AYOBANDUNG.ID - Beberapa orang di pinggir jalan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, kerap tampil beda. Mengenakan balutan kain putih kusam menyerupai kafan, wajah dilukis pucat, dan tubuh melompat-lompat seperti makhluk yang keluar dari liang lahat. Mereka bukan pemeran horor dalam produksi film, melainkan pelaku hiburan jalanan yang mencari nafkah dari kostum pocong.
Sayangnya, atraksi ini tak selalu disambut tawa. Sebagian wisatawan justru merasa terganggu. “Kami menerima laporan dari warga dan pengguna jalan yang merasa tidak nyaman dengan cara mereka beraksi,” kata Kapolsek Lembang, Komisaris Polisi Hadi Mulyana, Selasa, 10 Juni 2025.
Hadi menyebut, sejumlah pelaku hiburan tidak hanya berdiri di pinggir jalan, tetapi juga secara aktif mendekati kendaraan yang melintas, mengejutkan pengendara, bahkan mengetuk kaca mobil sambil meminta imbalan. Aksi itu dianggap membahayakan dan bisa mengarah ke bentuk pemaksaan terselubung.
“Jika sampai menimbulkan rasa takut demi mendapatkan uang, itu bisa menjurus ke tindakan premanisme,” ujarnya.
Fenomena pocong dadakan ini muncul seiring tingginya kunjungan wisatawan ke Lembang, terutama pada musim liburan. Kostum seram dan aksi teatrikal di jalan dimanfaatkan sebagai cara untuk menarik perhatian dan, harapannya, mendapatkan uang dari pengunjung.
Pihak kepolisian mengaku tak ingin mematikan kreativitas warga. Hanya saja, kata Hadi, ruang publik harus tetap dijaga agar tidak berubah menjadi panggung intimidasi. “Kami tidak melarang kreativitas, tapi tetap harus ada batasannya,” tuturnya.
Selain menegur langsung pelaku hiburan kostum tersebut, polisi juga memberikan edukasi agar mereka memahami batasan hukum dalam berkegiatan di jalanan. Petugas mengingatkan bahwa meminta uang kepada orang lain sebaiknya dilakukan dengan cara yang tidak memaksa, apalagi menakut-nakuti.
Untuk mencegah insiden yang lebih serius, polisi mengimbau masyarakat agar segera melapor bila merasa terganggu atau terancam. “Tujuan kami bukan untuk mematikan hiburan rakyat, tapi untuk menjaga agar semuanya tetap dalam koridor hukum dan tidak merugikan orang lain,” kata Hadi.
Pocong Juga Ingin Hidup Layak
Pilihan menjadi pocong jalanan untuk menghibur wisatawan bukanlah perkara mudah. Butuh keberanian, kesabaran, dan sedikit kekuatan untuk menahan pilu. Tak ada jaminan penghasilan tetap. Tidak pula kepastian kapan uang akan mengalir. Hanya harapan dari tangan-tangan yang sekadar iseng memberi receh. Jika hari cerah dan ramai pengunjung, mungkin bisa pulang dengan cukup untuk makan. Tapi jika hujan turun, atau jalanan sepi, maka itu berarti hari tanpa hasil.
Pocong jalanan seperti yang ada di Lembang atau Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, adalah potret buram dari mereka yang tak punya banyak pilihan. Cari kerja susah, berdiam pun bukan pilihan.
Dede Supriatna misalnya. Pria kepala dua ini adalah pocong yang kerap gentayangan di Jalan Asia Afrika. Dia pernatau, datang ke Bandung membawa impian sederhana: hidup yang lebih baik. Setelah berpindah dari Semarang dan sempat mencicipi kerasnya bertahan hidup di Palembang, Bandung menjadi kota persinggahan yang dipilihnya bersama istri.

Tapi kota ini tak serta-merta menjanjikan kemudahan. Jalanan, taman kota, hingga pelataran masjid pernah menjadi tempat bernaung. Sempat jualan kopi di pinggir jalan, tidur di Masjid Agung saat istrinya hamil. Namun bisnis kopi tak membuatnya kenyang. Sampai suatu malam, ia melihat para hantu-hantuan di Jalan Asia Afrika. Ia tawarkan diri untuk menyewakan kostum. Tapi karena tak tega ambil bagian terlalu besar dari hasil sewa, Dede akhirnya ikut turun langsung: jadi pocong juga.
Bertahun-tahun sudah ia berdandan kain kafan. “Daripada kita berbuat jahat, lebih baik begini. Asal enggak gengsi,” katanya. Ia punya mimpi: jadi satpam. Tapi dengan ijazah SD pun tak tamat, itu masih mimpi yang jauh.
Profesi sebagai pocong ia geluti bukan karena ingin menakuti orang. Justru sebaliknya, ia ingin menghibur, membuat wisatawan tersenyum atau sekadar terkejut. Tidak ada paksaan dalam meminta uang. Tak ada pula tipu daya. Hanya diam dan berdiri, menanti orang yang rela menghargai keberadaannya. Namun pekerjaan ini tetap penuh risiko. Tak jarang orang yang ketakutan bersikap agresif. Ada pula yang menghina, menyamakan mereka dengan pengemis atau pengganggu ketertiban.
Penghasilannya? Cuma ratusan ribu dalam sebulan. Tapi Dede menerima itu, dengan sabar dan sepi yang menemaninya malam-malam. Hujan turun, penghasilan turun. Hari biasa, sepi. Tapi Dede tak pernah memaksa orang memberi uang, apalagi menakut-nakuti.
Di balik kain kafan dan riasan seram itu, ada manusia yang memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ada anak yang perlu diberi makan, istri yang harus dipenuhi kebutuhannya, dan masa depan yang masih samar. Meski pekerjaannya sering dianggap sepele, bahkan memalukan, bagi Dede ini adalah pilihan yang lebih baik ketimbang merampas hak orang lain.
Ia masih menyimpan harapan untuk suatu hari bisa berganti seragam, bukan lagi sebagai pocong, tapi sebagai satpam. Ia tahu itu tak mudah. Ijazah sekolah yang tidak selesai, pengalaman kerja yang terbatas, dan persaingan yang ketat membuat langkahnya berat. Tapi setidaknya, ia masih melangkah. Tetap berdiri, meski dalam diam.