Alkisah, Susan Carland, seorang mualaf, ahli sosiolog asal Australia sempat menggemparkan dunia maya. Pasalnya, segala tindakan filantropi yang dilakukanya sebagai respons atas perlakuan tidak menyenangkan terhadap dirinya.
Carland sering menerima cemoohan dari para aktivis antimuslim, mengingat dirinya dibesarkan dalam lingkungan Kristen, tapi memilih menjadi mualaf pada usia 19 tahun. Melalui akun twitter(x)-nya, Carland kerap menerima cemoohan, hinaan karena mengenakan hijab dan memperlihatkan sikap kepedulian atas umat Islam di Australia.
Walhasil, Carland menemukan solusi yang brilian dalam merespons tindakan bullying yang dilakukan oleh para hatter-nya. Caranya dengan melakukan donasi sebesar 1 dolar kepada anak-anak miskin untuk setiap hate-speech yang diterimanya melalui twitter (X). Tindakan terpuji ini segera menjadi viral di kalangan pengguna internet.
Bandingkan dengan sikap kita dalam menyikapi tindakan bullying di media sosial. Justru kita sering tidak menerima, bahkan balas menci-maki, menghujatnya.
Sepanjang tahun 2024, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, melonjak drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dari 573 jumlah itu, 31 persen merupakan kasus bullying, 42 persen merupakan kekerasan seksual, menjadikannya bentuk kekerasan paling dominan tahun ini.
Untuk kasus kekerasan pada 2020 tercatat hanya 91, meningkat menjadi 142 kasus (2021), 194 kasus (2022), dan 285 kasus (2023). Lonjakan ini menunjukkan bukan hanya peningkatan kasus, tapi menumbuhkan kesadaran publik untuk melapor.
Temuan ini menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan, bullying dan kekerasan seksual bukan lagi isu tersembunyi, melainkan krisis yang harus segera ditangani. (Tirto, 30 Desember 2024)
Dalam Laporan Tahunan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat telah menerima 2.057 pengaduan sepanjang tahun 2024. 954 kasus telah ditindaklanjuti sampai tahap terminasi. Sisanya telah diberikan layanan psikoedukasi (dirujuk) ke penyedia layanan setempat.
Pengawasan dilakukan di 78 wilayah, mencakup dua klaster utama, Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA). Isu terbanyak berasal dari lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (1.097 kasus), anak korban kejahatan seksual (265 kasus), pemenuhan hak atas pendidikan, waktu luang, budaya, dan agama (241 kasus), anak korban kekerasan fisik dan psikis (240 kasus), anak korban pornografi dan kejahatan siber (40 kasus). (KPAI, 11 Februari 2025)
Memang sebagian masyarakat kita tengah terjangkit penyakit lebih bangga dapat mem-bully orang lain dengan melontarkan cacian, makian, fitnah di medsos daripada bertutur baik, tidak ikut membagikanya.
Padahal bangsa Indonesia mempunyai nilai-nilai luhur dan menjunjung sikap saling menghormati atas segala perbedaan, bukan saling mencaci-maki.
Media Dakwah
Mari kita belajar kepada Susan Carland tentang pemanfaatan internet dalam melakukan syiar, aktivisme dakwah Islam.
Dalam buku Dakwah di Era Media Baru karya Moch. Fakhruroji, dosen UIN Bandung menguraikan keistimewaan tindakan Carland itu bukan terletak bagaimana memberi donasi kepada anak-anak miskin, tetapi donasi itu dijadikan sebagai cara respons atas perilaku tidak menyenangkan yang dialaminya.
Sebagai seorang mualaf, Carland mengakui kendala-kendala sosial tidak hanya muncul secara riil, tetapi secara virtual melalui tindakan bullying di medsos.
Disadari atau tidak, tindakan Carland merupakan salah satu bukti nyata tentang internet yang telah menjadi lebih dari sekedar media yang memfasilitasi dan memerantarai pertukaran informasi seputar Islam.
Internet telah menjadi sebuah lingkungan baru yang dapat mewadahi ekspresi umat Islam dalam konteks global, sebagaimana pula ditemui pada agama-agama lain. Umat Islam melihat internet sebagai wahana baru bagi aktivisme dakwah Islam yang lebih konstruktif.
