AYOBANDUNG.ID -- Bandung sebagai kota pendidikan menampung ribuan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Kota ini juga dikenal sebagai pusat kreativitas dan inovasi.
Namun di balik semangat akademik dan gaya hidup modern Kota Bandung, terdapat tantangan serius yang jarang dibicarakan secara mendalam yakni rendahnya literasi keuangan di kalangan mahasiswa. Meski akses terhadap layanan keuangan semakin luas, pemahaman mahasiswa tentang cara mengelola keuangan masih jauh tertinggal.
Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2025 menunjukkan bahwa indeks inklusi keuangan nasional telah mencapai sekitar 80 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat, termasuk mahasiswa, sudah memiliki akses terhadap produk dan layanan keuangan.
Namun, indeks literasi keuangan masih berada di kisaran 60 persen. Ketimpangan ini menandakan bahwa mahasiswa memang sudah menjadi pengguna aktif layanan keuangan, tetapi belum memiliki pengetahuan memadai untuk mengelola risiko dan kewajiban yang melekat pada produk tersebut.
Fenomena ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan karakter generasi muda saat ini yang sering disebut sebagai generasi FOMO (fear of missing out) dan YOLO (you only live once).
Dorongan untuk mengikuti tren, membeli barang demi eksistensi sosial, atau menikmati pengalaman sesaat tanpa perhitungan jangka panjang membuat mahasiswa rentan terhadap perilaku konsumtif. Dalam konteks keuangan, perilaku ini sering diwujudkan melalui penggunaan layanan pay later, kartu kredit, hingga pinjaman online.
Pay later menjadi salah satu tren yang paling menonjol di kalangan mahasiswa Bandung. Kemudahan membeli barang dengan cicilan tanpa kartu kredit membuat layanan ini tampak menarik. Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat risiko gagal bayar yang tinggi.
Banyak mahasiswa yang tidak menyadari bahwa akumulasi cicilan kecil dapat menjadi beban besar ketika jatuh tempo. Tanpa perencanaan finansial yang matang, pay later justru menjadi pintu masuk ke dalam jeratan utang.
Lebih berbahaya lagi adalah maraknya pinjaman online ilegal. OJK mencatat ribuan entitas ilegal masih beroperasi di Indonesia, menawarkan pinjaman cepat tanpa syarat dengan bunga mencekik dan praktik penagihan yang intimidatif.
Mahasiswa, dengan kebutuhan biaya hidup dan gaya hidup digital, menjadi target empuk bagi praktik ini. Banyak yang tergoda karena proses pencairan dana yang instan, tanpa memahami konsekuensi hukum maupun finansial yang menanti.
Asisten Direktur Pengawasan Perilaku PUJK, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Jawa Barat, Iman K. Nugraha, menegaskan bahwa mahasiswa termasuk segmen yang memiliki literasi keuangan di bawah rata-rata nasional, meski tingkat inklusi lebih tinggi. Kondisi ini membuat mereka semakin rentan terhadap tawaran produk keuangan yang tidak sehat.
“Perlu penguatan dari literasinya, supaya mereka dibekali dengan informasi yang benar, yang tepat, informasi terkait produk layanan keuangan, sama tidak bisa menyikapi tawaran-tawaran produk layanan keuangan, supaya tidak merugikan mereka tentunya secara individu, dan juga tidak terjerat terhadap aktivitas keuangan ilegal,” ujar Iman di Bandung.
Upaya regulator melalui program GENCARKAN (Gerakan Nasional Cerdas Keuangan) menjadi salah satu strategi untuk mengatasi masalah ini. Program ini bertujuan meningkatkan literasi keuangan secara masif dan merata, dengan fokus pada generasi muda.
Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan besar, terutama karena gaya hidup mahasiswa yang semakin digital dan konsumtif.

Dalam konteks ini, seminar yang digelar Home Credit di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung pada November 2025 dapat dijadikan contoh bagaimana industri keuangan turut berperan dalam edukasi. Seminar bertajuk “#DoITCERDAS: Belajar Strategi Keuangan Untuk Wujudkan Cheetah Cheetah (cita-cita)” mengajak mahasiswa memahami pentingnya pengelolaan keuangan yang bijak.
