Satu Ular, Seribu Isyarat Deforestasi di Bandung Barat

Restu Nugraha Sauqi
Ditulis oleh Restu Nugraha Sauqi diterbitkan Rabu 18 Jun 2025, 17:25 WIB
Ilustrasi ular kobra. (Sumber: iStock)

Ilustrasi ular kobra. (Sumber: iStock)

AYOBANDUNG.ID - Ketika villa-villa merangsek ke hutan dan kafe tumbuh lebih cepat daripada pohon, bukan hal aneh jika seekor king cobra tersesat ke permukiman. Seperti di Kampung Kerta Mulya, Cipatat, Minggu, 15 Juni 2025, seekor ular berbisa muncul tanpa undangan. Ia datang membawa pesan yang tak bisa diabaikan: alam mulai membalas.

Warga panik. Puluhan orang berkumpul, sebagian mengabadikan momen dengan ponsel, lainnya memilih menjaga jarak. Video rekaman evakuasi pun menyebar cepat di media sosial. Dalam cuplikan berdurasi kurang dari semenit itu, seekor ular terlihat menggeliat gesit, sementara seorang petugas pemadam kebakaran tampak berusaha mengalihkan perhatian si reptil dengan tongkat penjepit. Satu manuver keliru bisa berujung fatal. Tapi pada akhirnya, setelah ketegangan panjang, ular itu berhasil dijepit dan dimasukkan ke tabung plastik. Warga pun bersorak.

“Jenisnya king cobra dan ukurannya jumbo. Sangat agresif. Tapi petugas kami sudah terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini,” kata Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Diskar) Kabupaten Bandung Barat, Siti Amjnah.

Ular itu tak dibunuh. Komunitas pencinta reptil di Cipatat—yang anggotanya kebetulan termasuk salah satu petugas pemadam—langsung mengambil alih penanganan. Nasib si ular akan lebih baik di penangkaran atau hutan terpencil, jauh dari keriuhan manusia dan risiko digebuk massa.

Kemunculan king cobra di permukiman bukanlah insiden tunggal. Menurut data Diskar Bandung Barat, sepanjang Januari hingga Juni 2025 sudah ada 12 laporan kemunculan ular berbisa di pemukiman warga. Sepuluh di antaranya adalah ular kobra jawa, dan dua sisanya king cobra.

“Sebagian besar ular ditemukan sudah masuk ke pemukiman, bahkan sampai ke dapur rumah warga,” ujar Siti.

Distribusi kasus menyebar di Cipatat, Cililin, Padalarang, Parongpong, hingga Cikalong. Diskar menduga, gelombang migrasi ular ini didorong oleh dua hal: musim kawin yang berlangsung Juni hingga Agustus, dan kerusakan habitat akibat alih fungsi lahan.

“Selain sedang musim kawin, habitat mereka juga mulai terganggu akibat pembangunan infrastruktur,” kata Siti.

Ular yang menyusup ke rumah mungkin hanya satu gejala dari gangguan ekologis yang jauh lebih besar. Di Bandung Barat, terutama wilayah dataran tinggi seperti Lembang dan kawasan Bandung utara (KBU), vegetasi yang dulu lebat kini berlubang-lubang. Lubang itu tak diisi oleh pohon, melainkan beton.

Kasus king cobra di Cipatat memperlihatkan dinamika baru dalam konflik manusia-satwa liar. Ketika batas antara hutan dan perumahan menjadi kabur, ketika akar pohon digantikan pondasi bangunan, maka ruang gerak ular semakin sempit. Dan seperti banyak makhluk lainnya, mereka pun bertahan dengan cara yang sama: mendekati sumber makanan, air, dan tempat berteduh. Kadang, itu berarti menyusup ke kolong ranjang atau sudut dapur.

“Segera hubungi kami kalau menemukan hewan liar berbisa. Penanganan tanpa alat dan keahlian sangat berbahaya, apalagi jika itu king cobra,” ujar Siti mengingatkan warga.

Demonstrasi petugas Damkar Bandung Barat menangkap ular king cobra. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)
Demonstrasi petugas Damkar Bandung Barat menangkap ular king cobra. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

Satu king cobra memang bisa bikin heboh satu kampung. Tapi puluhan kasus serupa dalam setengah tahun, dengan pola lokasi yang hampir seragam, menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar soal ular. Ini adalah isyarat dari alam yang terusik.

Warga bisa jadi akan terus menyaksikan ular turun gunung, selama hutan-hutan di sekitar mereka terus dirampas oleh hotel-hotel dan villa-villa baru. Suatu hari nanti, ketika hujan turun deras dan ular kembali menyelinap di balik rak piring, mungkin kita akan sadar bahwa yang paling berbisa bukanlah ular itu sendiri, melainkan kerakusan kita terhadap lahan.

Fenomena ular masuk permukiman bukan sekadar peristiwa lokal yang bisa dilupakan begitu saja. Menurut Buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan Jamur terbitan Kementerian Kesehatan tahun 2023, Indonesia memiliki 350 hingga 370 spesies ular, dengan 77 di antaranya tergolong berbisa.

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia Toxinology Society mencatat rata-rata 135 ribu kasus gigitan ular per tahun, dengan tingkat kematian mencapai 10 persen. “Data ini belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil karena hanya dihimpun dari rumah sakit, puskesmas, dan laporan masyarakat,” tulis Kementerian Kesehatan dalam buku tersebut.

Deforestasi jadi Biang Keladi

Fenomena alih fungsi lahan terjadi secara masif. Dalam sepuluh tahun terakhir, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat (Jabar) mencatat laju alih fungsi lahan tahunan rata-rata mencapai 10–20 hektar. Hutan di KBU berubah wujud menjadi villa, hotel, perumahan, atau wahana wisata yang ramai di akhir pekan. Kawasan resapan air menghilang pelan-pelan. Kerusakan tak terelakkan. Air hujan yang dulu terserap tanah, kini meluber ke jalan dan selokan kecil yang tak memadai. Ketika hujan deras turun, banjir pun datang. Ironis, karena dataran tinggi semestinya lebih aman dari genangan.

Data Walhi juga mencatat, dari 40 ribu hektare luas kawasan KBU, sekitar 28 ribu hektare telah rusak dan berada dalam status rawan bencana. Angka itu menyumbang bagian dari lebih dari 1 juta hektare lahan kritis di seluruh Jawa Barat. Bahkan data Pemprov Jabar tahun 2021 menyebut tutupan lahan kritis masih berada di angka 907.683 hektare, dan angkanya makin bertambah sejak saat itu.

Fenomena itu bukan hanya mengancam manusia dengan genangan air, tapi juga mendorong satwa liar, termasuk ular, masuk ke pemukiman. Dengan vegetasi alami yang menghilang dan mangsa alami seperti tikus, katak, atau burung kecil semakin sedikit, ular mencari tempat dan makanan baru. Dan seringkali, yang mereka temukan adalah dapur manusia yang lembap dan hangat.

Potret bangunan yang menduduku perbukitan di Kawasan Bandung Utara (KBU) (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Potret bangunan yang menduduku perbukitan di Kawasan Bandung Utara (KBU) (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)

Penelitian terbaru dalam Jurnal Animals (2025) menguatkan adanya hubungan adekuat antara deforestasi dan peningkatan insiden gigitan ular. Wilayah dengan tingkat pembukaan hutan yang tinggi, kepadatan penduduk besar, dan lahan pertanian luas menunjukkan peluang lebih besar terjadinya kontak antara manusia dan ular.

Hasil analisis spasial dalam studi tersebut menemukan adanya pola pengelompokan gigitan di daerah padat penduduk dan dengan deforestasi tinggi. Peneliti menjelaskan bahwa semakin sempit habitat ular, semakin besar kemungkinan reptil ini bermigrasi ke permukiman, dalam upaya mencari tempat berlindung dan makanan.

“Ular kehilangan ruangnya, jadi mereka mencari habitat baru, dan kita yang jadi tetangganya,” tulis laporan itu. Walau studi dilakukan di Korea Selatan, peneliti menyebut tren serupa juga terjadi di banyak wilayah lain.

Konversi hutan menjadi kebun monokultur juga memutus rantai makanan ular. Dengan berkurangnya mangsa seperti tikus hutan dan burung kecil, ular terdorong masuk ke wilayah manusia yang justru menyimpan sumber makanan potensial dari kandang ayam hingga tikus got.

Persoalan ini juga lebih dari sekadar gangguan reptil yang tersesat. Ini adalah bagian dari pola ekologis yang lebih besar: invasi satwa liar ke wilayah manusia yang menyebabkan peningkatan risiko zoonosis—penyakit yang menular dari hewan ke manusia.

