TIGA kue atau camilan jadul yang masih bisa tetap bertahan hingga kini di era modern, di tengah bermunculannya beragam kue atau camilan baru dari dalam maupun luar negeri, yaitu: Burayot, Ali Agrem, dan Cucur.
Entah berasal dari daerah mana trio jajanan manis legendaris yang berbahan dasar atau nyaris “bernasab” sama—gula merah, terigu, tepung beras, garam, lalu digoreng--tetapi berbeda dari cara pengolahannya ini sehingga ketiganya memiliki perbedaan mencolok pada tekstur dan punya nama yang berbeda pula.
Burayot diklaim berasal dari Garut. Penjualnya banyak kita temui di Kota Dodol ini, khususnya di Kecamatan Kadungora, kemudian bermunculan di daerah lain. Konon, nama Burayot diambil dari saat cara pembuatannya--saat mengangkat adonan menggunakan kayu kecil sehingga tampak adonan itu ngaburayot (menggelembung) dan dari bentuknya itulah timbul nama Burayot.
Sementara itu, Karawang mengklaim Ali Agrem berasal dari daerahnya—meskipun juga banyak kue ini dibuat di tempat lain. Kue yang dibuat mirip kue donat ini—ada lubang di tengah-tengah—tetapi lebih kecil, dibuat dari tepung beras dan gula merah, serta memiliki tekstur padat di bagian dalam dan kering di luar.
Sedangkan, kue cucur, konon aslinya berasal dari Betawi—tetapi juga banyak dibuat di Tanah Pasundan--dicirikan dengan bagian tengahnya yang bersarang seperti sarang semut, sehingga tercipta tekstur yang renyah di luar dan lembut di dalam.
Meskipun berasal dari daerah yang berbeda, ketiga jajanan yang “bernasab” nyaris sama ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan kuliner jadul di Jawa Barat dan sering diburu wisatawan sebagai oleh-oleh. Perbedaan kelezatan—dari kenyal dan padatnya Burayot, padatnya Ali Agrem, hingga bersarangnya Cucur—menjadikan trio camilan ini representasi menarik dari keragaman kuliner.
Konon, di balik manisnya Ali Agrem, ada filosofi dan harapan. Bagi masyarakat Sunda, Ali Agrem bukan hanya sekadar camilan. Bentuknya yang menyerupai cincin diyakini melambangkan ikatan yang tak terputus antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Filosofi tersebut menjadikan Ali Agrem sebagai bagian penting dalam berbagai acara adat seperti pernikahan, syukuran, hingga khitanan.
Kue ini juga memiliki filosofi yang unik. Manisnya gula aren dalam kue ini juga dianggap sebagai simbol harapan agar kehidupan senantiasa dipenuhi kebaikan dan keberuntungan. Tak heran, Ali Agrem kerap dijadikan sajian dalam momen penuh doa dan kebersamaan.

Di sekitar Saparua, Bandung, terlihat seorang wanita dengan cekatan mencuil adonan, lalu membentuknya menjadi bola-bola kecil, lalu meletakkannya di atas talenan kayu yang telah dibungkus plastik bening. Bola-bola kecil itu kemudian dipipihkan hingga berbentuk lingkaran. Setelah siap, adonan tersebut dimasukkan ke dalam wajan berisi minyak panas. Perlahan, adonan mengembang sempurna, lalu diangkat menggunakan sebatang bambu dan adonan itu tampak menggelembung (ngaburayot). Hasil akhirnya adalah kue tradisional khas Garut bernama Burayot
Tak hanya Burayot, wanita itu juga membuat Ali Agrem. Bedanya, saat menggoreng, bagian tengah adonan dilubangi hingga menyerupai bentuk cincin atau donat.
"Ini bahan bakunya tepung beras dan gula aren, dibentuk ada yang jadi Burayot, ada juga yang dijadikan Ali Agrem. Prosesnya sama saja digoreng," kata Wanita itu yang bernama Mujiawati, berasal dari Garut.
Keahlian membuat Burayot dan Ali Agrem bukanlah hal baru bagi Mujiawati. Ia sudah mempelajari resep yang didapatnya secara turun-temurun dari nenek moyangnya.
Tidak kalah enak, kue Cucur cocok dijadikan camilan yang lezat di akhir pekan. Cara membuatnya juga terbilang mudah--adonan yang terdiri atas campuran tepung beras, tepung terigu, dan gula merah, lalu digoreng.
Kue Cucur yang telah digoreng memiliki tekstur renyah pada pinggirannya. Bagian tengahnya bersarang dan teksturnya empuk lembut.
Itulah sekelumit kisah dari tiga kue atau camilan jadul dengan “nasab” yang nyaris sama ini: Burayot, Ali Agrem, dan Cucur. Semoga ketiganya masih bisa terus bertahan di tengah ketatnya persaingan kuliner saat ini. (*)