Sungguh apa yang dilakukan Carland merupakan salah satu gerakan sosial dengan motif agama yang muncul dalam konteks cyberspace. Wikotorowics menyebut fenomena semacam ini sebagai aktivisme Islam, semua bentuk gerakan dengan tujuan mendukung segala kepentingan kaum muslim.

Untuk kasus Carland, sikap yang ditunjukkanya bukan terletak pada bagaimana melakukan donasi, tetapi donasi itu sendiri, sebagai tindakan pembelaan terhadap kepentingan dan eksistensi kaum muslim.
Dalam ruang sosial baru, internet memiliki peluang yang sama dalam memfasilitasi gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan sosial keagamaan. Dalam khazanah Islam, gerakan sosial kegamaan diperlihatkan melalui etos dakwah.
Oleh sebab itu, membicarakan aktivisme Islam sebagai gerakan sosial pada dasarnya selalu berhubungan dengan konteks dakwah yang memang memiliki agenda utama untuk melakukan perubahan sosial. Dengan demikian, aktivisme Islam pada tataran praktisnya tidak lain merupakan aktivisme dakwah.
Lingkungan Islami
Hadirnya konsep Cyber-Islamic Environments (CIEs), lingkungan Islami di internet merupakan bentuk kesadaran mendalam umat Islam atas perkembangan teknologi internet. Dengan pendekatan lebih spesifik menyajikan analisis fenomena atas gagasan Bunt sebagai aktivisme dakwah.
Interaksi sosial di internet yang direpresentasikan melalui situs portal, media sosial, blog, aplikasi berbasis smartphone telah meneguhkan pandangan internet, bukan lagi sesuatu yang dianggap sekadar media dalam arti conduits yang mengantarkan pesan dari satu pihak ke pihaka lain.
Lebih dari itu, internet merupakan sebuah ruang ekspresi, rumah, perpustakaan, toko buku, bioskop, televisi, tempat rekreasi, ruang komunitas dan ruang sakral.
Dengan demikian, internet dapat menjadi salah satu ruang perantara seseorang untuk --meminjam istilah Althusser-- mematerialisasikan ideologi yang dianutnya, aktivisme dakwah salah satunya.
Umat Islam yang memiliki kewajiban untuk berdakwah, kehadiran Cyber-Islamic Environments (CIEs) di internet merupakan modal dasar bagi lahirnya model-model (pola-pola) aktivisme dakwah yang mungkin sama sekali baru.
Ingat, internet bukan ruang informasional dengan karakteristik yang homogen. Semua jenis informasi muncul di internet, mulai dari informasi keagamaan, hingga perjudian yang memiliki potensi sejajar antara satu dan yang lainya.
Dalam informasi agama pun sering muncul informasi yang kontra-pruduktif dan dipandang menyesatkan serta merugikan bagi umat Islam itu sendiri.
Salah satu yang dipandang merugikan itu dengan munculnya pesan-pesan keagamaan bernuansa radikal yang hadir (tersedia) dari situs yang mengatasnamakan portal berita Islam, hingga penutupan 22 situs Islam.
Kemunculan pesan-pesan radikal itu pada dasarnya tidak hanya disebabkan oleh penafsiran sepihak atas ayat-ayat Al-Quran, tetapi juga karena kurangnya pengetahuan tentang standar penyiaran dan kode etik jurnalisme daripada pengelola portal berita Islam.
Secara umum aktivisme dakwah di internet dapat diidentifikasikan sebagai: pertama, upaya domestikasi teknologi oleh agama; kedua, upaya kontruksi identitas; ketiga, bentuk aksi solidaritas keumatan; keempat tindakan antisipasi atas keberlimpahan informasi; kelima bentuk perlawanan.
Virtual Ummah
Oliver Roy, peneliti asal Prancis, memunculkan sebuah istilah teoritis yang mendeskripsikan tentang kiprah dan eksistensi umat Islam di internet yang disebut Virtual Ummah. Hasil penelitian Roy yang dilakukan di negara-negara barat itu mengungkapkan komunitas virtual dalam kontek keislaman dianggap mampu membantu, menjembatani komunikasi dan pemenuhan kebutuhan menjadi seorang muslim.
Virtual ummah merupakan salah satu solusi yang memfasilitasi umat Islam di seluruh dunia untuk "bertemu", berkomunikasi dan berbagi pengalaman.
Dalam konteks ini, virtual ummah dapat diartikan sebagai representasi dari komunitas muslim di seluruh dunia yang difasilitasi oleh teknologi internet. Inilah yang membuat Roy meyakini virtual ummah sebagai tempat yang sempurna bagi umat Islam dalam mengekspresikan diri seraya mengklam dirinya sebagai bagian dari komunitas untuk saling berkontribusi dan mengambil peran secara aktif.
Upaya mengartikulasikan Islam itu memang banyak peran yang dapat dijalankan umat Islam dalam konteks virtual ummah.
Salah satunya dengan berbagi informasi dan pengetahuan keagamaan. Misalnya, ketika seorang muslim ingin mengimplementasikan anjuran Rasul dalam satu hadis "Yang terbaik di antara kamu (umat Islam) adalah mereka yang mempelajari Al-Quran dan mengejarkannya" maka mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam pemahaman Al-Quran dapat menyebarkanya melalui internet.
Caranya dengan membuat dan menyebarkan software semacam Al-Quran Digital, menyelenggarkan pembelajaran Al-Quran secara online, pembahasan tema-tema Al-Quran melalui discussion forum.
Cyber-Islamic Environments (CIEs) merupakan salah satu manisfestasi dari virtual ummah. CIEs dapat dipandang sebagai upaya positif untuk membedakan zona di internet yang merepresentasikan keragaman pandangan umat muslim dalam dunia Islam yang secara keseluruhan mencoba menghadirkan identitas dengan cara mengonseptualisasi Islam.
Tentunya lingkungan ini menampilkan identitas Islam, termasuk keyakinan esensial yang berkembang secara mayoritas dalam masyarakat Islam. Meskipun demikian, tidak semua aspek Islam direpresentasikan seluruhnya secara online, khususnya bagi mereka yang masih belum memiliki konteksi internet.
Melalui CIEs, umat Islam sesungguhnya tengah melakukan proses identifikasi dan kontruksi identitas dalam internet yang tidak terbatas. Semua ini disebabkan sebagian umat Islam yang net-literate betul-betul menyadari internet merupakan sebuah dunia yang penuh dengan spekulasi.
Meski sebagian pihak melihat CIEs sebagai bentuk ekslusivitas umat Islam di internet, tapi aya yang dilakukan oleh umat Islam melalui CIEs itu merupakan tindakan riil yang patut diapresiasi sebagai bentuk peneguhan identitas muslim di internet. (Moch. Fakhruroji, 2017: viii, 176-179, 185-187)

Maraknya ujaran kebencian (hate speech), cyberbullying, dan berita hoaks yang berkaitan dengan agama di internet kerap menciptakan citra negatif terhadap dunia maya.
Padahal, internet menyimpan potensi besar sebagai sarana untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang damai dan penuh rahmat sekaligus menjadi ruang strategis untuk merespons berbagai stereotipe negatif terhadap umat Islam.
Internet tidak hanya berperan sebagai media penyebaran konten dakwah, temasuk sarana membangun aktivisme dakwah Islam yang lebih kreatif, inklusif, dan transformatif.
Dakwah digital kini menjadi jalan baru untuk menjangkau masyarakat yang semakin terkoneksi melalui media sosial, platform video, podcast, dan berbagai kanal digital lainnya.
Dalam konteks ini, isu-isu seperti dakwah Islam di masyarakat jejaring, interaksi dakwah dengan budaya media, media baru, budaya siber (cyberculture), agama di ranah digital (cyberreligion), aktivisme dan ekspresi dakwah di internet menjadi sangat relevan untuk dikaji lebih dalam.
Kehadiran aktivisme dakwah digital, dengan berbagai aplikasi dan platform daring, merupakan bukti nyata internet telah berkembang menjadi lebih dari sekadar media komunikasi dan menjadi lingkungan baru yang mewadahi ekspresi keagamaan umat Islam dalam konteks global, sekalipun yang dialami oleh pemeluk agama-agama lain.
Dengan demikian, umat Islam harus menjadikan internet sebagai wahana strategis untuk mengembangkan aktivisme dakwah yang lebih konstruktif, adaptif terhadap zaman, dan terbuka terhadap keberagaman pengguna di era digital ini. (*)