Wabah yang Lahir dari Dahan yang Ditebang

Kehadiran ular ke permukiman warga hanyalah satu contoh mencolok dari efek domino deforestasi. Lebih luas lagi, kerusakan hutan tropis telah lama dikaitkan dengan kemunculan penyakit menular baru. Dalam Jurnal Environmental Research Letters (2020), para peneliti menelusuri bagaimana perubahan ekosistem akibat deforestasi menjadi titik tolak lonjakan berbagai penyakit menular, mulai dari Nipah hingga HIV/AIDS.

Studi itu mencatat dua pemicu utama munculnya patogen baru: pertama, perubahan penggunaan lahan untuk pertanian dan pembangunan infrastruktur; kedua, meningkatnya populasi manusia di dekat atau di dalam hutan. “Kehadiran manusia di jantung hutan menyebabkan gangguan pada keseimbangan alami antara mikroba, inang hewan, dan vektor,” tulis laporan tersebut.

Kasus virus Nipah (NiV) di Malaysia pada 1999 terjadi setelah habitat kelelawar buah terganggu akibat deforestasi dan perluasan peternakan babi serta kebun mangga. Kelelawar yang kehilangan tempat tinggal beralih mencari buah di pohon mangga dekat peternakan. Buah yang tergigit dan jatuh dimakan babi. Babi terinfeksi. Lalu virus melompat ke manusia.

Di Bangladesh, pola serupa terjadi. Desa-desa yang berada di sekitar hutan yang sudah terfragmentasi menjadi tempat ideal bagi kelelawar Pteropus. Dengan banyaknya lahan pertanian dan pohon buah, kontak antara satwa liar dan manusia pun meningkat. Di Filipina, tahun 2014, virus yang sama menyerang 17 orang dan 10 kuda di kawasan deforestasi. Tak butuh waktu lama hingga virus itu menemukan jalannya ke tubuh manusia.

Perubahan lanskap ini tak hanya meningkatkan frekuensi kontak antarspesies, tapi juga memicu fenomena landscape spillover di mana patogen berpindah melalui jaringan ekologi yang telah rusak.

Lebih dari itu, deforestasi juga membuka jalan bagi penyebaran penyakit global seperti HIV/AIDS. Tak banyak yang tahu bahwa pandemi ini berakar dari hutan hujan Afrika. Sekitar tahun 1920-an, manusia di Kinshasa melakukan perburuan simpanse. Melalui penyembelihan serta konsumsi dagingnya, virus dari hewan itu menyeberang ke manusia.

Lukisan Kinsasha (dulunya Leopoldville) tahun 1885. (Sumber: Getarchive)
Lukisan Kinsasha (dulunya Leopoldville) tahun 1885. (Sumber: Getarchive)

Virus ini lalu menyebar melalui jaringan transportasi kayu, tempat pekerja seks, dan truk-truk yang membawa hasil hutan. Sejak itu, lebih dari 35 juta jiwa telah meregang nyawa. Sebuah contoh tragis bagaimana interaksi manusia dengan hutan tak lagi hanya soal eksploitasi, tetapi juga membawa risiko mematikan.

"Faktor-faktor yang dulu mendorong munculnya pandemi HIV/AIDS masih tetap ada di Afrika hingga kini. Fragmentasi dan deforestasi hutan tropis Afrika, bersama dengan pengembangan lahan pertanian, perilaku dan praktik manusia, serta dinamika demografi, menciptakan kondisi ideal untuk kontak manusia-satwa dan meningkatkan risiko penularan penyakit zoonosis." demikian peneliti.

Kini, ancaman itu tidak hanya berbentuk virus mikroskopis, tapi juga makhluk melata yang bergerak tanpa suara. Ketika akar-akar pohon dicabut dan habitat dihancurkan, ular dan patogen tak lagi bisa bertahan dalam keheningan rimba. Mereka bergerak ke tempat yang oleh orang-orang disebut rumah.

Lebih dari sekadar laporan ilmiah, temuan ini menjadi pengingat akan rapuhnya garis batas antara manusia dan alam. Ketika keseimbangan terganggu, bukan hanya makhluk liar yang kehilangan tempat tinggalnya, tapi juga manusia yang kehilangan rasa aman.

Krisis ekologis hari ini bukan lagi sekadar isu lingkungan. Ia telah merembes ke ranah kesehatan publik, ekonomi, dan ketahanan sosial. Deforestasi tak hanya melahirkan krisis iklim, tapi juga menciptakan lahan subur bagi wabah berikutnya.

