Jejak Lutung Kasarung, Film Indonesia Perdana Diputar di Bandung Tahun 1926

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 04 Des 2025, 13:04 WIB
Para pemain film Loetoeng Kasaroeng. (Sumber: KITLV)

Para pemain film Loetoeng Kasaroeng. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Suasana malam pergantian tahun di Bandung pada akhir 1926 riuh. Di dua bioskop prestisius di Jalan Braga, Oriental dan Elita, sebuah film pribumi untuk pertama kalinya naik layar. Judulnya Loetoeng Kasaroeng, sebuah kisah rakyat Sunda yang selama berabad-abad mengembara dari mulut para juru pantun berubah wujud ke dalam bingkai film bisu. Itu adalah sebuah lompatan budaya.

Pada malam itu, Bandung tak hanya merayakan pergantian tahun, tetapi juga kelahiran satu bab penting sejarah sinema Indonesia.

Loetoeng Kasaroeng disambut dengan hawa penasaran. Penonton di kota mode Hindia Belanda itu terbiasa dengan film impor dari Eropa dan Hollywood, sehingga melihat film lokal tampil di panggung yang sama jelas mengundang rasa campur aduk antara bangga dan khawatir. Bagaimanapun hasilnya, film itu tetap menjadi penanda bahwa masyarakat pribumi mulai masuk ke gelanggang yang selama ini didominasi produksi luar negeri.

Karya ini berdurasi sekitar satu jam, penuh adegan dramatis, tanpa suara, dan diiringi gamelan Sunda yang mengisi kekosongan dialog.

Baca Juga: Batavia jadi Sarang Penyakit, Bandung Ibu Kota Pilihan Hindia Belanda

Cerita yang diangkat bukan sembarang dongeng. Lutung yang sebenarnya pangeran tampan ini memang salah satu legenda paling populer di Tatar Sunda. Dalam film, tokoh Purbasari dan Purbararang berseteru dengan penuh intrik, tipu daya, dan sedikit sentuhan keangkuhan bangsawan yang merasa hidupnya lebih rapi daripada rambut sang adik. Konflik memuncak ketika lutung rewel bernama Guru Minda menunjukkan jati dirinya sebagai pangeran, meniadakan seluruh cemoohan Purbararang. Moral cerita tetap sama sejak dulu: jangan meremehkan siapa pun, bahkan ketika ia masih memakai bulu dan berjalan sambil melompat.

Film ini lahir dari tangan para tokoh Bandung yang punya perhatian terhadap budaya Sunda. Di garda depan tentu saja berdiri Wiranatakusumah V, bupati Bandung yang masa jabatannya melewati dekade 1920an. Sang bupati bukan tipe pejabat yang hanya mengurus urusan administrasi. Ia punya minat pada seni dan kebudayaan.

Pada 1921, jauh sebelum kamera berputar di Padalarang, ia telah memproduksi pementasan panggung bertajuk Tunil Loetoeng Kasaroeng dalam rangka kongres Java Instituut. Lakon tersebut ditampilkan dengan megah di depan pendopo kabupaten, disaksikan ribuan warga yang penasaran melihat cerita kuno tampil dengan tata panggung modern.

Pengalaman panggung itulah yang kemudian mendorong langkah lebih besar. Ketika N.V. Java Film ingin memproduksi film cerita pertama mereka, Wiranatakusumah V menyokong bukan hanya dana, tetapi juga keluarga. Anak-anaknya ikut bermain sebagai pemeran, sebuah strategi yang bukan hanya memudahkan pemilihan aktor tetapi juga menambah legitimasi sosial.

Pada masa itu, status bangsawan masih menjadi paspor penting untuk diterima publik. Film yang menampilkan para priyayi jelas lebih mudah mendapatkan dukungan penonton kelas menengah dan kaum terdidik.

Di balik layar, dua nama kunci muncul sebagai penggerak: L. Heuveldorp dan George Krugers. Heuveldorp bertindak sebagai produser sekaligus sutradara, sementara Krugers menangani sinematografi. Informasi mengenai keduanya memang tidak terlalu berlimpah.

