AYOBANDUNG.ID - Setengah abad yang lalu, rel kereta api jalur Bandung-Ciwidey berhenti beroperasi. Namun, bagi sejumlah warga yang membangun rumah di atasnya, itu adalah awal dari sebuah perubahan signifikan dalam gaya hidup mereka.
Di atas besi yang mulai ditelan karat dan disampingnya, berdiri rumah-rumah penuh cerita. Di dalam salah satunya, Enik Supriyati, sedang berbincang dengan kerabatnya.
Keluarganya telah tinggal di kawasan tersebut sejak ia masih berusia batita. Rumahnya beralamat di Kampung Maleer Utara, RT 6 RW 4 Kelurahan Maleer, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung.
Bangunan rumahnya sederhana, ada halaman, ruang tamu, dapur, kamar mandi, dan dua kamar tidur. Luasnya hanya berkisar tiga kali enam meter persegi. Tapi itu cukup buat menampung tiga generasi keluarganya.
Wanita 63 tahun itu bercerita, dulu, sang ayah merupakan salah satu pekerja di Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA). Sekitar tahun 1960-an, ayahnya memutuskan untuk tinggal di kawasan tersebut.
Lokasinya hanya berjarak sekitar 7 meter dari samping rel kereta api. Kala itu, kereta masih berlalu-lalang, menandakan rel jalur Bandung-Ciwidey masih aktif. Kereta yang melintas kebanyakan mengangkut komoditas bumi, salah satunya teh dan kopi. Tak jarang juga 'ular besi' itu mengangkut orang-orang.
"Dulu kalau ayah lewat naik kereta saya suka dadah-dadah ke dia. Kalau hari Minggu saya diajak naik kereta," kata Enik sambil mengenang masa lalunya.
Kampung Maleer Utara pada tahun 60-an belum menjadi permukiman padat. Pemandangan perkebunan, tanah tak bertuan, hingga sawah tak sukar untuk ditemui. Hanya ada beberapa rumah saja. Jarak antar rumah pun terbilang cukup jauh.
Enik bercerita beberapa warga tidak langsung mendirikan rumah di gang tersebut. Mulanya, mereka hanya membuat kandang ayam atau tempat untuk menjemur pakaian. Waktu berlalu dan akhirnya warga menyulapnya menjadi rumah.
Tanah yang kini telah dibangun rumah Enik juga awalnya lahan liar milik DJKA. Dia bilang, sang ayah kemudian meminta izin kepada pemilik lahan untuk membangun rumah. Akhirnya, rumah yang kini ditinggali Enik bersama dua anak dan 4 cucunya dibangun.
Namun rumah tersebut pernah ditempati oleh adiknya yang juga pernah bekerja di DJKA. Cukup lama sang adik, kata Enik, menempati rumah tersebut. Itu karena Enik diboyong suaminya tinggal di rumah mertua.
Kemudian saat ia tengah hamil anak pertama, dia memutuskan untuk kembali ke rumah yang dibangun ayahnya. Ia membeli rumah itu dengan harga sekitar 1 sampai 3 juta rupiah. Kembalilah rumah sang ayah ke tangannya.
Sekitar tahun 2007, Enik pernah menangis histeris. Kabar rencana pembongkaran rumah yang berada di sekitaran rel kereta api jalur Bandung-Ciwidey sampai ke telinganya. Dia panik. Sebab jika digusur, Enik tak tahu harus tinggal di mana.
"Saya nangis ke adik saya kenapa di bongkar. Katanya jalur mau aktif lagi. Terus ada pengukuran gitu, satu meternya kalau ngga salah ingat Rp250 ribu," ungkapnya.
Beruntungnya wacana tersebut tidak terealisasi. Rumahnya dan warga yang lain masih berdiri kokoh hingga sekarang. Di satu sisi, ternyata selama ini ia membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemerintah.
Kepada AyoBandung, Enik menunjukkan surat bukti pembayaran sebanyak 6 kertas berwarna merah muda. Pembayaran terakhir yaitu pada 2024 dan yang paling lama adalah tahun 2022. Dia mengaku, rutin membayar PBB setiap tahunnya.
