AYOBANDUNG.ID - Suasana malam pergantian tahun di Bandung pada akhir 1926 riuh. Di dua bioskop prestisius di Jalan Braga, Oriental dan Elita, sebuah film pribumi untuk pertama kalinya naik layar. Judulnya Loetoeng Kasaroeng, sebuah kisah rakyat Sunda yang selama berabad-abad mengembara dari mulut para juru pantun berubah wujud ke dalam bingkai film bisu. Itu adalah sebuah lompatan budaya.
Pada malam itu, Bandung tak hanya merayakan pergantian tahun, tetapi juga kelahiran satu bab penting sejarah sinema Indonesia.
Loetoeng Kasaroeng disambut dengan hawa penasaran. Penonton di kota mode Hindia Belanda itu terbiasa dengan film impor dari Eropa dan Hollywood, sehingga melihat film lokal tampil di panggung yang sama jelas mengundang rasa campur aduk antara bangga dan khawatir. Bagaimanapun hasilnya, film itu tetap menjadi penanda bahwa masyarakat pribumi mulai masuk ke gelanggang yang selama ini didominasi produksi luar negeri.
Karya ini berdurasi sekitar satu jam, penuh adegan dramatis, tanpa suara, dan diiringi gamelan Sunda yang mengisi kekosongan dialog.
Baca Juga: Batavia jadi Sarang Penyakit, Bandung Ibu Kota Pilihan Hindia Belanda
Cerita yang diangkat bukan sembarang dongeng. Lutung yang sebenarnya pangeran tampan ini memang salah satu legenda paling populer di Tatar Sunda. Dalam film, tokoh Purbasari dan Purbararang berseteru dengan penuh intrik, tipu daya, dan sedikit sentuhan keangkuhan bangsawan yang merasa hidupnya lebih rapi daripada rambut sang adik. Konflik memuncak ketika lutung rewel bernama Guru Minda menunjukkan jati dirinya sebagai pangeran, meniadakan seluruh cemoohan Purbararang. Moral cerita tetap sama sejak dulu: jangan meremehkan siapa pun, bahkan ketika ia masih memakai bulu dan berjalan sambil melompat.
Film ini lahir dari tangan para tokoh Bandung yang punya perhatian terhadap budaya Sunda. Di garda depan tentu saja berdiri Wiranatakusumah V, bupati Bandung yang masa jabatannya melewati dekade 1920an. Sang bupati bukan tipe pejabat yang hanya mengurus urusan administrasi. Ia punya minat pada seni dan kebudayaan.
Pada 1921, jauh sebelum kamera berputar di Padalarang, ia telah memproduksi pementasan panggung bertajuk Tunil Loetoeng Kasaroeng dalam rangka kongres Java Instituut. Lakon tersebut ditampilkan dengan megah di depan pendopo kabupaten, disaksikan ribuan warga yang penasaran melihat cerita kuno tampil dengan tata panggung modern.
Pengalaman panggung itulah yang kemudian mendorong langkah lebih besar. Ketika N.V. Java Film ingin memproduksi film cerita pertama mereka, Wiranatakusumah V menyokong bukan hanya dana, tetapi juga keluarga. Anak-anaknya ikut bermain sebagai pemeran, sebuah strategi yang bukan hanya memudahkan pemilihan aktor tetapi juga menambah legitimasi sosial.
Pada masa itu, status bangsawan masih menjadi paspor penting untuk diterima publik. Film yang menampilkan para priyayi jelas lebih mudah mendapatkan dukungan penonton kelas menengah dan kaum terdidik.
Di balik layar, dua nama kunci muncul sebagai penggerak: L. Heuveldorp dan George Krugers. Heuveldorp bertindak sebagai produser sekaligus sutradara, sementara Krugers menangani sinematografi. Informasi mengenai keduanya memang tidak terlalu berlimpah.