Yang jelas, Heuveldorp pernah bekerja di Amerika dan Krugers adalah Indo yang cukup lama tinggal di Bandung, akrab dengan dunia hiburan lokal, dan tahu betul bagaimana memproses film di tengah peralatan yang tidak selalu ramah.

Baca Juga: Sejarah Pacuan Kuda Tegallega Bandung, Panggung Ratu Wilhelmina yang Jadi Sarang Judi dan Selingkuh Tuan Eropa

Perusahaan N.V. Java Film sebelumnya hanya membuat satu film dokumenter tentang pemburu buaya. Maka Loetoeng Kasaroeng adalah proyek besar pertama mereka. Pemilihan pemeran dibuat melalui jaringan sekolah. Raden Kartabrata dari lingkungan pendidikan priyayi menjadi koordinator. Standarnya cukup tinggi: dicari para pemuda-pemudi dengan pendidikan setingkat SMA.

Zaman itu, pendidikan setara SMA bukan hal sepele. Mereka yang lulus dianggap sudah cukup terlatih untuk membaca naskah, memahami laku panggung, dan tidak kaget ketika berhadapan dengan kamera.

Lokasi syuting dipilih di Padalarang. Di sana tersedia hutan, tebing, dan alam yang cocok untuk menggambarkan dunia kerajaan dalam dongeng Sunda. Kru bekerja dengan peralatan minimalis. Kamera analog harus diputar manual, cahaya bergantung pada matahari, dan adegan harus diulang jika burung atau anak-anak kampung tiba-tiba melintas.

Tantangan teknis seperti itu wajar untuk produksi pertama. Setidaknya semua kru bisa pulang dengan cerita heroik tentang bagaimana mereka mengejar matahari agar adegan sorotan wajah tidak tenggelam dalam bayangan.

Sebelum film selesai, tim produksi sudah memikirkan cara promosi. Parade keliling kota dilakukan dengan kereta kuda. Poster besar digantung, selebaran dibagi, dan anak-anak kecil berlari mengikuti suara derap kuda yang membawa rombongan pemain. Taktik ini cukup manjur mencuri perhatian warga Bandung.

Saat itu, promosi seperti ini tergolong mewah. Film impor umumnya hanya mengandalkan iklan koran, sementara Loetoeng Kasaroeng turun langsung ke jalan.

Iklan film muncul di berbagai surat kabar Belanda dan Melayu. Pihak produksi ingin menjangkau penonton dari berbagai lapisan etnis. Pasar film saat itu sangat beragam. Kalangan Belanda, Indo, Tionghoa, dan pribumi punya selera berbeda. Menyatukan mereka memang tidak mudah, tetapi film ini setidaknya mencoba melakukannya.

Baca Juga: Jejak Samar Sejarah Pecinan Bandung, dari Chineesche Kamp ke Ruko Klasik Pasar Baru

Iklan film Loetoeng Kasaroeng. (Sumber: Wikimedia)
Iklan film Loetoeng Kasaroeng. (Sumber: Wikimedia)

Pemutaran Perdana dan Sambutan Publik

Pemutaran perdana berlangsung di Bioskop Elita, yang saat itu menjadi salah satu simbol kelas atas Kota Bandung. Jalan Braga di tahun 1920an ibarat catwalk kolonial tempat segala gaya hidup modern dipamerkan. Film lokal bisa muncul di tempat seperti itu saja sudah merupakan prestasi tersendiri.

Pertunjukan digelar malam hari, dan gamelan Sunda disewa untuk mengiringi film. Irama kendang dan saron yang menggema di dalam gedung membuat pengalaman menonton terasa seperti perpaduan antara bioskop dan pagelaran tradisional.

Sebelum lampu padam, sebuah orkes memainkan lagu-lagu ceria. Atmosfer yang tercipta membuat penonton merasa menghadiri sebuah acara besar. Bahkan penayangan perdana dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff. Hal seperti ini menunjukkan bahwa film tersebut tidak dipandang sebagai hiburan pinggiran, melainkan sebagai acara budaya yang layak diketahui oleh pejabat tertinggi kolonial.

