Kita memasuki gerbang kemerdekaan, 80 tahun lamanya. Pertanyaan yang sering muncul ke permukaan adalah āBenarkah kita sudah merdeka?ā, tentu jawaban orang berbeda, ada yang menjawab sudah merdeka, ada yang menjawab belum merdeka.
Bagi yang menjawab sudah merdeka, mungkin mereka sudah menikmati kemerdekaan dengan fasilitas yang ada, harta, tahta dan jabatan,meskipun kemerdekaan tidak dinilai oleh itu. Tapi bagi yang menjawab belum merdeka, karena kenyataannya saat ini rakyat ādimiskinkanā oleh peraturan pemerintah yang seperti mengada-ada.
Bayangkan, jika rekening keuangan kita di Bank tidak aktif selama dua 3 bulan diblokir, tanah yang nganggur selama dua tahun akan disita negara, psk terkana pajak, tukang pecel lele terkena pidana karena memamaki trotoar jalan. Tentu saja ini sangat merumitkan rakyat. Kasus Ustadz Dasāad diblokir rekeningnya saat ia akan membeli keperluan untuk pembangunan mesjid tiba tiba diblokir.
Ustadz yang sopan dan lembut ini, mempertanyakan kebijakan pemerintah,di sisi lain pemerintah mensarankan menabung, di sisi lain kok menabung malah diblokir.
Dan banyak contoh yang menunjukkan bahwa negeri Indonesia belum merdeka, harga sembako mahal, ongkos pendidikan tidak merata, tarif kesehatan hanya untuk orang kaya, korupsi dimana mana, dan seterusnya,dan seterusnya.
Ah, saya jadi teringat puisi karya WS. Rendra berjudul āKangenā : Kau tak akan mengerti bagaimana kesepiankuā¦/ menghadapi kemerdekaan tanpa cinta//
Puisi ini mengisaratkan bahwa kemerdekaan selalu diraih dengan cinta. Sudah banyak cara kita selaku bangsa Indonesia mengisi kemedekaan dengan cinta.
Contoh, seorang Presiden mencinta Indonesia dan mengisi kemerdekan dengan cara memimpin dengan baik. Seorang guru mencintai Indonesia dan mengisi kemerdekaan dengan cara mengajar dan mendidik dengan cinta yang tulus.
Seperti tahun sebelumnya, kemerdekaan ke 80 dihiasi dengan berbagai slogan kemerdekaan, seolah-olah kemerdekaan gadis yang baru mandi da didandani secantik mungkin, Spaduk dan umbul-umbul serta hiasan semarak sepanjang jalan.
Tapi, benarkah kita sudah merdeka? (*)