Ada aroma kukusan dari dapur-dapur kampung Sunda yang tetap bertahan. Harumnya pelan, lembut, tapi langsung mengingatkan pada masa ketika makanan dibuat dengan ketelatenan. Dari sela-sela aseupan (kukusan bambu), uap hangat membawa satu nama yang begitu akrab di telinga masyarakat Jawa Barat yaitu Awug.
Awug bukan sekadar makanan manis. Ia adalah cerita tentang rumah, tentang tangan-tangan ibu dan nenek yang sabar mengayak tepung beras, menakar gula merah, hingga menyusun lapisan-lapisan warna yang sederhana tapi memikat. Meski tampilannya tak pernah megah, justru di situlah daya tariknya apa adanya, jujur, dan tetap setia pada rasa aslinya.
Awug dikenal sebagai kudapan tradisional Sunda yang identik dengan momen-momen sederhana setelah pulang sekolah, saat ronda malam, atau menemani obrolan santai di serambi rumah. Dibuat dari tepung beras, gula merah, dan kelapa parut, Awug disiapkan dengan teknik kukus berlapis.
Penjual Awug di Pasar Ujungberung,Kota Bandung, yang sudah berjualan sejak 1989, ada kerinduan yang selalu hadir setiap kali ia membuka kukusan.
“Awug teh sederhana, tapi ingetkeun ka kampung. Banyak pelanggan datang bukan karena lapar, tapi karena kangen rasa jaman baheula,” Ujar Ibu Wiwi.
Meski makanan tradisional lain banyak tergeser oleh jajanan modern, Awug tetap punya ruang istimewa. Di pasar tradisional Jawa Barat Bandung, Garut, Tasikmalaya, hingga Cianjur Awug masih mudah ditemukan.
Beberapa cafe berkonsep lokal kini juga mulai menyajikan Awug sebagai pendamping Kopi Tubruk atau Teh seduh. Tren ini membuat Awug kembali dilirik kalangan muda. Yang membuat Awug bertahan bukan hanya rasanya, tetapi juga cerita yang dibawanya. Dalam setiap lapisan kukusan, ada memori kolektif masyarakat Sunda tentang kehangatan keluarga, sunyi pagi di kampung, serta aroma dapur yang mengisi rumah.
Tekstur lembut tepung beras, manis gula merah, dan gurih kelapa menciptakan keseimbangan rasa yang menenangkan. Awug tidak mencari sensasi, ia menawarkan kejujuran rasa.
Dalam era ketika tren kuliner datang dan pergi, Awug menjadi simbol ketahanan kuliner tradisional. Para penjual di pasar, perajin kecil, dan generasi muda yang mulai kembali mencari jajanan jadul semuanya berperan menjaga Awug tetap bernapas.
Awug mengajarkan bahwa yang bertahan bukan selalu yang paling mewah, tetapi yang paling tulus. Dan dalam kesederhanaannya, Awug terus menjaga rasa Sunda tetap hidup. (*)