Head of Collection Operations Home Credit, Andri Maulana, menekankan bahwa menjaga skor kredit yang sehat adalah fondasi penting untuk masa depan finansial. “Skor kredit yang baik dapat menciptakan berbagai kesempatan dalam hidup, seperti kesempatan kerja hingga akses pembiayaan,” ujarnya.
Andri juga menggambarkan realitas bahwa perilaku finansial mahasiswa hari ini akan memengaruhi masa depan mereka. Skor kredit yang buruk akibat gagal bayar cicilan atau pinjaman dapat menutup akses terhadap peluang kerja maupun pembiayaan produktif. Hal ini menunjukkan bahwa literasi keuangan bukan sekadar teori, melainkan keterampilan hidup yang menentukan masa depan.
Namun, seminar semacam ini hanyalah satu bagian kecil dari tantangan besar yang dihadapi mahasiswa Bandung. Edukasi finansial harus lebih sistematis dan berkelanjutan, tidak hanya berupa kegiatan tahunan atau kampanye sesaat. Kampus, regulator, industri, dan komunitas mahasiswa perlu berkolaborasi untuk membangun budaya finansial yang sehat.
Salah satu kelemahan mendasar mahasiswa adalah minimnya kebiasaan menabung. Survei OJK menunjukkan bahwa generasi muda lebih memilih konsumsi jangka pendek dibanding investasi atau tabungan.
Kondisi ini berbahaya karena mahasiswa tidak memiliki dana darurat. Ketika kebutuhan mendesak muncul, mereka cenderung mencari solusi instan melalui pinjaman online, yang justru memperburuk masalah.
Selain itu, mahasiswa sering kali tidak memahami legalitas produk keuangan. Banyak yang tidak membedakan antara pinjaman resmi yang diawasi OJK dengan pinjaman ilegal.
Padahal, perbedaan ini sangat krusial. Pinjaman resmi memiliki mekanisme perlindungan konsumen, sementara pinjaman ilegal beroperasi tanpa pengawasan dan sering menggunakan cara-cara kasar dalam penagihan.
Industri keuangan seperti Home Credit memang berperan penting dalam memberikan edukasi, namun tidak cukup. Dibutuhkan pendekatan yang lebih luas dan mendalam. Literasi keuangan harus menjadi bagian dari kurikulum kampus, sehingga mahasiswa terbiasa berpikir kritis terhadap tawaran produk keuangan sejak dini.
Literasi keuangan juga harus dipandang sebagai keterampilan hidup, bukan sekadar pengetahuan tambahan. Mahasiswa yang mampu mengelola keuangan dengan bijak akan lebih siap menghadapi dunia kerja, membangun usaha, dan berkontribusi pada perekonomian. Sebaliknya, mahasiswa yang terjebak utang sejak dini akan kesulitan keluar dari siklus finansial yang merugikan.
Bandung, sebagai kota kreatif dan pendidikan, memiliki peluang besar untuk menjadi pionir literasi keuangan mahasiswa. Jika kampus, regulator, dan industri mampu berkolaborasi, Bandung dapat menjadi model nasional dalam membangun generasi muda yang cerdas finansial.
Namun, jika tantangan ini tidak segera diatasi, mahasiswa Bandung akan terus menjadi korban dari ketimpangan literasi dan inklusi. Mereka akan menjadi pengguna aktif layanan keuangan, tetapi tanpa pemahaman yang cukup, sehingga rentan terhadap jeratan utang dan gagal bayar.
Pada akhirnya, literasi keuangan mahasiswa bukan hanya soal angka indeks, melainkan soal masa depan generasi muda. Mahasiswa yang cerdas finansial akan lebih mandiri, produktif, dan mampu menghadapi tantangan ekonomi. Sebaliknya, mahasiswa yang abai terhadap literasi keuangan akan terus terjebak dalam siklus konsumtif dan utang.
Upaya untuk meningkatkan literasi keuangan ini pun menjadi tugas bersama. Kalau kami menilai, memandang literasi keuangan ini, sama-sama dari lembaga keuangan juga, dari asosiasi, dari semua pihak yang memiliki kepentingan untuk sama-sama mengedukasi, mengasosiasi mengenai keuangan," ujar Iman.
Altenatif produk untuk mendukung literasi keuangan:
