Pagi yang cerah itu. Saat sedang asyik membaca liputan berjudul “Di Setiap Tendangan Bola Api, Tradisi Itu Menyala Kembali”, kisah unik dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1447 Hijriyah di halaman Masjid Safinatussalam, Desa Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung, tiba-tiba anak kedua, Aa Akil (10 tahun), berkomentar
“Bah, itu beneran pakai bola api? Nggak sakit atau kebakaran waktu nendang bolanya?”
Kujawab singkat sambil tersenyum, “Moal atuh, da sok latihan heula!”
Biasanya, perayaan tahun baru Islam diramaikan dengan pawai obor. Tapi kali ini, hanya ada berbagai perlombaan; Adzan, Qomat, Sholawat, Puisi, dan Cerdas Cermat.
“Emang Aa ngiring lomba naon?” tanyaku.
“Lomba adzan, sholawat sama baca puisi. Tapi Aa masih bingung, puisi tentang apa ya yang bagus?” jawabnya polos.

Memupuk Tradisi
Justru pikiranku melayang ke kampung halaman tahun 1990an. Memang sudah menjadi tradisi, setiap perayaan Tahun Baru Hijriah selalu diramaikan dengan pawai obor.
Di kampung Bungbulang, Garut Kidul, daerah yang terkenal dengan camilan opak, wajit, dan sale, perayaan hijriah itu begitu membekas. Biasanya, seminggu sebelum pergantian tahun Islam, anak-anak yang mengaji di Masjid Darussalam akan mendapat tugas dari Ajengan untuk membuat obor. Lomba menghias obor menjadi pengalaman berharga yang tak terlupakan bagi barudak.
Bambu milik Pa Haji Hasan selalu jadi langganan bahan obor. Ada yang bertugas menyiapkan bambu, membawa gergaji, sumbu dari kain kompor, dan minyak jelantah.
Caranya pilih bambu yang kuat, tidak retak dan tak berlubang, lalu potong sekitar 60–80 cm. Potongan bambu harus memiliki dua ruas; satu untuk pegangan, dan satu lagi sebagai wadah bahan bakar.
Salah satu ruas diisi minyak jelantah, lalu dimasukkan sumbu dari kain kompor dan dibiarkan, hingga minyak meresap sempurna. Agar minyak tidak mudah tumpah, bagian atas bambu ditutup tanah liat. Setelah sumbu siap, obor pun bisa dinyalakan. Hore, hurung!
Beragam lomba biasa digelar untuk menyemarakkan Tahun Baru Islam, mulai dari lomba pidato, adzan, iqamat, hafalan surat pendek, sampai nadoman (pupujian). Puncaknya dilakukan pawai obor keliling kampung, sambil bersalawat, melantunkan pupujian, diiringi tagonian, rebana, atau alat musik sederhana lainnya.
Rute pawai dimulai dari depan masjid, lurus ke pesantren, memutar ke sekolah dasar, melewati Masjid Agung, lalu ke stamplat, belok kiri ke Pasar Lama, dan berakhir di tempat ngaji. Di serambi Masjid Darussalam sudah disiapkan nasi kuning untuk botram. Asyik makan bareng sambil balakecrakan!
Masih segar dalam ingatan, Ajengan pernah berkata, "Pokona mah, tradisi pawai obor téh salah sahiji cara dakwah, syiar Islam para wali nu masih dijaga ku umatna dugikeun ka kiwari."
Orangtua selalu mewanti-wanti generasi muda untuk terus menjaga tradisi pawai obor. Tradisi ini tak sekadar meriah-meriahan, tapi bentuk nyata menyambung silaturahmi dan kebersamaan. "Nya, supados hente pareumeun obor istilahna mah."
“Pareumeun obor” artinya hubungan yang padam, tak saling kenal, termasuk dengan saudara, keluarga sendiri karena tali silaturahmi terputus. Walhasil, pawai obor hadir untuk mencegah itu semua. Obor yang menyala menjadi simbol semangat berkumpul, bersilaturahmi, dan menjaga keterhubungan antargenerasi.
Tak hanya itu, pawai obor dapat memberikan kegembiraan bagi masyarakat. Saat bertemu kelompok lain, peserta langsung bercengkrama, saling menyapa, sampai memamerkan keahlian memainkan obor.
Untuk memeriahkan 1 Muharam, panitia dan Ajengan biasanya mengadakan lomba baris-berbaris. Kelompok yang paling tertib dan rapi akan mendapatkan hadiah menarik.
Lantunan salawat dan takbir terus menggema di sepanjang pawai. Peserta berjalan perlahan dengan tertib dan menjaga jarak, memastikan rombongan tetap aman dan nyaman.
