AYOBANDUNG.ID -- Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh di tengah derasnya arus digitalisasi. Mereka dikenal sebagai digital natives, generasi yang sejak kecil sudah akrab dengan internet, media sosial, dan gawai. Identitas mereka pun melekat pada dunia digital, menjadikan smartphone bukan sekadar alat komunikasi, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Gen Z merupakan kelompok demografis terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 27,94 persen dari total populasi atau sekitar 74,93 juta jiwa. Angka ini menegaskan betapa besar pengaruh mereka terhadap arah sosial, budaya, dan ekonomi bangsa.
Namun, kedekatan dengan teknologi membawa dilema tersendiri. Psikolog Universitas Indonesia, Ratih Zulhaqqi, menilai interaksi Gen Z cenderung satu arah. “Interaksi mereka dengan manusia sangat rendah. Kalau zaman dahulu, pergi main dengan teman-teman itu bisa mengobrol. Sekarang mereka bisa hanya sibuk dengan gadgetnya masing-masing,” ujarnya kepada Ayobandung.
Kondisi ini lanjut Ratih, bisa membuat kepercayaan diri mereka dalam berkomunikasi langsung menurun, meski di media sosial mereka bisa sangat aktif. “Mungkin mereka bisa sangat aktif dalam memberikan komentar di media sosial, tapi ketika interaksi langsung mereka kurang," lanjur Ratih.
Fenomena ini dirasakan langsung oleh Zahrotul Nisa, seorang Gen Z yang mengakui kelemahan generasinya. Dia memngakui bagaimana teknologi yang seharusnya memudahkan generasinya justru terkadang menciptakan jarak dalam interaksi nyata.
“Kadang aku mikir, kita main bareng di tempat yang sama bahkan dalam satu meja yang sama, tapi kita kayak ada di dunia kita masing-masing. Asyik sendiri sama HP dan itu gak bisa dihindarin, termasuk buat aku sendiri,” katanya.
Keterikatan pada gawai juga diakui oleh Fela Novianti. Ia bahkan mengaku sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menatap layar ponsel tanpa tujuan jelas. “Udah kayak orang ngaplo kali ya. Gak bisa aku, gak bisa lepas. Pasti bengong enggak jelas banget pasti kalau enggak mainan HP,” ujarnya.
Hal serupa dialami Adi Riandi yang bisa menghabiskan 12 hingga 13 jam sehari bermain game, mendengarkan musik, dan berselancar di media sosial. “Berasanya ada yang kurang, apalagi kalau enggak bawa HP. Berasa bingung karena semua info atau kegiatan sekolah ada di grup medsos,” katanya.
Kondisi ini bukan sekadar cerita individu, melainkan fenomena sosial yang meluas. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 221,5 juta jiwa atau 79,5 persen populasi. Mayoritas pengguna berasal dari kelompok usia Gen Z yang hampir seluruhnya mengakses internet melalui smartphone.
Lebih dari 93 persen anak-anak dan 97 persen remaja menggunakan ponsel pintar untuk beraktivitas, mulai dari media sosial, bermain game, hingga mendengarkan musik. Data ini menunjukkan betapa kuatnya ketergantungan generasi ini terhadap gawai.
Meski demikian, Gen Z tidak bisa hanya dilihat dari sisi negatif. Mereka memiliki keunggulan yang membedakan dari generasi sebelumnya. Gen Z dikenal sebagai superkonsumen media, cepat menyerap tren, dan memiliki pengaruh besar terhadap keputusan keluarga.
Nielsen Indonesia mencatat bahwa bahkan pada usia muda, Gen Z sudah berperan dalam menentukan keputusan membeli dalam lingkungan rumah tangga. Hal itu ditegaskan Hellen Katherina, Executive Director Head of Watch Business Nielsen Indonesia.
“Gen Z adalah masa depan, karena itu penting bagi para pelaku industri untuk memahami perilaku dan kebiasaan mereka," kata Hellen.
Potensi besar Gen Z terlihat dalam industri kreatif, e-commerce, gaming, dan konten digital. Mereka menjadi motor penggerak ekonomi baru, terutama di sektor fashion, musik, dan teknologi. Kreativitas mereka membuka peluang bagi brand lokal untuk berkembang.
Namun, tantangan tetap ada. Gen Z cenderung cepat bosan, lebih menyukai fleksibilitas, dan menghadapi kesulitan dalam komunikasi tatap muka. Dunia kerja harus menyesuaikan dengan menyediakan ruang kerja hybrid, peluang pengembangan diri, dan lingkungan yang mendukung keseimbangan antara dunia digital dan nyata.
Fenomena “digital cocooning” atau kecenderungan untuk lebih nyaman di dunia maya juga menjadi ciri khas Gen Z. Mereka membangun identitas, komunitas, dan bahkan gerakan sosial melalui media digital.
Di sisi lain, hal ini membuka peluang bagi bisnis untuk menciptakan ruang interaksi hybrid yang menggabungkan pengalaman offline dan online. Brand yang mampu menghadirkan pengalaman autentik dan relevan akan lebih mudah diterima oleh generasi ini.
Selain konsumtif, Gen Z juga aktif dalam isu sosial. Mereka menggunakan media digital untuk menyuarakan keadilan, lingkungan, hingga hak perempuan. Aktivisme digital ini menjadikan mereka target penting bagi brand yang ingin membangun citra positif.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun menekankan pentingnya literasi digital agar Gen Z tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga kreator yang produktif. Literasi ini diharapkan mampu mengurangi dampak negatif adiksi gawai sekaligus mengoptimalkan potensi mereka.
Oleh karenanya, Hellen menegaskan, dengan segala dilema yang dihadapi, Gen Z tetaplah generasi yang menyimpan potensi besar. Mereka adalah konsumen masa depan, kreator industri, sekaligus agen perubahan sosial. Pasar bisnis harus menempatkan mereka bukan sekadar sebagai target penjualan, melainkan mitra dalam membangun masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
“Pemahaman mengenai perilaku dan kebiasaan mereka dalam mengkonsumsi media akan membuka peluang bagi para pemilik brand dan pemasar untuk dapat membangun hubungan jangka panjang dengan mereka," ujar Hellen.
Alternatif produk UMKM fesyen Gen Z atau kebutuhan serupa:
