SUASANA senja tak jarang menggetarkan hati. Di kawasan Bandung Utara, senja tak jarang tampil memukau -- sebagaimana dilukiskan dalam lirik lagu Senja Jatuh di Bandung Utara, karya Iwan Abdulrachman.
Saat senja jatuh itu, langitnya merah, lalu berubah kelabu. Nah, warna merah dan kelabu sering kita anggap indah. Kita pun tak lupa segera memotretnya. Dan langsung kita unggah ke media sosial. Kita rayakan itu seolah pertunjukan alam yang wajar dan mempesona.
Padahal, tidak semua warna senja adalah pesan keindahan. Ada saatnya, langit merah kelabu adalah sinyal dari langit yang lelah. Ia menyampaikan pesan ihwal Bumi yang memanas.
Ditentukan partikel dan gas
Dalam teori sains atmosfer, warna langit ditentukan oleh partikel dan gas di udara. Ketika senja turun, cahaya matahari melewati atmosfer dalam sudut rendah. Partikel-partikel di udara membiaskan cahaya, menciptakan efek warna-warni.
Menurut National Aeronautics and Space Administration (NASA), warna merah pada langit senja bisa diperkuat oleh keberadaan aerosol, polusi, dan partikel halus dari aktivitas manusia. Di kota-kota padat, senja cenderung bisa lebih merah, bukan karena romantisme, melainkan karena polutan.
Semakin banyak polutan di udara, semakin kompleks pembiasan cahaya yang terjadi. Kita bisa menyebutnya sebagai keindahan yang lahir dari luka, ketika langit memantulkan sisa-sisa pembakaran kendaraan, pabrik, dan limbah rumah tangga ke dalam palet senja.
Tak luput dari polusi
Kawasan Bandung Utara, meski dikenal sebagai kawasan sejuk dan masih berhutan, walau sebagian, kini tak luput dari belenggu polusi. Urbanisasi mendorong pembangunan masif ke arah utara. Hutan kian menyusut. Jalan dan vila terus bertambah.
Buntutnya bisa terlihat di langit. Senja yang dulu bening dan hangat, kini bisa lebih merah pekat dan cepat berubah kelabu. Perubahan itu bisa jadi alarm ekologi yang tak banyak disadari.
Teori dari James Lovelock tentang Gaia Hypothesis menyebutkan bahwa Bumi adalah organisme hidup yang merespons tekanan. Ketika manusia menekan terlalu keras, Bumi sontak bereaksi.
Reaksi itu bisa dalam bentuk cuaca ekstrem. Bisa juga suhu naik atau perubahan pola langit. Nah, senja merah kelabu bisa dilihat sebagai ekspresi Bumi yang mencoba menyeimbangkan dirinya kembali.
Berdampak besar
Menurut analisis tren suhu dari data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang dirangkum dalam penelitian Jurnal Geografi periode 1990–2019, suhu rata-rata tahunan di Bandung mengalami kenaikan sekitar 0,025 °C per tahun.
Jika diakumulasikan, tren ini berarti terjadi peningkatan sekitar 0,66 °C dalam 30 tahun terakhir. Dengan perhitungan sederhana, untuk kurun waktu dua dekade terakhir saja, kenaikannya diperkirakan sekitar 0,5 °C -- lebih tinggi dari angka 0,3 °C yang sering disebut.
Kenaikan ini mungkin terdengar kecil, tetapi secara klimatologis berdampak besar. Perubahan suhu sekecil 0,5 °C dapat memengaruhi pola kelembapan udara, meningkatkan laju penguapan, memicu pergeseran pola curah hujan, dan memperbesar peluang terjadinya cuaca ekstrem. Fenomena ini sejalan dengan tren nasional. BMKG mencatat suhu rata-rata Indonesia meningkat sekitar 1,02 °C dalam 44 tahun terakhir.
Kenaikan suhu ini tidak hanya mempengaruhi kenyamanan hidup sehari-hari, tetapi juga membuka pintu bagi risiko ekologis yang lebih serius. Bandung, sebagai kota besar, tidak terlepas dari pemanasan global sekaligus pemanasan lokal akibat urbanisasi. Lapisan aspal, beton, minimnya ruang terbuka hijau, serta polusi udara memperkuat efek pemanasan, sehingga perubahan iklim terasa nyata di skala kota.
Salah satu dampak lanjutan dari kenaikan suhu adalah meningkatnya potensi kebakaran hutan dan lahan di wilayah sekitar. Ketika kebakaran ini terjadi, asap yang dihasilkan menyumbang partikel-partikel halus ke udara. Partikel ini turut memperkuat warna merah yang tampak pada langit senja, menjadikan pemandangan sore hari lebih pekat dan dramatis.
Tak hanya kebakaran hutan, aktivitas kendaraan bermotor dan pembakaran sampah rumah tangga juga memperkaya atmosfer dengan karbon dan sulfur. Kedua unsur ini memengaruhi cara cahaya matahari berinteraksi dengan awan dan partikel di udara. Semakin tinggi konsentrasi partikel tersebut, semakin pekat pula gradasi warna merah pada senja yang kita saksikan di Bandung.
Faktor alami seperti keberadaan pepohonan sebenarnya bisa menjadi penahan dampak ini. Namun, di Bandung Utara, pohon-pohon cemara yang dulu berfungsi menyaring udara dan menyerap karbon dioksida kini makin berkurang. Hilangnya pepohonan ini membuat langit kehilangan penyeimbang alaminya, sehingga polusi udara dan efek pemanasan menjadi semakin terasa.
Mengalami stres iklim

Sebuah studi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2023 menyebut bahwa kawasan pegunungan tropis mengalami stres iklim lebih cepat. Bandung Utara termasuk di dalamnya. Perubahan vegetasi, curah hujan, dan suhu bergerak dalam kecepatan yang mengkhawatirkan.
Kawasan-kawasan yang dahulu dikenal sebagai penyeimbang suhu kini ikut menjadi zona rawan. Perubahan ini tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga berdampak sosial. Ia berdampak langsung pada kehidupan masyarakat dan ekosistem di Bandung Utara.
Misalnya, pergeseran musim hujan yang tidak menentu dapat mengganggu pertanian dan ketersediaan air bersih, sementara perubahan vegetasi mengancam habitat satwa lokal serta mengurangi fungsi hutan sebagai penyerap karbon. Kondisi ini menuntut upaya adaptasi dan mitigasi yang terintegrasi agar kawasan pegunungan tetap lestari dan mampu mendukung kehidupan generasi mendatang.
Ketika senja turun dan langit berubah warna, ia sebetulnya sedang menunjukkan apa yang tak bisa diucapkan. Langit memberi tanda bahwa sesuatu sedang berubah. Kita kerap lupa bahwa alam memiliki cara sendiri untuk bicara. Ia bicara lewat suhu, lewat angin, lewat warna, bahkan lewat kesunyian.
Bukan membenci senja
Bagi kita, senja yang merah kelabu mungkin terasa syahdu. Tapi, di balik syahdu itu, tersimpan jejak karbon, polutan, dan udara yang semakin kotor. Tentu, ini bukan ajakan untuk membenci senja. Justru sebaliknya. Kita bisa belajar melihat senja sebagai refleksi dari gaya hidup kita sendiri.
Mari kita bertanya kepada diri kita: apakah kita masih suka bakar-bakar sampah atau bakar-bakar ban bekas saat demo? Apakah kita masih membiarkan kendaraan bermotor mendominasi kehidupan kita? Apakah kita membiarkan ruang-ruang hijau digantikan beton?
Refleksi kecil ini penting, karena perubahan iklim bukan sesuatu yang jauh terjadi di Kutub Utara. Ia ada di dekat kita, dalam warna langit yang kita pandangi setiap sore.
Langit merah kelabu bisa menjadi panggilan bagi kita untuk kembali ke kesadaran ekologis, untuk hidup lebih hemat energi, lebih ramah lingkungan, dan lebih sadar akan jejak kita.
Kita tidak bisa terus-menerus menutup mata dan menyebut semua ini sebagai pemandangan yang menenangkan. Ada tanggung jawab moral dalam setiap nafas dan langkah yang kita ambil di bawah langit yang berubah. Alam sesungguhnya sudah memberitahu kita tanpa suara, tanpa marah, hanya lewat warna yang dimunculkan saat senja.
Masih ada harapan
Kawasan Bandung Utara masih memiliki harapan. Di sana, masih ada hutan, juga masih terlihat ada pohon cemara, dan masih ada angin bersih jika kita mau menjaganya. Akan tetapi, harapan itu tak akan bertahan jika kita terus mengabaikan kerusakan yang terjadi.
Langkah kecil bisa dimulai dari hal sederhana. Mengurangi penggunaan plastik. Menanam pohon. Mengganti kendaraan bermotor dengan bersepeda. Dan memilih transportasi umum. Setiap tindakan kecil yang kita lakukan akan berdampak besar bila dilakukan bersama-sama.
Karena saat kita berupaya menjaga Bumi, senja akan kembali bicara dengan bahasa yang lebih ramah. Ia akan datang dengan warna hangat, bukan tanda peringatan. Itulah saat alam memberikan hadiah bagi mereka yang peduli dan bertindak.
Langit bisa menjadi cermin dari apa yang kita lakukan di Bumi selama ini. Ketika langitnya merah kelabu, mungkin Bumi sedang memberi pesan agar kita mau berubah. (*)