BANDUNG, dengan luas sekitar 167 kilometer persegi dan penduduk menyentuh 2,5 juta jiwa, kini menghadapi dilema ruang yang tak bisa diabaikan. Jalan-jalan kian padat, pemukiman yang saling menempel, dan makin terbatasnya lahan hijau tak ayal membuat ibukota Jawa Barat ini dipaksa memikirkan ruang untuk masa depannya.
Pertanyaan terkait hal tersebut pun menyeruak: apakah Bandung perlu memperluas wilayahnya hingga pinggiran? Atau cukup membangun menembus langit sehingga menjadi sebuah kota vertikal?
Jika memilih memperluas wilayah, Bandung harus menghadapi tantangan geografis dan sosial. Dataran tinggi, perbukitan, dan aliran sungai, jelas, membatasi perluasan. Adapun jika merambah lahan pertanian atau kawasan pinggiran berpotensi menimbulkan konflik sosial dan lingkungan dengan wilayah administratif lainnya.
Di sisi lain, opsi menjadikan Bandung sebagai kota vertikal membuka kemungkinan memanfaatkan ruang udara melalui gedung-gedung tinggi, apartemen, dan pusat perbelanjaan modern. Namun, hal ini menuntut infrastruktur cerdas, transportasi efisien, dan perencanaan kota yang matang agar tidak menciptakan kepadatan vertikal yang sesak dan tak nyaman.
Soal menjaga kualitas

Pilihan antara horizontal atau vertikal bukan sekadar soal pembangunan fisik, tetapi juga soal menjaga kualitas hidup warga Bandung. Ruang terbuka hijau, akses transportasi, dan identitas budaya Bandung harus tetap menjadi pertimbangan utama.
Kenapa? Ini agar pertumbuhan kota tidak mengorbankan kenyamanan dan karakter kota. Dengan pendekatan yang tepat, Bandung dapat menjadi contoh bagaimana kota menyeimbangkan keterbatasan ruang dengan kebutuhan modern, tanpa harus kehilangan jati dirinya.
Selain opsi horizontal dan vertikal, Bandung bisa menempuh solusi kreatif yang menggabungkan keduanya dengan pendekatan kekiwarian. Salah satunya adalah pengembangan ruang hijau vertikal, seperti taman atap, taman gantung, atau fasad hijau pada gedung-gedung tinggi.
Konsep ini tidak hanya memaksimalkan penggunaan lahan, tetapi juga membantu menjaga kualitas udara, mengurangi efek panas kota, dan memberi ruang publik bagi warga.
Di saat yang bersamaan, infrastruktur cerdas dan transportasi terintegrasi menjadi kunci. Bandung bisa mencontoh kota-kota dunia dengan sistem transportasi massal efisien -- kereta ringan, bus rapid transit, dan jalur sepeda yang terhubung -- agar mobilitas tetap lancar meski kepadatan meningkat.
Smart city dengan pemantauan lalu lintas, manajemen energi, dan pengelolaan sampah secara digital juga bisa menjaga kualitas hidup tanpa harus menambah lahan.
Selain itu, pendekatan mixed-use development juga patut dipertimbangkan. Misalnya, gedung yang menggabungkan hunian, perkantoran, dan fasilitas publik dalam satu area. Strategi ini bisa mengurangi kebutuhan perjalanan jauh, memadatkan aktivitas ekonomi di satu area, sekaligus membuka ruang untuk taman dan juga fasilitas sosial.
Dengan perpaduan inovasi vertikal, hijau, dan teknologi, Bandung bisa tetap berkembang, tetapi tetap manusiawi, nyaman, dan berkelanjutan. Dengan demikian, menjadi sebuah kota modern yang menghargai ruang sekaligus menjaga identitasnya.
Dalam konteks ini, pengelola Kota Bandung memegang peran penting. Mereka dapat memanfaatkan lahan tidur dan area industri yang sudah tidak produktif sebagai ruang baru bagi hunian dan fasilitas publik. Alih fungsi lahan yang tepat bisa menambah kapasitas kota tanpa harus menembus wilayah alami atau perbukitan yang rentan terhadap longsor.
Strategi ini sekaligus mendorong regenerasi kawasan lama, sehingga kota tetap dinamis, manusiawi, dan berkelanjutan.
Teknologi dan data

Pemanfaatan Teknologi dan data urban bisa turut menjadi penentu dalam perencanaan ruang kota.
Sistem pemetaan berbasis Geographic Information System (GIS), sensor lalu lintas, dan aplikasi mobile untuk warga memungkinkan pemerintah kota merencanakan pembangunan secara tepat sasaran, menekan kemacetan, dan menjaga distribusi layanan publik merata di seluruh kota.
Bandung juga bisa mencontoh model “superblok” ala kota-kota Asia Timur, di mana kawasan padat diatur secara vertikal, tetapi tetap memiliki ruang terbuka hijau, fasilitas olahraga, dan area publik di setiap tingkat. Dengan desain arsitektur yang cermat, kepadatan vertikal tidak harus mengorbankan kenyamanan atau interaksi sosial warga.
Sudah barang tentu, partisipasi aktif warga menjadi elemen penting. Perencanaan kota yang melibatkan komunitas lokal -- dari musyawarah RT/RW hingga forum daring --memastikan pembangunan vertikal atau horizontal tidak sekadar efisien, tetapi juga diterima dan dibutuhkan warga.
Kota bukan hanya soal gedung, tetapi tentang kehidupan manusia yang nyaman dan aman.
Selain itu, partisipasi warga juga membantu mengidentifikasi kebutuhan nyata yang mungkin luput dari perencanaan teknokratis. Misalnya, masyarakat bisa menunjukkan area yang sering tergenang air, jalur pejalan kaki yang rawan kecelakaan, atau kebutuhan ruang terbuka untuk kegiatan sosial.
Masukan semacam ini memungkinkan pengelola kota merancang infrastruktur yang lebih tepat guna, meningkatkan kualitas hidup, dan memperkuat rasa kepemilikan warga terhadap lingkungannya.
Memastikan filosofi kota

Bandung memang sedang di persimpangan jalan. Memilih perluasan horizontal atau vertikal bukan sekadar soal teknis, tetapi juga soal memastikan filosofi hidup kota ini. Pilihan yang diambil harus mencerminkan karakter Bandung, yakni kota kreatif, ramah lingkungan, dan manusiawi. Jadi, bukan sekadar mengejar kapasitas penduduk semata.
Setiap langkah pembangunan di Kota Bandung harus mempertimbangkan keseimbangan antara ruang, kualitas hidup, dan identitas kota. Gedung-gedung tinggi bisa memecahkan masalah kepadatan, tetapi tanpa tersedia taman, jalan ramah pejalan kaki, dan udara bersih, kota bakal kehilangan jiwanya.
Masa depan Bandung tentu saja ada di tangan perencana, pemerintah, dan segenap warganya. Dengan memanfaatkan inovasi, teknologi, serta partisipasi aktif masyarakat, kota Bandung bisa menjadi contoh bagaimana urbanisasi tidak harus mengorbankan ruang, kenyamanan, maupun karakter lokal.
Di masa depan, Bandung bisa saja dibangun menjulang hingga menembus langit, tetapi mesti tetap berakar kuat pada budaya, sejarah, dan kebutuhan seluruh warganya. (*)