Yang jelas, Heuveldorp pernah bekerja di Amerika dan Krugers adalah Indo yang cukup lama tinggal di Bandung, akrab dengan dunia hiburan lokal, dan tahu betul bagaimana memproses film di tengah peralatan yang tidak selalu ramah.
Perusahaan N.V. Java Film sebelumnya hanya membuat satu film dokumenter tentang pemburu buaya. Maka Loetoeng Kasaroeng adalah proyek besar pertama mereka. Pemilihan pemeran dibuat melalui jaringan sekolah. Raden Kartabrata dari lingkungan pendidikan priyayi menjadi koordinator. Standarnya cukup tinggi: dicari para pemuda-pemudi dengan pendidikan setingkat SMA.
Zaman itu, pendidikan setara SMA bukan hal sepele. Mereka yang lulus dianggap sudah cukup terlatih untuk membaca naskah, memahami laku panggung, dan tidak kaget ketika berhadapan dengan kamera.
Lokasi syuting dipilih di Padalarang. Di sana tersedia hutan, tebing, dan alam yang cocok untuk menggambarkan dunia kerajaan dalam dongeng Sunda. Kru bekerja dengan peralatan minimalis. Kamera analog harus diputar manual, cahaya bergantung pada matahari, dan adegan harus diulang jika burung atau anak-anak kampung tiba-tiba melintas.
Tantangan teknis seperti itu wajar untuk produksi pertama. Setidaknya semua kru bisa pulang dengan cerita heroik tentang bagaimana mereka mengejar matahari agar adegan sorotan wajah tidak tenggelam dalam bayangan.
Sebelum film selesai, tim produksi sudah memikirkan cara promosi. Parade keliling kota dilakukan dengan kereta kuda. Poster besar digantung, selebaran dibagi, dan anak-anak kecil berlari mengikuti suara derap kuda yang membawa rombongan pemain. Taktik ini cukup manjur mencuri perhatian warga Bandung.
Saat itu, promosi seperti ini tergolong mewah. Film impor umumnya hanya mengandalkan iklan koran, sementara Loetoeng Kasaroeng turun langsung ke jalan.
Iklan film muncul di berbagai surat kabar Belanda dan Melayu. Pihak produksi ingin menjangkau penonton dari berbagai lapisan etnis. Pasar film saat itu sangat beragam. Kalangan Belanda, Indo, Tionghoa, dan pribumi punya selera berbeda. Menyatukan mereka memang tidak mudah, tetapi film ini setidaknya mencoba melakukannya.
Baca Juga: Jejak Samar Sejarah Pecinan Bandung, dari Chineesche Kamp ke Ruko Klasik Pasar Baru

Pemutaran Perdana dan Sambutan Publik
Pemutaran perdana berlangsung di Bioskop Elita, yang saat itu menjadi salah satu simbol kelas atas Kota Bandung. Jalan Braga di tahun 1920an ibarat catwalk kolonial tempat segala gaya hidup modern dipamerkan. Film lokal bisa muncul di tempat seperti itu saja sudah merupakan prestasi tersendiri.
Pertunjukan digelar malam hari, dan gamelan Sunda disewa untuk mengiringi film. Irama kendang dan saron yang menggema di dalam gedung membuat pengalaman menonton terasa seperti perpaduan antara bioskop dan pagelaran tradisional.
Sebelum lampu padam, sebuah orkes memainkan lagu-lagu ceria. Atmosfer yang tercipta membuat penonton merasa menghadiri sebuah acara besar. Bahkan penayangan perdana dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff. Hal seperti ini menunjukkan bahwa film tersebut tidak dipandang sebagai hiburan pinggiran, melainkan sebagai acara budaya yang layak diketahui oleh pejabat tertinggi kolonial.
Setelah tayang seminggu di Bandung, film ini turun layar dan digantikan film Hollywood yang jauh lebih matang secara teknis. Loetoeng Kasaroeng kemudian berkeliling ke Cirebon, tetapi hasilnya tidak terlalu baik. Tiket tidak terjual banyak. Penonton luar Jawa Barat mungkin merasa tidak akrab dengan nuansa Sunda, sementara standar teknis film lokal memang belum mampu menyaingi produksi luar negeri.
Baca Juga: Wiranatakusumah V, Bangsawan Sunda Penentu Bubarnya Parlemen Pasundan Boneka Belanda
Kritik dari berbagai media pun cukup keras. Ada yang menilai gambar blur, adegan kaku, dan dekorasi seadanya. Beberapa aktor bahkan disebut tidak dibayar. Namun untuk ukuran film perdana, proyek seperti ini sebenarnya sudah melampaui banyak harapan.
Film impor bisa menampilkan kota-kota Eropa atau padang pasir penuh kuda. Loetoeng Kasaroeng hanya mengandalkan hutan Padalarang dan kostum yang dirancang tangan-tangan lokal. Tidak mengherankan bila hasilnya belum sempurna.
Walau demikian, film ini memantik tumbuhnya dunia perfilman pribumi. Setelahnya muncul Eulis Atjih pada 1927 yang digarap Krugers. Industri terus tumbuh. Orang Tionghoa ikut masuk, lalu sutradara pribumi mulai muncul di akhir 1930an. Hingga akhirnya Usmar Ismail merilis Darah dan Doa pada 1950, film yang dianggap sebagai tonggak perfilman Indonesia merdeka.
Warisan dan Jejak yang Tertinggal
Loetoeng Kasaroeng memang tidak berhasil menjadi primadona box office. Namun ia menjadi batu pertama yang membuka jalan panjang sejarah sinema nasional. Ironisnya, film ini kini dianggap hilang. Tidak ada salinan yang ditemukan di arsip mana pun, baik di Belanda, Indonesia, maupun koleksi pribadi.
Pengetahuan tentang film ini akhirnya hanya bertahan melalui iklan, catatan koran, dan tulisan para sejarawan. Selebihnya, nasib gulungan film itu mungkin berakhir tragis, entah karena kelembapan tropis atau perpindahan kepemilikan yang tidak tercatat.
Walaupun filmnya lenyap, jejaknya masih terasa dalam sejarah budaya Bandung. Kota ini kemudian dikenal sebagai salah satu pusat perfilman Hindia. Di Jalan Braga, ingatan tentang bioskop-bioskop lama masih tersisa pada bangunan Majestic yang berdiri sebagai saksi bisu. Bandung menjadi kota tempat budaya lokal, modernitas kolonial, dan industri hiburan bertemu.
Baca Juga: Gunung Selacau, Jejak Dipati Ukur dan Letusan Zaman yang Kini Digilas Tambang
Loetoeng Kasaroeng menjadi simbol bahwa sejak awal abad dua puluh, Bandung tidak hanya memproduksi mode, tetapi juga melahirkan karya sinema yang mencoba mendefinisikan jati diri Nusantara.
Tokoh-tokoh yang terlibat pun meninggalkan pengaruh penting. Undak-usuk budaya Sunda yang ditampilkan dalam film menjadi sumber inspirasi bagi generasi playwright dan filmmaker berikutnya.
Cerita Lutung Kasarung sendiri terus diadaptasi di berbagai medium dari panggung, film, sampai televisi. Pada 1952 dan 1983, versi barunya kembali muncul. Kedua film itu dibuat dengan teknologi yang jauh lebih baik, tetapi tetap membawa nuansa mistik dan moral khas cerita aslinya.
Kini, satu abad setelah pemutarannya, Loetoeng Kasaroeng tetap dikenang sebagai tonggak awal. Meski hilang secara fisik, film ini hidup dalam sejarah budaya, menjadi simbol keberanian awal untuk mengukir identitas dalam media modern.
Pada malam pergantian tahun 1926 itu, Bandung bukan hanya merayakan pesta, tetapi juga menyalakan obor yang kemudian menjadi tradisi panjang dunia perfilman Indonesia.
