, 2007:138)
Semangat hijrah adalah nilai yang selalu relevan sepanjang zaman. Di tengah krisis moral, derasnya arus informasi, dan ancaman dehumanisasi di era digital, kita semakin membutuhkan semangat hijrah. Keberanian untuk meninggalkan kebiasaan yang merusak, menuju kehidupan yang lebih adil, manusiawi, dan berkeadaban.
Masyarakat beradab tidak tercipta dalam semalam. Namun terlahir dari tekad bersama untuk bergerak dari keburukan menuju kebaikan, dari kebodohan menuju pengetahuan, dan dari kekerasan menuju kelembutan. Tentunya semua itu berawal dari satu langkah hijrah, perubahan dalam diri sendiri.
Dengan demikian, tahun baru Islam adalah momentum penting untuk meneguhkan cita-cita membangun peradaban. Bukan peradaban yang biadab, bahkan barbar di tengah berbagai krisis, melainkan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai moral, toleransi, dan kemanusiaan.
Mari kita meneladani Rasulullah SAW dalam membangun peradaban yang berkeadilan dan berkeadaban. Mudah-mudahan 1 Muharam 1447 H menjadi awal baru bagi perubahan diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selamat Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. (*)