AYOBANDUNG.ID - Kelurahan Binong menjadi salah satu titik paling aktif pengolahan sampah organik di Bandung. Dari rumah maggot sederhana di Babakan Jati, ribuan kilogram sisa makanan warga kini diurai setiap bulan
Magotisasi merupakan salah satu program Pemerintah Kota Bandung dalam rangka mengurangi dan mengolah sampah. Rumah maggot kini tersebar di 151 kelurahan di Kota Bandung, termasuk Rumah Maggot Mandiri yang berada di Kelurahan Binong, Kecamatan Batununggal.
Rumah maggot di kelurahan tersebut terletak di Jl. Babakan Jati RT 06 RW 08. Rata-rata, rumah maggot ini mampu mengolah 1.000–4.000 kilogram (Kg) sampah per bulan.
Lurah Binong, Andri Nugraha, menyampaikan bahwa Rumah Maggot di wilayahnya masih membutuhkan peningkatan sarana, terutama penyediaan air bersih untuk menunjang operasional.
“Rumah maggot itu kan ada di semua kelurahan, dan setiap kelurahan punya kendala serta harapan yang berbeda-beda. Kalau di sini, kebutuhannya sarana air karena memang tidak ada,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Dana untuk pengadaan juga belum tersedia. Mudah-mudahan kalau ada pergeseran anggaran 2026 bisa diupayakan. Tapi tetap harus melihat kondisi DPA, takutnya tidak cukup untuk penyediaan air bersih. Rumah maggot itu kan memang butuh air.”
Ia menuturkan, Rumah Maggot Binong sudah berjalan sejak lama. Namun pembuatan sumur di lokasi tersebut terbilang sulit. Andri berencana meninjau kembali kebutuhan ini dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat.
“Saya di sini baru dua bulan, sedangkan rumah maggot sudah berjalan beberapa tahun. Kalau dari dulu saya sudah menjabat, mungkin saya anggarkan sejak awal. Tapi informasinya, pembuatan sumur di sana cukup sulit,” katanya.
“Nantilah saya cek lagi. Ke depan juga akan melibatkan RT dan RW,” tambahnya.
Agus Supriatna (30), salah satu petugas Rumah Maggot, menjelaskan tahapan pemeliharaan maggot mulai dari penetasan telur hingga masa panen.
“Pemeliharaannya susah-susah gampang. Kalau cuaca seperti sekarang, musim hujan, agak sulit untuk bertelur karena lalat butuh sinar matahari,” ujarnya. “Dari telur ke penetasan butuh tiga hari. Dari penetasan ke fase ‘pres maggot’ tujuh hari, lalu panen di hari ke-14. Jadi satu siklus sekitar sebulan.”
Menurut Agus, respons masyarakat sangat positif. Warga menilai keberadaan rumah maggot membantu mengurangi sampah organik di lingkungan mereka.
“Tanggapan masyarakat bagus karena pengurangan sampah itu terasa. Dulu di TPS suka numpuk dan bau. Sekarang warga senang karena sampah dapur bisa berkurang,” katanya.
Isnani (53), warga sekitar, turut merasakan manfaat keberadaan rumah maggot dalam pengelolaan sampah organik.
“Alhamdulillah bisa mengurangi limbah sampah,” ucapnya.
Sampah organik diambil langsung dari rumah-rumah warga oleh petugas dan kemudian diolah di Rumah Maggot Binong. Pengolahan ini membuat sampah organik di wilayah tersebut tidak lagi menumpuk seperti sebelumnya.
“Betul, kadang dua hari sekali petugas ambil sampah lalu dibawa ke rumah maggot. Alhamdulillah sangat membantu,” katanya.
Hal serupa juga dirasakan Nurhayati (35). Menurutnya, warga tidak lagi bingung mengelola sisa makanan atau sayuran yang sebelumnya langsung dibuang ke tempat sampah.
“Bagus. Jadi kalau ada sayuran atau buah-buahan yang sisa bisa dibawa ke sini. Sisa makanan juga tidak langsung ke tempat sampah, tapi ke Rumah Maggot,” tuturnya.
Dengan keberadaan rumah maggot, diharapkan warga Kota Bandung semakin teredukasi dan mampu mengolah sampah organiknya secara mandiri.

PDKT dengan ART
Selain di Kelurahan Binong, praktik pengelolaan rumah maggot juga dilakukan di Kelurahan Lebakgede.
Namun perjalanan di sana dimulai dengan tantangan yang cukup berat. Program maggotisasi sempat ditolak oleh beberapa RW karena kekhawatiran tentang bau dan kebersihan. Meskipun demikian, pengelola setempat tetap melanjutkan sosialisasi pemilahan sampah dengan berbagai pendekatan agar masyarakat memahami manfaat pengolahan organik.
Kunci keberhasilan di Lebakgede justru datang dari strategi yang menyasar kelompok yang lebih dekat dengan proses pengelolaan sampah rumah tangga, yaitu para asisten rumah tangga (ART). Ketika pengetahuan mengenai pemilahan sampah menyebar dari lingkungan domestik, perubahan perilaku masyarakat mulai terlihat.
Rumah Maggot Lebakgede kemudian berkembang menjadi wadah kebermanfaatan bagi masyarakat. Untuk mengatasi masalah bau pada masa awal operasional, pengelola memanfaatkan ratusan ayam sebagai bagian dari sistem sirkulasi sampah organik. Telur ayam hasil pemeliharaan pun dimanfaatkan untuk mendukung program penanggulangan stunting di wilayah tersebut.
Selain itu, pengelola Lebakgede juga menekankan pentingnya pengelolaan sampah dari sektor kuliner. Dengan banyaknya usaha makanan di sekitar lokasi, sampah organik harian dapat mencapai belasan kilogram. Para pelaku usaha didorong untuk mengelola sampah sendiri atau menyetorkannya ke rumah maggot.