Mengelilingi kampung sambil membawa obor menyala, melantunkan nadoman, membentuk barisan bersama-sama. Sungguh semuanya menciptakan suasana yang hangat, ramai, damai, dan sungguh indah.

Merayakan Kebersamaan
Lain daerah, lain cara merayakan Tahun Baru Hijriah. Bila di Masjid Darussalam, Bungbulang Garut Kidul, tradisi pawai obor terus menyala dari generasi ke generasi, maka di halaman Masjid Safinatussalam, Perumahan Bumi Harapan, Desa Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung, ada satu tradisi yang tak kalah membara, sepak bola api.
Rangkaian acara diisi oleh sejumlah kegiatan, seperti pawai obor, kirab, hingga penampilan pentas seni bernuansa Islam. Warga gembira. Menikmati setiap penampilan yang disajikan.
Ketua Panitia, Abil Saidy Abdilah, tradisi ini bukan hal baru. “Tradisi bola api ini sudah berlangsung sejak 2010, diwariskan dari para sesepuh. Sempat terhenti akibat pandemi, tapi kembali dihidupkan sejak 2020, meski dalam skala terbatas,” ujarnya.
Dulu, permainan ini dimainkan oleh kalangan bapak-bapak. Kini, demi keamanan dan regenerasi, bola api dirancang agar bisa dimainkan anak-anak dan remaja.
Lapangan yang digunakan malam itu lebih kecil dari biasanya karena lapangan utama sedang direnovasi. Jumlah pemain disesuaikan, dari lima orang per tim menjadi empat. Meski demikian, semangat tak surut. Delapan tim terbentuk secara spontan, siap bertanding dengan semangat menyala.
Di balik kobaran api yang melingkupi bola, tersimpan pesan spiritual yang mendalam."Bola api itu panas. Itu simbol bahwa kita harus introspeksi diri. Api neraka jauh lebih panas daripada bola api ini,” tutur Abil.
Malam tahun baru ini bukan sekadar euforia. Ada momen refleksi yang dihadirkan melalui kegiatan tambahan tahun ini, pemutaran film animasi sejarah Nabi setelah salat Magrib. "Kami ingin menyisipkan unsur pengetahuan juga, khususnya untuk anak-anak," jelasnya.
Abil mengungkapkan bahwa semangat anak-anak justru semakin besar di tengah zaman yang serba modern. “Dari kecil mereka sudah lihat kita main bola api. Sekarang mereka pengin coba sendiri," tuturnya.
Anak-anak yang dahulu hanya menonton dari pinggir lapangan, kini ikut berlari dan membawa nyala itu sendiri. Dalam setiap tendangan bola api, mereka bukan hanya bermain, tapi mewarisi keberanian, merawat memori, dan mencipta kenangan yang kelak mereka ceritakan kepada anak-anak mereka. (Ayo Bandung, Jumat, 27 Juni 2025 | 08:46 WIB)
Ingat, tradisi ini bukan sekadar permainan ekstrem, melainkan simbol keberanian, kebersamaan, dan refleksi spiritual yang dibungkus dalam semangat perayaan. Tentunya digelar setiap malam 1 Muharam, pertandingan ini menyatukan warga, baik pemain maupun penonton, dalam suasana penuh antusias dan kekhidmatan.
Bila dulu anak-anak hanya menonton di pinggir lapangan, sekarang mulai turun langsung ke arena, menyepak bola api dan merawat tradisi dengan cara mereka sendiri.
Ya di setiap tendangan, ada keberanian. Di setiap nyala api, ada cerita yang diwariskan. Inilah wajah Tahun Baru Hijriah di Cibiru Hilir bak selebrasi yang terus menyala, demi tradisi agar tetap terjaga dan terawat.
Sore itu cerah. Saat sedang mengikuti acara selamatan tujuh bulan mantu Pak RW 04 di Babakan Dangdeur, Cibiru, Kota Bandung, tiba-tiba anak kedua Aa Akil datang dengan napas terengah-engah.
“Assalamualaikum... Bah. Aa dapet juara baca puisi!”
Kujawab singkat, “Wassalamualaikum... Alhamdulillah, selamat ya, Aa!” sambil kupeluk erat tubuhnya.
Pawai obor, sepak bola api, adzan, qomat, sholawat, pembacaan puisi, cerdas cermat, kirab, pentas seni, pemutaran film, hingga nonton bareng kisah sejarah Nabi. Semuanya menjadi bagian dari tradisi dalam memeriahkan peringatan Tahun Baru Hijriah.
Dengan demikian, rangkaian kegiatan ini bukan sekadar hiburan, tetapi upaya untuk mensyiarkan ajaran Islam dan menegakkan risalah Nabi Muhammad saw. (*)
Ngobrol Sejarah Junghuhn di Podcast AyoTalk: