AYOBANDUNG.ID - Dugaan praktik pungutan liar di lingkungan pendidikan kembali menyeruak di Bandung, kali ini menimpa SMKN 13 Kota Bandung. Isunya bukan hal baru: sumbangan yang disebut “sukarela”, tapi jumlah dan tenggatnya sudah ditentukan. Polemik yang seolah berulang ini menjadi tamparan keras terhadap wajah pendidikan yang mestinya inklusif dan bebas dari beban biaya tersembunyi.
Dugaan pungutan ini pertama kali diungkap oleh Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono. Melalui akun media sosialnya pada Selasa malam, 20 Mei 2025, ia mengunggah video yang merekam isi laporan dari orang tua siswa. Pesan langsung itu mengeluhkan adanya sumbangan sekolah yang nilainya mencapai Rp5,5 juta per siswa, dan dibayarkan secara bertahap hingga kelas 12.
"Kalau sumbangan tapi angkanya ditentukan berarti pungutan, senilai Rp5,5 juta,” kata Ono.
Permasalahannya bukan semata angka. Cara pungutan itu dikemas, menurut Ono, menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip dasar sumbangan sukarela. Dalam praktiknya, nominal ditetapkan secara seragam dan diberlakukan kepada seluruh siswa kelas 11 di semua jurusan. Dana tersebut bahkan dikaitkan dengan pengambilan kartu ujian. Artinya, ada tekanan yang menyiratkan konsekuensi jika tidak dibayar.
“Ini harus dicicil setiap ambil kartu ujian sampai kelas 12 harus sudah lunas. Ini komite yang meminta,” katanya.
Sumber utama polemik ini, menurut Ono, terletak pada tafsir yang lentur terhadap fungsi komite sekolah. Dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 97 Tahun 2022, komite diberi ruang untuk menggalang dana dari masyarakat, termasuk orang tua siswa.
Tapi, beleid ini ditengarai bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjadi rujukan nasional. Dalam Permendikbud, sumbangan hanya bisa berasal dari masyarakat umum, dunia usaha, dan dunia industri, bukan orang tua peserta didik.
Dugaan pungli di SMKN 13 bukanlah kasus terisolasi. Ono menyebut bahwa praktik serupa juga ditemukan di berbagai daerah lain, seperti Depok, Cirebon, hingga Bekasi. Polanya relatif sama: komite sekolah dijadikan tameng legalitas untuk menarik dana dari orang tua, dengan justifikasi yang samar dan tanpa transparansi anggaran.
“Tolong disikapi. Tidak hanya di SMKN 13, ini terjadi juga di Depok, Cirebon, Bekasi. Harus ada tegasan dari gubernur untuk membenahi dari sisi pungutan di sekolah negeri,” kata dia.
Tambah Deretan Kasus Dugaan Pungli di Sekolah
SMKN 13 bukan satu-satunya sekolah yang disorot karena dugaan pungli. Pada awal tahun 2025, SMKN 1 Cihampelas di Kabupaten Bandung Barat juga dilaporkan melakukan pungutan terhadap siswa baru. Modusnya berupa kewajiban membeli paket seragam sekolah dari pihak sekolah sendiri dengan harga sekitar Rp1,5 juta. Pembelian dilakukan tanpa melalui koperasi sekolah, tanpa forum musyawarah orang tua, dan tanpa alternatif lain.
Jumlah siswa yang dikenai pungutan hampir mencapai 500 orang. Jika dikalikan, nominal yang terkumpul bisa menembus angka Rp700 juta. Uang tersebut tidak tercatat dalam laporan keuangan resmi dan disimpan secara manual oleh salah satu wakil kepala sekolah. Pemeriksaan internal yang dilakukan Inspektorat Jabar dan BKD menemukan bahwa tidak ada mekanisme resmi dalam proses tersebut.
Pada Oktober 2024, Satgas Saber Pungli Jawa Barat mengungkap dugaan pungutan liar dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA Negeri di Kota Bandung. Praktik ini melibatkan seorang pria berinisial ABK alias AAM, yang juga dikenal sebagai aktivis sekaligus pemerhati pendidikan di wilayah tersebut.
Kepada masyarakat, ABK menjanjikan bisa membantu calon siswa masuk ke SMA Negeri favorit. Ia disebut-sebut membuka “jalur alternatif” dengan imbalan sejumlah uang. Dugaan pungli ini bermula dari laporan masyarakat pada April 2024, saat proses PPDB tengah berlangsung.
Ia menjadikan beberapa sekolah sebagai sasaran dalam praktiknya. Hingga dibekuk, jumlah korban yang terdata mencapai tujuh orang, dengan total kerugian sementara sebesar Rp175 juta.