Belakangan ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi hendak mereaktivasi jalur kereta api Bandung-Ciwidey dan 4 jalur lainnya. Rumah Nenik terancam digusur oleh proyek tersebut. Meski rencana itu masih digodok pemerintah, Enik sedikit khawatir.
Tetapi di satu sisi, ia tak keberatan jika Dedi Mulyadi hendak mengaktifkan kembali jalur yang telah lama mati itu. Menurutnya, selama ini, ia mengakui bahwa tanah yang digunakan untuk membangun rumah bukan miliknya. Enik juga menyampaikan bahwa ia tak memiliki bukti sah sebagai pemilik lahan.
Sekali waktu, mendiang ayahnya pernah berpesan kepada dirinya. Pesan itu untuk mengingatkan Enik jika tanah yang mereka tempati bukan miliknya. Sehingga jika pemilik hendak memanfaatkan kembali lahan tersebut, maha Enik harus merelakannya.
"Yah kalau saya mah legowo aja kalau mau ada reaktivasi rel lagi. Soalnya ini kan bukan tanah kita, tanah DJKA," ucapnya sambil melirik ke halaman depan.
Kendati begitu, Enik berharap ada uang ganti rugi dari pemerintah. Menurutnya itu untuk menggantikan biaya pembangunan rumah. Berapapun itu, asal nominalnya dirasa cocok, ia akan merelakan rumahnya rata dengan tanah.

Rel yang berada di jalan gang Maleer Utara membentang sepanjang sekitar 450 meter. Di beberapa titik, rel telah ditutupi oleh bangunan, mulai dari rumah, gudang, kontrakan, hingga kandang ayam.
Jalan gang hanya bisa dilewati maksimal oleh dua sepeda motor. Kawasan itu terbilang padat. Saat AyoBandung menyusuri nya, banyak anak-anak yang tengah bermain, bapak-bapak yang nongkrong, hingga ibu-ibu yang merumpi di sebuah warung sayuran.
Sebagaimana hiruk pikuk kehidupan di kota, suasana di sana tak jauh berbeda. Paginya orang dewasa bekerja, anak-anak pergi ke sekolah, dan ibu-ibu mengurus rumahnya. Beberapa bangunan terlihat dibangun menggunakan bata merah atau bata ringan. Ada juga yang menggunakan triplek.
Bangunan di sana dibangun tidak hanya untuk rumah saja. Cukup banyak yang dijadikan tempat usaha seperti galon isi ulang dan warung. Kebutuhan pangan cukup tersedia di kawasan tersebut.
Di sebelah barat gang, berdiri salah satu mall ternama di Kota Bandung. Keadaan yang ada di dalam mal berbanding terbalik dengan di gang tersebut; pengunjung mal makan enak, warga di samping mal berjuang untuk hidup.
Sementara itu, ketua RT 6, Sopian (42) mengatakan ada 88 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal. Dia juga menyampaikan banyak rumah yang sudah dibangun sejak lama, sekitar awal 2000-an.
Untuk konstruksi bangunan, ia menyebut rata-rata semi permanen. Terkait surat kepemilikan, Sopian menyebut warganya tidak memiliki bukti yang sah. Sebab kebanyakan warga tinggal di atas lahan milik DJKA.
"Warga ngga ada yang punya sertifikat," ucapnya saat ditemui di lokasi.
Para penghuni yang berjuang untuk hidup kebanyakan bekerja sebagai buruh. Entah itu buruh pabrik, toko, atau menjadi ojek online (ojol). Tak sedikit juga yang membuka usaha kecil-kecilan.
Ditanya soal reaktivasi jalur rel kereta api Bandung-Ciwidey, Sopian dengan senyum lebarnya menyatakan tak keberatan. Sama seperti Enik, dia mengakui tinggal di tanah yang bukan miliknya. Sehingga jika pemilik tanah hendak memanfaatkan lahan tersebut, ia bersiap untuk pindah.
"Ya ngga apa-apa, setuju aja kalau saya mah. Ini kan bukan lahan kita," bebernya.
Warga lainnya, Paini juga merupakan penghuni lama kawasan Maleer Utara. Sejak kecil ia sudah tinggal di sana hingga kini memiliki anak dan cucu.
Perempuan 60 tahun itu bilang, saat rel masih aktif, banyak anak-anak yang senang ketika melihat kereta melintas. Mereka, kenangnya, melambaikan tangan kepada kereta.
Dulu, ia menyebut kala itu rumah di kawasan tersebut tidak seramai sekarang. Tumbuhan liar dan sawah kangkung lebih banyak jumlahnya ketimbang rumah. Tapi kini keadaannya terbalik. Lahan dan sawah telah diubah menjadi bangunan rumah, toko, hingga mal.
"Sekarang mah anak-anak kalau mau main tempatnya sempit, nggak kaya dulu," ujarnya.
Sementara ditanya soal pendapatnya tentang reaktivasi jalur rel KA Bandung-Ciwidey, awalnya ia tertawa kecil. Setelah itu, Paini mengutarakan pendapatnya. Dia mengaku tak keberatan jika harus pindah. "Ngga apa-apa kan ini bukan tanah kita juga," ungkapnya.
Baik Sopian dan Paini, keduanya sama-sama berharap ada uang ganti rugi dari pemerintah jika wacana reaktivasi jalur rel yang mati terealisasi.
Jalur rel Bandung-Ciwidey membentang dari tengah kota Bandung menuju lembah-lembah di selatan, berkelok melalui hamparan sawah dan hutan yang dulu makmur oleh komoditas ekspor.
Dibangun lebih dari seabad silam, ia kini nyaris lenyap ditelan aspal dan bangunan permanen. Ironisnya, saat pembangunan infrastruktur modern kini dihadang biaya dan birokrasi, rel tua warisan kolonial itu justru membuktikan bahwa ambisi besar pernah benar-benar diwujudkan.
Pada mulanya, adalah perusahaan kereta api kolonial, Staatsspoorwegen (SS), yang membangun jalur ini pada 1917. Bukan untuk kepentingan mobilitas warga, melainkan untuk melayani industri perkebunan yang saat itu mendominasi bentang alam Bandung Selatan.
SS membentangkan rel dari Stasiun Cikudapateuh, lalu menyusuri Buah Batu, Bojongsoang, Soreang, hingga ke kaki pegunungan Ciwidey. Proyek ini digarap dengan penuh perhitungan dan tak sedikit biaya yang dikucurkan.
Segmen Bandung–Soreang saja menguras hingga 1,5 juta gulden. Adapun segmen Soreang–Ciwidey ditaksir mencapai 1,7 juta gulden. Di Sadu, sebuah jembatan dibangun menggunakan besi bekas dari Karawang. Pilihan ini diambil demi menekan ongkos. Namun hasilnya tak bisa dianggap remeh, jembatan itu masih berdiri kokoh hingga hari ini.
Rencana reaktivasi rel ini sempat mencuat, membuka kembali lembaran sejarah panjang yang nyaris terlupakan. Jalur ini bukan hanya soal logistik atau angkutan penumpang, melainkan juga sebuah jejak ekonomi kolonial. Jalur itu dulu dibangun bukan sekadar untuk transportasi warga, tapi untuk mempercepat pengangkutan hasil bumi.
Kala itu, Bandung Selatan adalah lumbung kekayaan agraria. Teh, kina, kopi, hingga kayu rasamala diangkut dari lahan-lahan milik pengusaha Eropa seperti Ir. Kerkhoven dan K.A.R. Bosscha.
Di Banjaran saja, tercatat ada 27 persil perkebunan seluas 5.904 bau—sekitar 4.130 hektare. Di Majalaya dan Cisondari, ribuan hektare lahan diselimuti komoditas yang menjanjikan untung besar.
Kini, kejayaan itu tinggal cerita. Rel tua yang pernah menjadi urat nadi perdagangan dan industri, telah tertimbun waktu, aspal, dan dinding beton. Kejayaan rel tersebut masih terngiang di ingatan Nono Gunawan, warga RT 6 RW 2 Jalan Ciparay, Kelurahan Kujangsari, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung.
Sewaktu masih duduk di bangku SMP, Nono sering menaiki kereta api tanpa tiket. Istilahnya penumpang gelap. Namun ia melakukan itu hanya untuk bersenang-senang saja.