Setelah tayang seminggu di Bandung, film ini turun layar dan digantikan film Hollywood yang jauh lebih matang secara teknis. Loetoeng Kasaroeng kemudian berkeliling ke Cirebon, tetapi hasilnya tidak terlalu baik. Tiket tidak terjual banyak. Penonton luar Jawa Barat mungkin merasa tidak akrab dengan nuansa Sunda, sementara standar teknis film lokal memang belum mampu menyaingi produksi luar negeri.

Baca Juga: Wiranatakusumah V, Bangsawan Sunda Penentu Bubarnya Parlemen Pasundan Boneka Belanda

Kritik dari berbagai media pun cukup keras. Ada yang menilai gambar blur, adegan kaku, dan dekorasi seadanya. Beberapa aktor bahkan disebut tidak dibayar. Namun untuk ukuran film perdana, proyek seperti ini sebenarnya sudah melampaui banyak harapan.

Film impor bisa menampilkan kota-kota Eropa atau padang pasir penuh kuda. Loetoeng Kasaroeng hanya mengandalkan hutan Padalarang dan kostum yang dirancang tangan-tangan lokal. Tidak mengherankan bila hasilnya belum sempurna.

Walau demikian, film ini memantik tumbuhnya dunia perfilman pribumi. Setelahnya muncul Eulis Atjih pada 1927 yang digarap Krugers. Industri terus tumbuh. Orang Tionghoa ikut masuk, lalu sutradara pribumi mulai muncul di akhir 1930an. Hingga akhirnya Usmar Ismail merilis Darah dan Doa pada 1950, film yang dianggap sebagai tonggak perfilman Indonesia merdeka.

Warisan dan Jejak yang Tertinggal

Loetoeng Kasaroeng memang tidak berhasil menjadi primadona box office. Namun ia menjadi batu pertama yang membuka jalan panjang sejarah sinema nasional. Ironisnya, film ini kini dianggap hilang. Tidak ada salinan yang ditemukan di arsip mana pun, baik di Belanda, Indonesia, maupun koleksi pribadi.

Pengetahuan tentang film ini akhirnya hanya bertahan melalui iklan, catatan koran, dan tulisan para sejarawan. Selebihnya, nasib gulungan film itu mungkin berakhir tragis, entah karena kelembapan tropis atau perpindahan kepemilikan yang tidak tercatat.

Walaupun filmnya lenyap, jejaknya masih terasa dalam sejarah budaya Bandung. Kota ini kemudian dikenal sebagai salah satu pusat perfilman Hindia. Di Jalan Braga, ingatan tentang bioskop-bioskop lama masih tersisa pada bangunan Majestic yang berdiri sebagai saksi bisu. Bandung menjadi kota tempat budaya lokal, modernitas kolonial, dan industri hiburan bertemu.

Baca Juga: Gunung Selacau, Jejak Dipati Ukur dan Letusan Zaman yang Kini Digilas Tambang

Loetoeng Kasaroeng menjadi simbol bahwa sejak awal abad dua puluh, Bandung tidak hanya memproduksi mode, tetapi juga melahirkan karya sinema yang mencoba mendefinisikan jati diri Nusantara.

Tokoh-tokoh yang terlibat pun meninggalkan pengaruh penting. Undak-usuk budaya Sunda yang ditampilkan dalam film menjadi sumber inspirasi bagi generasi playwright dan filmmaker berikutnya.

Cerita Lutung Kasarung sendiri terus diadaptasi di berbagai medium dari panggung, film, sampai televisi. Pada 1952 dan 1983, versi barunya kembali muncul. Kedua film itu dibuat dengan teknologi yang jauh lebih baik, tetapi tetap membawa nuansa mistik dan moral khas cerita aslinya.

Kini, satu abad setelah pemutarannya, Loetoeng Kasaroeng tetap dikenang sebagai tonggak awal. Meski hilang secara fisik, film ini hidup dalam sejarah budaya, menjadi simbol keberanian awal untuk mengukir identitas dalam media modern.

