AYOBANDUNG.ID - Suasana malam di Bandung sesungguhnya punya reputasi baik: dingin seperlunya, angin lembut, dan suasana yang ideal untuk menyeruput minuman hangat sambil menonton lalu lintas yang kadang macet, kadang lengang seperti jalan menuju hati gebetan. Tetapi Kamis, 12 April 2007, bukanlah malam yang hendak dikenang romantis oleh siapa pun yang kebetulan melintas di Jalan Terusan Pasir Koja. Jalan yang biasanya cuma ribut oleh deru angkot mendadak berubah panggung bagi sebuah lakon yang bahkan para penonton dadakan pun sepakat terlalu brutal untuk ukuran kota yang lebih dikenal oleh wisatawan karena batagor dan pemandangan Dago Atas.
Waktu menunjuk pukul setengah delapan malam ketika enam orang lelaki dengan wajah yang kemungkinan besar tidak akan dipakai dalam iklan asuransi, datang membawa senjata api dan menodai udara dengan tembakan. Toko Emas ABC, tempat orang biasanya datang mencari cincin lamaran atau gelang untuk baptisan keponakan, menjadi arena peluru yang beterbangan seperti lebah yang disiram air panas. Dua orang tak pulang malam itu, delapan lainnya berakhir di rumah sakit, dan Bandung mendapat pengingat keras bahwa kriminalitas kadang lebih rajin daripada ronda kampung.
Di pusat kekacauan itu, sang pemilik toko yang sudah sepuh, Suwarto alias Tongki, menjadi korban pertama. Seorang pengunjung muda bernama M Taufik menyusul tak lama kemudian. Kota yang biasanya membicarakan harga oleh-oleh dan pilihan kafe tiba-tiba punya topik lain: bagaimana perampokan bisa sekejam itu di tengah keramaian.
Yang lebih membingungkan polisi dan warga yang datang esoknya adalah etalase toko yang, entah bagaimana caranya, tetap berdiri tanpa pecah. Toko berbentuk huruf U itu memang retak di sana-sini, kacanya berserakan seperti serpih es serut, tetapi tempat memajang perhiasan tetap utuh. Sulit membayangkan bagaimana emas-emas itu lenyap tanpa tirai kaca menjadi korban. Orang-orang mulai mereka-reka: mungkin para perampok membawa kunci duplikat, mungkin mereka jagoan sulap, atau mungkin etalasenya jauh lebih kokoh daripada harga emas itu sendiri. Yang jelas, malam itu para pelaku bekerja seperti tim yang sudah lama latihan.
Baca Juga: Hikayat Janggal Pembunuhan Brutal Wanita Jepang Istri Pengacara di Bandung
Belakangan terungkap bahwa kawanan tersebut sudah rapat tiga kali sebelum bergerak. Mereka tak tampak seperti gerombolan yang mengambil keputusan spontan berdasarkan mood. Ada seorang otak bernama Antoni, yang merancang operasi seperti orang mempersiapkan pesta kejutan, lengkap dengan pembagian tugas dan jalur pelarian. Anggota lain adalah Agus Cik alias Ijo, Fachrulian, Amir, Suheri, Apip, dan Ivan. Nama-nama yang kemudian memenuhi headline koran di kios-kios depan pom bensin.
Saat eksekusi, tujuh dari mereka datang dengan tiga sepeda motor. Antoni dan Amir masuk ke toko lebih dulu, lalu ada Suheri yang mondar-mandir seperti satpam gelisah. Di luar, ada trio penjaga: Agus, Ivan, dan Apip. Sementara di tempat lain, Fachrulian bersiaga dengan mobil Suzuki APV yang kelak menjadi kendaraan penuh harapan dan kepanikan dalam pelarian.
Begitu tembakan pertama meletus, suasana berubah dari percakapan kasir dan pelanggan menjadi simfoni kacau yang tak diinginkan siapa pun. Agus Cik kemudian mengakui dirinya ikut memencet pelatuk karena terpengaruh oleh Suheri yang menembak seolah sedang tampil di film aksi seri-B. Mereka bukan hanya menembak pemilik toko dan pengunjung, tapi juga empat polisi yang mencoba menutup jalan pelarian. Malam itu, Pasirkoja menjadi arena pertunjukan yang tak akan dimasukkan ke brosur pariwisata Bandung.
Setelah sekitar belasan menit yang terasa lebih panjang dari antrean di loket kereta api sebelum lebaran, para pelaku kabur. Delapan kilogram emas berhasil mereka bawa, jumlah yang cukup membuat siapa pun mendadak ingin belajar ilmu akuntansi. Nilai hampir satu miliar rupiah itu membuat kasus ini menjadi salah satu perampokan paling sensasional di Bandung pada masa itu.
Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan
Tapi emas yang berkilau itu juga mengundang pertanyaan lain. Dari cara mereka menembak, polisi menduga para pelaku bukan amir-amiran yang baru belajar menggunakan senjata. Muncullah spekulasi: apakah mereka punya latar belakang militer, anggota klub menembak, atau punya kedekatan dengan jaringan tertentu. Tapi dugaan tetaplah dugaan, dan persidangan tidak pernah membuktikan apa pun secara gamblang.
Keesokan harinya, ratusan warga berdatangan ke lokasi, sebagian karena ingin tahu, sebagian karena mungkin berharap emas yang jatuh dari langit benar-benar ada. Yang mereka temukan hanyalah toko yang ditutup police line, dan secarik pengumuman yang menjelaskan masa berkabung. Beberapa pembeli yang datang dengan niat memilih kalung untuk ulang tahun pasangan terpaksa balik kanan dengan muka masam. Jalanan pun macet oleh pengendara motor yang berhenti demi melihat-lihat. Bandung, seperti biasa, cepat mengubah tragedi menjadi tontonan.

Drama Penangkapan
Berbulan-bulan setelah malam kelam itu, polisi akhirnya berhasil membongkar simpul-simpul persembunyian kawanan tersebut. Satuan Reserse Mobil Polda Metro Jaya menjadi pihak pertama yang menangkap seorang tersangka pada awal Juni. Tak lama kemudian Kapolda Jawa Barat mengumumkan bahwa beberapa pelaku lain telah ditangkap, meski identitasnya dirahasiakan dulu demi penyelidikan.
Dua pelaku yang mencoba melawan akhirnya ditembak dan dirawat di rumah sakit. Agus Cik dan Fachrulian kemudian ditangkap di Garut, setelah sebelumnya diturunkan di Kebon Jeruk dan melanjutkan perjalanan dengan bus seperti penumpang biasa. Tidak ada yang menyangka dua lelaki yang naik bus malam itu baru saja ikut merampok toko emas.
Baca Juga: Hikayat Komplotan Bandit Revolusi di Cileunyi, Sandiwara Berdarah Para Tentara Palsu
sang perancang rencana, Antoni, akhirnya tewas ditembak polisi dalam proses penangkapan. Suheri juga ditangkap, meski berkasnya tidak langsung sampai ke kejaksaan. Tiga nama lain, yaitu Amir, Apip, dan Ivan, masih belum ditemukan hingga akhir 2007.
Di pengadilan, dua terdakwa yang sudah ditangkap lebih dulu menjalani proses hukum yang berjalan lebih cepat dari dugaan masyarakat. Jaksa menuntut 15 tahun penjara. Namun putusan hakim menyatakan 10 tahun penjara, lima tahun lebih ringan dan cukup membuat banyak orang mendesah, bertanya-tanya tentang keadilan, dan kemudian melanjutkan hidup seperti biasa. Kuasa hukum terdakwa menganggap putusan itu lumayan adil. Jaksa juga merespons dengan nada yang terdengar seperti: ya sudahlah.
Sementara itu, masyarakat Bandung perlahan-lahan melupakan kejadian itu. Toko-toko emas lain tetap buka, menata kalung dan gelang seperti biasa. Yang berbeda hanyalah obrolan warung kopi yang bertahan cukup lama sebelum digeser oleh gosip lain: harga tanah, cuaca dingin di Lembang, atau kabar band indie lokal yang baru naik daun. Namun bagi sebagian kecil orang yang malam itu berada di Pasirkoja, suara tembakan masih bergaung samar di kepala mereka, tanda bahwa kota kadang punya sisi gelap yang tak muncul dalam kartu pos wisata.