"Iseng aja itu naik kereta, dari Cibangkong atau Buahbatu sampai ke sini (Kujangsari) atau kabupaten," kata dia sambil menghembuskan asap rokok.
Pria 57 tahun itu bercerita asal usul permukiman di gang Jalan Ciparay. Lebar jalan gang itu hanya sekitar dua motor. Jalan gangnya pun dibangun tepat di atas rel. Material jalan terbuat dari paving blok yang disusun di area rel. Sehingga besi yang jadi lintasan roda kereta menyembul ke atas.
Kata dia, dulu banyak persawahan di sekitaran rel kereta api yang saat itu masih aktif. Rumah juga hanya masih bisa terhitung oleh jari. Namun jumlahnya bertambah ketika jalur sudah tidak aktif.
Satu per satu rumah dibangun. Termasuk rumahnya yang telah berdiri sejak sekitar tahun 70-an. Beberapa warga bahkan awalnya membangun kandang ayam. Kemudian warga tersebut membangun rumah di lahan tersebut.
Jarak rumahnya ke rel hanya satu meter saja. Jika perlintasan KA masih aktif, bagian depan rumahnya mungkin tergerus kereta. Untungnya jalur sudah tidak beroperasi.
Sekitar tahun 2000-an kawasan terus berubah menjadi pemukiman warga. Tahun demi tahun berganti, kini daerah tersebut menjadi padat penduduk.
Kebanyakan warga membangun rumah dengan material bata merah dan bata ringan. Tetapi ada juga yang masih menggunakan triplek. Warung dan beberapa usaha kecil pun dapat dijumpai di sana.
"Nggak ada sertifikat resmi. Kan ini bukan tanah kita," ucapnya di halaman rumahnya, yang kini hanya berjarak sejengkal dari bekas jalur rel.
Warga lainnya, Dakri, 64 tahun, yang sudah tinggal di wilayah itu sejak akhir 1970-an, masih menyimpan nostalgia akan geliat kawasan yang dahulu sunyi, sejuk, dan lengang. Ia masih ingat betul ketika suara peluit kereta menjadi penanda waktu yang akrab di telinga.
"Kalau pagi-pagi suka denger suara kereta lewat, getaran tanahnya juga kerasa. Sekarang mah paling cuma motor lewat," ujar Dakri.
Dulu, ia biasa melihat petani membawa hasil panen dari sawah-sawah di sekitar rel. Kini, sawah itu telah berganti menjadi deretan bangunan rumah dan toko kelontong.
"Lahan yang dulu hijau semua, sekarang udah jadi bangunan," katanya pelan.
Walaupun kawasan tersebut berkembang pesat, jejak sejarah rel kereta api itu tak pernah benar-benar hilang. Besi rel yang masih menyembul dari tanah menjadi saksi bisu masa lalu.
Beberapa warga bahkan memanfaatkan lahan sisi rel sebagai jemuran atau batas halaman rumah. Ada pula yang sengaja membiarkannya tetap terbuka, sebagai pengingat asal-usul tempat mereka berdiri.
Upaya reaktivasi jalur kereta Bandung-Ciwidey sempat digaungkan kembali oleh Dedi Mulyadi. Nono dan Dakri sudah mengetahui kabar tersebut. Keduanya mengaku tak keberatan.
Wacana memunculkan pro dan kontra di kalangan warga. Sebagian berharap geliat ekonomi lokal bisa tumbuh dengan dibukanya kembali jalur Ciwidey–Bandung, namun sebagian lain khawatir akan kehilangan rumah yang sudah puluhan tahun mereka tempati.
"Kalau jadi reaktivasi, entah rumah saya masih berdiri atau nggak," kata Nono sambil tersenyum.
"Saya mah legowo aja," sambungnya.
Sampai hari ini, belum ada kepastian dari pemerintah terkait kelanjutan proyek reaktivasi jalur ini. Namun bagi warga seperti Enik, Sopian, Paini, Nono dan Dakri, sejarah rel itu bukan hanya tentang kereta dan stasiun, tapi juga tentang perjalanan hidup yang terpatri di atasnya. (*)