Sebelum ular berikutnya muncul di kolong rumah atau virus baru lahir dari dahan yang ditebang, pertanyaan penting harus diajukan: Apakah kita siap hidup berdampingan dengan konsekuensi dari hutan yang hilang?

Redaksi
Redaksi
Editor
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 17 Sep 2025, 20:02 WIB

Elipsis ... Cara Pakai Tiga Titik sebagai Tanda Baca

Elipsis adalah tanda baca berupa tiga titik (...) yang digunakan untuk menunjukkan ada bagian yang dihilangkan atau tidak disebutkan.
Elipsis adalah tanda baca berupa tiga titik (...) yang digunakan untuk menunjukkan ada bagian yang dihilangkan atau tidak disebutkan. (Sumber: Pexels/Suzy Hazelwood)
Ayo Jelajah 17 Sep 2025, 18:14 WIB

Sejarah Julukan Garut Swiss van Java, Benarkah dari Charlie Chaplin?

Dari Charlie Chaplin sampai fotografer Thilly Weissenborn, banyak dituding pencetus Swiss van Java. Tapi siapa yang sebenarnya?
Foto Cipanas Garut dengan view Gunung Guntur yang diambil Thilly Weissenborn. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 18:12 WIB

Jejak Rasa Kota Kembang: Menyelami Sejarah dan Tantangan Kuliner Legendaris Bandung

Bicara Bandung bukan hanya udara sejuk dan panorama pegunungan yang memikat, tapi juga salah satu pusat kreativitas dunia kuliner yang tumbuh subur.
Setiap jajanan legendaris Bandung menyimpan jejak sejarah, budaya, dan perjuangan para pelaku UMKM. (Sumber: Instagram @batagor_riri)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 16:26 WIB

Berdaya di Tengah Derita, Cara Santi Safitri Menulis Ulang Takdir Masyarakat Jalanan

Kepedulian tak mengenal batas ruang dan waktu. Ia bisa tumbuh dari kejenuhan, dari ketidakpastian, bahkan dari rasa tak berdaya.
Kegiatan para anggota dari Komunitas Perempuan Mandiri (KPM) Dewi Sartika dalam usaha konveksinya. (Sumber: Dok. KPM Dewi Sartika)
Ayo Netizen 17 Sep 2025, 16:07 WIB

Kadedemes, dari Krisis Pangan menuju Hidangan Penuh Makna

Kadedemes adalah olahan makanan yang berasal dari kulit singkong.
Kadedemes Kuliner Warisan Suku Sunda (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 15:13 WIB

Dari Simbol Status ke Ruang Ekspresi Diri, Generasi Muda Kini Menyerbu Lapangan Golf

Bukan sekadar olahraga, generasi muda, dari Milenial hingga Gen Z, mulai menjadikan golf sebagai bagian dari gaya hidup aktif dan reflektif.
Bukan sekadar olahraga, generasi muda, dari Milenial hingga Gen Z, mulai menjadikan golf sebagai bagian dari gaya hidup aktif dan reflektif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Sep 2025, 14:06 WIB

Lamsijan, Mang Kabayan, dan Langkanya Ilustrator Karakter Kesundaan

Saat ini ilustrator yang mengkhususkan diri mendalami karakter budaya Sunda sangatlah jarang. 
Komik Lamsijan. Saat ini ilustrator yang mengkhususkan diri mendalami karakter budaya Sunda sangatlah jarang. (Sumber: Istimewa | Foto: Istimewa)
Ayo Jelajah 17 Sep 2025, 12:36 WIB

Sejarah Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Rumah Bersama Persib dan Persikab

Stadion kabupaten yang diresmikan 2005 ini kini jadi simbol Bandung. Rumah Persib, Persikab, Bobotoh, dan bagian dari sejarah sepak bola.
Stadion Si Jalak Harupat di Soreang yang jadi markas Persib Bandung dan Persikab. (Sumber: Pemkab Bandung)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 12:35 WIB

Sendal Perempuan yang Tak Boleh Hanya Nyaman Dipakai

Sandal perempuan berfungsi sebagai alas kaki yang melindungi telapak dari panas, kotoran, maupun permukaan yang keras ketika beraktivitas. Namun sandal juga memberikan kenyamanan karena umumnya ringan
Ilustrasi Foto Sandal Perempuan. (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 10:33 WIB

Surga Buku Jadul di Tengah Kota Bandung

Bagi pencinta buku lama dan koleksi majalah impor, Kota Bandung punya destinasi yang layak dikunjungi, Toko Buku Redjo. Toko ini berlokasi di Jalan Cipunagara Nomor 43, kawasan Cihapit, Bandung
Toko Buku Redjo. (Foto: GMAPS)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 09:37 WIB

Studio Rosid, Tempat Paling Nyaman untuk Menikmati Karya Seni

Di tengah ramainya kehidupan perkotaan, terdapat sebuah ruang seni yang menawarkan atmosfer berbeda. Studio Rosid, yang berdiri sejak 2003 di Jalan Cigadung Raya Tengah No. 40, Kecamatan Cibeunying.
Galeri Seni Studio Rosid. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Netizen 17 Sep 2025, 06:09 WIB

Apakah Mentalitas 'Modal Janji' Berakar dari Masyarakat ?

Janji manis yang sering kali tidak ditepati membuat seseorang bisa kehilangan mempercayai semua pihak.
Janji manis seseorang yang tidak ditepati sungguh mencederai kepercayaan orang lain. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 18:51 WIB

Bandung Bukan Milik Segelintir: BBFT dan Perjuangan Ruang yang Setara

Mereka ingin masyarakat melihat langsung bahwa difabel bukan kelompok yang terpisah. Mereka ada, dan mereka ingin dilibatkan.
BBFT ingin masyarakat melihat langsung bahwa difabel bukan kelompok yang terpisah. Mereka ada, dan mereka ingin dilibatkan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 16 Sep 2025, 18:31 WIB

Huruf Kapital Tak Boleh Diabaikan, tapi Kapan Jangan Digunakan?

Tanpa huruf kapital, tulisan formal menjadi hamparan kata yang tak punya penekanan, kehilangan nuansa dan martabat.
Tanpa huruf kapital, tulisan formal menjadi hamparan kata yang tak punya penekanan, kehilangan nuansa dan martabat. (Sumber: Pexels/Brett Jordan)
Ayo Jelajah 16 Sep 2025, 17:33 WIB

Sejarah Gempa Besar Cianjur 1879 yang Guncang Kota Kolonial

Catatan sejarah Belanda ungkap 1.621 rumah hancur, dari penjara hingga gudang garam, akibat guncangan berhari-hari.
Dokumentasi kerusakan gempa Cianjur 1879. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 16:48 WIB

Reggae Menggema dari Lereng Bandung, Jejak The Paps dan Generasi Musik Bebas

Dari gang-gang kecil tempat anak muda berkumpul, hingga panggung-panggung komunitas yang tak pernah sepi, Bandung jadi rumah bagi banyak eksperimen musikal yang berani.
The Paps, band reggae asal Bandung yang tak hanya memainkan musik, tapi juga merayakan kebebasan dalam berkarya. (Sumber: dok. The Paps)
Ayo Netizen 16 Sep 2025, 16:10 WIB

Upaya Menyukseskan Program Revitalisasi Sekolah

Revitalisasi sekolah merupakan program pemerintah saat ini yang layak untuk diapresiasi.
Revitalisasi sekolah merupakan program pemerintah saat ini yang layak untuk diapresiasi. (Sumber: Unsplash/Husniati Salma)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 15:37 WIB

Menyulam Asa di Dapur UMKM: Tiga Kisah Perjuangan, Inovasi, dan Harapan

Tiga sosok tangguh dari Bandung ini membuktikan bisnis kecil bisa punya dampak besar asal dijalani dengan tekad, inovasi, dan dukungan publik yang berkelanjutan.
Produk brownies bites yang gluten free, dairy free, dan low sugar dari Battenberg3. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 16 Sep 2025, 15:00 WIB

Kasian, Kota Bandung Tak Punya Gedung Festival Film

Ya, Bandung kota seni yang tak Nyeni. Seperti gadis cantik yang belum mandi.
Kota Bandung tak punya Gedung Festival Film. (Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko)
Ayo Jelajah 16 Sep 2025, 14:15 WIB

Sejarah DAMRI, Bus Jagoan Warga Bandung

Sejak 1960-an, DAMRI mewarnai jalanan Bandung. Dari trial and error, berkembang jadi transportasi publik penting, kini hadir dengan armada bus listrik.
Bus DAMRI jadul di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung)