AYOBANDUNG.ID - Pada awal 2009, Indonesia mendadak punya pahlawan baru. Bukan pemain sinetron, bukan pejabat, bukan pula tokoh spiritual berkharisma yang muncul dari lereng gunung. Pahlawan itu justru bocah SD berumur sembilan tahun yang lebih suka main hujan dan lari-larian di pematang sawah. Namanya Ponari, anak kampung dari Dusun Kedungsari, Jombang, yang mendadak melompat dari dunia bocah ke panggung nasional hanya berbekal satu batu yang katanya jatuh dari langit bersama petir.
Hikayatnya dimulai dengan cara yang sangat Indonesia: hujan deras, kilat yang menyambar, dan cerita yang beranak-pinak lebih cepat daripada mie instan dimasak mahasiswa di akhir bulan. Ada versi yang bilang Ponari tersambar dan pingsan, ada versi yang bilang ia cuma mengambil batu yang muncul entah dari mana setelah badai lewat. Apa pun kronologinya, yang jelas batu itu menjadi tokoh utama kedua setelah si bocah sendiri. Batu kecil seukuran telur ayam itu diberi nama batu petir atau batu geledek, seolah ia punya paspor kosmik yang menghubungkannya ke dunia lain.
Ponari mulai mencoba batu tersebut pada tetangganya. Caranya sederhana: celupkan batu ke air, biarkan airnya diminum atau dioleskan. Ia tidak punya mantera rumit, tidak punya seragam dukun, dan tidak memegang tongkat atau keris yang dipamerkan di atas tikar. Yang ia punya hanya batu, ember, dan kepercayaan warga. Keajaiban kecil pun mulai diceritakan. Demam turun, sakit kepala menghilang, sendi longgar kembali kencang. Dari mulut ke mulut, cerita itu mengalir ke seluruh desa Balongsari, lalu keluar desa, lalu keluar kabupaten, lalu keluar provinsi. Dalam waktu beberapa minggu, Indonesia berubah menjadi negara dengan satu pusat ziarah baru: rumah Ponari.
Baca Juga: Hikayat Sumanto, Kanibal Tobat yang Tertidur Lelap dalam Siaran Televisi
Pada pertengahan Januari 2009, media lokal mulai melirik. Kamera televisi menemukan si bocah yang lebih suka main kelereng daripada bicara di depan wartawan. Pemberitaan naik daun dengan kecepatan seperti mie instan tadi. Ponari dijuluki dukun cilik, penyembuh ajaib, bocah sakti, dan berbagai gelar lain yang membuat anak kelas tiga SD mana pun pasti bingung kalau tiba-tiba diminta memberikan testimoni di TV nasional.
Warga berdatangan membawa segala jenis air: air galon, air sumur, air kendi, air sungai yang entah sebersih apa. Air itu dicelupkan batu petir oleh Ponari, lalu dibawa pulang sebagai pengobatan. Tidak ada tarif resmi, tapi uang mengalir dalam bentuk sumbangan suka rela yang jumlahnya bisa membuat kantong celana bocah sembilan tahun itu terlalu penuh untuk ukuran anak desa.
Tetapi, fenomena ini punya efek samping yang luar biasa. Pada Februari hingga Maret 2009, jumlah pengunjung mencapai puluhan ribu dalam satu hari. Bayangkan desa kecil yang jalan utamanya mungkin cuma cukup dua sepeda motor berpapasan, tiba-tiba mendadak harus menampung manusia sebanyak isi stadion sepak bola. Kilometer demi kilometer antrean terbentuk dari orang-orang yang datang jauh-jauh dari berbagai pulau. Ada yang membawa pasien dengan kursi roda, ada yang naik pikap, ada yang digendong sambil teriak minta jalan.
Desa Balongsari berubah menjadi pusat ekonomi mikro yang sesak. Warga membuka warung dadakan, kios minuman, lahan parkir seluas halaman tetangga, serta posko penginapan yang lebih mirip bilik ronda. Pendapatan desa melejit dalam hitungan hari. Angka miliaran rupiah disebut sebagai perputaran ekonomi selama masa-masa puncak itu.
Di balik hiruk-pikuk itu, tragedi tidak bisa dihindari. Desak-desakan menelan korban jiwa. Beberapa pengunjung meninggal karena kelelahan dan terinjak kerumunan. Ada juga kasus anak kecil yang meninggal setelah meminum air celupan batu, yang kemudian memicu perdebatan soal higienitas. Kematian ini menjadi alarm keras untuk polisi setempat yang mencoba mengatur antrean dengan sistem kartu kunjungan. Tapi kerumunan itu seperti gelombang laut: sulit dikendalikan dan selalu datang lagi.
Baca Juga: Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi
Sorotan media internasional juga muncul. Ponari menjadi headline di berbagai negara, gambaran eksotis dari masyarakat yang masih percaya bahwa batu kecil dari petir bisa menyembuhkan penyakit kronis. Dunia luar terheran-heran, tapi di Indonesia, kepercayaan dan harapan selalu punya ruang besar. Kadang terlalu besar.

Kontroversi pun mulai tumbuh. Dari sisi kesehatan, para dokter khawatir metode ini membuat pasien menunda pengobatan medis. Dari sisi agama, praktik penyembuhan dengan benda dianggap menyalahi ajaran. Dari sisi hak anak, Ponari tidak sekolah hampir sebulan penuh. Ia terjebak antara menjadi bocah dan menjadi fenomena nasional. Pihak sekolah memintanya kembali belajar, namun antrean pasien yang mengular membuat permintaan itu terdengar seperti angin lewat.
Pemerintah daerah akhirnya turun tangan. Polisi menutup akses, antrean dibubarkan, dan Ponari dipaksa kembali menjadi anak seusianya. Pada Maret 2009, batu petir mulai kehilangan kilau di mata publik. Kerumunan mereda. Media mencari sensasi baru. Desa Balongsari perlahan kembali sunyi.
Baca Juga: Hikayat Skandal Dimas Kanjeng, Dukun Pengganda Uang Seribu Kali Lipat
Kehidupan Ponari Setelah Batu Petir
Setelah badai 2009 berlalu, Ponari kembali ke kehidupan yang jauh lebih sederhana. Ia bersekolah kembali, meski sesekali masih ada yang datang membawa sebotol air berharap mendapatkan celupan sakti. Pada satu titik, keluarganya bahkan sempat menggunakan uang donasi untuk membangun rumah yang lebih layak. Namun dibandingkan hidup glamor, Ponari lebih sering disebut menjalani masa remaja sebagai pemuda desa biasa.
Ketika Indonesia sibuk mengikuti drama politik tahun demi tahun, Ponari tumbuh dalam diam. Waktu berjalan cepat. Media sesekali menengok kembali kisahnya, seperti seorang mantan selebritas yang dulu sangat terkenal tapi tidak tahu harus kembali tampil dalam genre apa. Ekspektasi publik dan kenyataan hidupnya berjalan di dua rel berbeda.
Pada 2016, beberapa media menyebutnya bercita-cita menjadi tentara. Setelahnya, ia semakin jarang terdengar. Batu petir masih disimpan, tapi hanya digunakan untuk tetangga dekat. Tidak ada kerumunan, tidak ada antrean, hanya ritual kecil yang dilakukan karena kebiasaan, bukan karena bisnis.
Kemudian hidupnya berubah arah lagi. Pada 2020, Ponari menikah. Pasangannya perempuan dari desa tetangga, dan mereka memiliki seorang putri. Tahun-tahun berikutnya memperlihatkan ia bekerja seperti warga biasa: di gudang ayam, di pabrik, bahkan sempat mencoba jualan online. Pendapatannya tidak luar biasa, hanya sekitar belasan ribu rupiah per hari. Kontras yang mencolok dibandingkan miliaran yang pernah berputar mengelilinginya ketika ia masih anak-anak.
Pada 2023, laporan menunjukkan bahwa ia masih membuka praktik penyembuhan kecil-kecilan. Hanya beberapa pasien per minggu. Kadang dua orang, kadang tiga. Tidak ada drama, tidak ada antrean massal. Orang-orang datang dengan diabetes atau nyeri kaki, membawa air sendiri, meminta batu petir dicelupkan. Tidak ada tarif, hanya sumbangan sukarela, sama seperti dulu tapi dengan skala yang sangat manusiawi.
Baca Juga: Hikayat Tragedi Lumpur Lapindo, Bencana Besar yang Tenggelamkan Belasan Desa di Sidoarjo
Batu petir itu masih sama. Masih disimpan rapi di rumahnya. Ponari percaya kekuatannya berasal dari Yang Maha Kuasa. Namun ia tidak lagi berusaha meyakinkan siapa pun. Jagat media sosial sesekali mengunggah nostalgia tentang masa kejayaannya, tapi Ponari sendiri tidak aktif di dunia digital. Ia memilih menjadi kepala keluarga dua anak, bekerja keras di gudang, dan menjalani hidup yang jauh lebih tenang.
Pada 2025, namanya kembali beredar di beberapa platform berita. Kali ini bukan karena batu petir atau gelombang massa, melainkan karena kehidupannya sebagai buruh dengan gaji harian yang kecil. Kontras nasib ini menjadi bahan diskusi warganet, seakan-akan dunia menolak memberikan akhir cerita bak film Hollywood pada seorang bocah yang pernah mengobati ribuan orang dengan batu.
Tetapi hikayat Ponari tidak pernah benar-benar soal kaya atau miskin. Ia soal bagaimana masyarakat bisa mengalir mengikuti satu harapan kecil, sepotong cerita yang dianggap mampu menambal kekosongan antara akses kesehatan dan kepercayaan. Fenomena Ponari menunjukkan betapa kuatnya imajinasi kolektif masyarakat Indonesia ketika berhadapan dengan misteri, harapan, dan rasa putus asa.
Pada akhirnya, kehidupan Ponari setelah semua hiruk-pikuk itu justru terasa paling jujur. Ia menjadi pria dewasa yang mengurus keluarga, bekerja keras setiap hari, masih menyimpan batu petir itu di laci rumah, dan masih melayani pasien kecil-kecilan. Ia bukan lagi fenomena nasional. Ia bukan lagi headline internasional. Ia hanyalah warga desa yang pernah menjadi legenda.
Ia cukup menjadi cerita yang diingat, ditertawakan pelan, dikisahkan ulang, dan disimpan sebagai salah satu bab paling aneh tapi juga paling manusiawi dalam sejarah sosial Indonesia modern.