Pada malam pergantian tahun 1926 itu, Bandung bukan hanya merayakan pesta, tetapi juga menyalakan obor yang kemudian menjadi tradisi panjang dunia perfilman Indonesia.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 11 Des 2025, 20:00 WIB

Emas dari Bulu Tangkis Beregu Putra Sea Games 2025, Bungkam Kesombongan Malaysia

Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0.
Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0. (Sumber: Dok. PBSI)
Beranda 11 Des 2025, 18:37 WIB

Media Ditantang Lebih Berpihak pada Rakyat: Tanggapan Aktivis Atas Hasil Riset CMCI Unpad

Di tengah situasi dinamika sosial-politik, ia menilai media memegang peran penting untuk menguatkan suara warga,baik yang berada di ruang besar maupun komunitas kecil yang jarang mendapat sorotan.
Ayang dari Dago Melawan menanggapi hasil riset CMCI Unpad bersama peneliti Detta Rahmawan dan moderator Preciosa Alnashava Janitra. (Sumber: CMCI Unpad)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 18:01 WIB

Nelangsa Bojongsoang Setiap Musim Hujan: Siapa Harus Bertanggung Jawab?

Banjir yang melanda Bojongsoang memicu kemacetan lalu lintas yang kian menggila. Lalu, pihak mana yang semestinya memikul tanggung jawab?
Kemacetan lalu lintas terjadi di Bojongsoang akibat banjir (04/12/2025). (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 17:23 WIB

Hidup Lebih Bersih, Sungai Lebih Bernyawa

Kegiatan ini mengangkat isu berapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan sungai agar terhindar dari bencana alam serta penyakit.
Mahasiswa Universitas Sunan Gunung Djati Bandung anggota Komunitas River Cleanup. (Foto: Rizki Hidayat)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:57 WIB

Sistem Pengelolaan Limbah di Bandung yang Berantakan: Sebaiknya Prioritaskan Langkah Inovatif Sungguhan

Sistem pengelolaan limbah di Bandung yang Berantakan, saran saya sebagai warga Bandung untuk M. Farhan prioritaskan langkah inovatif sungguhan.
Sistem pengelolaan limbah di Bandung yang Berantakan, saran saya sebagai warga Bandung untuk M. Farhan prioritaskan langkah inovatif sungguhan.
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:32 WIB

Masyarakat Kota Bandung Berharap Wali Kota Tindak Tegas Penanganan Kasus Begal

Maraknya tindak kriminalitas seperti begal di Kota Bandung meningkatkan keresahan warga untuk beaktivitas di luar.
Suasana jalan yang sepi pada malam hari di daerah Jalan Inhoftank, Kota Bandung. (Sumber: Nayla Aurelia) (Foto: Nayla Aurelia)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:13 WIB

Gunung Api Palasari Purba

Adanya lava, batuan beku yang berasal dari letusan efusif Gunung Palasari Purba, meninggalkan jejak letusan yang sangat megah dan mengagumkan.
Lava raksasa kawasan Cibanteng – Panyandaan, Desa Mandalamekar, Kecamatan Cimenya. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Taufanny Nugraha)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 15:39 WIB

Pengunjung Mengeluhkan Teras Cihampelas yang Semakin Kumuh

Mulai dari lantai yang tak terawat, fasilitas rusak, hingga area Teras Cihampelas yang tampak sepi dan tidak terurus.
Suasana Teras Cihampelas Menampakan suasana kosong pada Senin (1/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Rafli Ashiddieq)
Ayo Jelajah 11 Des 2025, 15:36 WIB

Sejarah Kawasan Tamansari, Kampung Lama yang Tumbuh di Balik Taman Kolonial Bandung

Sejarah Tamansari Bandung sebagai kampung agraris yang tumbuh diam-diam di balik taman kolonial, dari desa adat hingga kampung kota padat.
Suasana pemukiman di kawasan Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 14:48 WIB

Mengeja Bandung Utama, Merawat Keragaman Agama

Menjaga dan memperkuat “benih-benih toleransi” baik melalui edukasi, kebijakan yang inklusif, maupun upaya nyata di tingkat komunitas, pemerintah.
Gang Ruhana, Kelurahan Paledang, berdiri Kampung Toleransi, ikon wisata religi yang diresmikan Pemerintah Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 13:37 WIB

Ini Titik-Titik Kemacetan di Kota Bandung menurut Wali Kota Farhan: Mana Tata Kelolanya?

Bandung didapuk sebagai “Kota Nomor 1 Termacet di Indonesia 2024” oleh TomTom Traffic Index.
Kemacetan di Jalan Dr. Djundjunan, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 12:30 WIB

Saparua Ramai tapi Minim Penataan: Wali Kota Bandung Diharap Lebih Peduli

Taman Saparua selalu ramai, namun penataan dan fasilitasnya masih kurang memadai.
Track lari Saparua yang tampak teduh dari samping namun area sekitarnya masih perlu perbaikan dan penataan. Jumat siang, 28 November 2025. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Najmi Zahra A)
Ayo Jelajah 11 Des 2025, 11:01 WIB

Gunung Tangkubanparahu, Ikon Wisata Bandung Sejak Zaman Kolonial

Sejarah Tangkubanparahu sebagai destinasi klasik Bandung sejak masa kolonial, lengkap dengan rujukan Gids Bandoeng dan kisah perjalanan para pelancong Eropa.
Gunung Tangkubanparahu tahun 1910-an. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:48 WIB

Kenyaman Wisata Bandung Terancam oleh Pengamen Agresif

Warga mendesak Wali Kota M. Farhan bertindak tegas dan memberi solusi agar kota kembali aman dan nyaman.
Keramaian di kawasan wisata malam Bandung memperlihatkan interaksi tidak nyaman antara pengunjung dan pengamen memaksa, 02/12/2025. (Foto: Hakim)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:25 WIB

Kenyamanan Taman Badak di Bandung Masih Menyisakan Kritikan

Taman Badak yang berpusat di tengah-tengah kota Bandung adalah salah satu tempat favorit di kalangan pengunjung.
Taman Badak Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat 28 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Wan Maulida Kusuma Syazci)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:03 WIB

Lumpia Basah Katadji, Nikmatnya Sampai Suapan Terakhir

Kuliner viral di Banjaran, Kabupaten Bandung, yakni Lumpia Basah Katadji.
Seporsi lumpia basah katadji dengan bumbu dan topping yang melimpah. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Tantia Nurwina)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 09:32 WIB

Mengapa Summarecon Bandung Kini Ramai Dijadikan Tempat Olahraga Warga?

Summarecon Bandung kini ramai dijadikan tempat olahraga warga, khususnya pada pagi dan sore hari.
Aktivitas olahraga di kawasan Summarecon Bandung terlihat meningkat terutama pada akhir pekan. (Dokumentasi Penulis)
Beranda 11 Des 2025, 05:16 WIB

Generation Girl Bandung Kikis Kesenjangan Gender di Bidang Teknologi

Mematahkan anggapan bahwa belajar STEM itu sulit. Selain itu, anggapan perempuan hanya bisa mengeksplorasi bidang non-tech adalah keliru.
Exploring Healthy Innovation at Nutrihub, salah satu aktivitas dari Generation Girl Bandung. (Sumber: Generation Girl Bandung)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 21:09 WIB

Minat Baca Warga Bandung Masih Rendah meski Fasilitas Mencukupi, Catatan untuk Wali Kota

Menyoroti masalah rendahnya minat baca di Bandung meski fasilitas memadai.
Sebuah Street Library tampak lengang dengan buku-buku yang mulai berdebu di samping Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat (05/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Adellia Ramadhani)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:16 WIB

Bubur Mang Amir, Bubur Ayam Termurah se-Dunia Seporsi Cuma Rp5.000

Pengakuan Mang Amir, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun.
Pengakuan Mang Amir, penjual bubur seporsi Rp5.000, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun. (Sumber: Dokumentasi Penulis)