Dalam politik, indikator keberhasilan pemerintah daerah pada umumnya dilihat dari program-program yang dilaksanakan. Sudah sejauh mana kemajuan program yang berjalan dan tentunya dirasakan dampaknya bagi masyarakat luas. Tetapi, perlu disadari bahwa sudut pandang masyarakat selalu prismatik. Dan dinamika politik berjalan secara apple to apple (perbandingan yang setara).
Pasca pilkada 2024, Farhan-Erwin diangkat memimpin Bandung. Dalam pidato pertamanya di DPRD, mereka menyampaikan janji besar: menyelesaikan persoalan kota seperti infrastruktur, transportasi, banjir, sampah, jaringan air, ruang terbuka hijau, sekaligus mendukung UMKM dan sektor ekonomi kecil.
Bagaimanakah tantangan dan harapan masyarakat Kota Bandung selama 10 bulan ini?
Pemerintahan mereka mencoba membangun tata kelola yang inklusif dan kolaboratif: misalnya pada 2025 mereka menyerahkan hibah keuangan kepada partai politik (Banpol) di Kota Bandung sebagai bagian dari pelibatan parpol dalam demokrasi lokal secara resmi dan transparan.
Di sisi politik, keberadaan partai politik sangat penting untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam merespon aspirasi masyarakat. Karena sistem demokrasi negara telah diatur dalam undang-undang. Maka, tidak serta-merta harapan masyarakat bisa diwujudkan, karena ada skala prioritas dan diatur oleh sistem tata kelola pemerintahan daerah.
Pemkot juga mencoba menjaring aspirasi dan partisipasi publik: misalnya dengan pendidikan politik untuk generasi muda (pelajar SMA/SMK) lewat kegiatan yang diselenggarakan oleh Bakesbangpol Kota Bandung.
Namun demikian, ada kritik dan ekspektasi besar terhadap efektivitas pemerintahan:
Beberapa anggota legislatif menilai bahwa dalam 100 hari pertama, belum ada “gebrakan” signifikan dari Walikota khususnya untuk janji kampanye mereka — publik merasa belum banyak yang bisa dirasakan secara nyata. Konteks ini harus dilihat secara
Sejumlah masalah struktural kota — seperti banjir, kemacetan, sampah, pemerataan layanan publik — masih dinilai sebagai “pekerjaan rumah” besar.
Program dan capaian signifikan sejauh ini:
Meskipun banyak harapan, ada juga sejumlah langkah nyata yang menunjukkan kemajuan dan arah yang relatif jelas:
1. Pemerintah kota mendapat nilai tertinggi dalam penilaian Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) — dengan skor 4,59 — serta predikat memuaskan dalam indeks “Smart City”. Ini menunjukkan bahwa administrasi dan layanan publik di Bandung telah bergerak ke arah digital, efisien, transparan.
2. Sebagai bagian dari upaya “smart city”, pada November 2025 Pemkot memperkenalkan program Identitas Kependudukan Digital (IKD), yang memungkinkan warga mengurus data kependudukan secara digital — ini bisa mempercepat pelayanan publik dan mempermudah akses administratif.
3. Pemerintah kota menunjukkan komitmen pada pembangunan berkelanjutan: dalam berbagai pernyataan, Wali Kota menekankan pentingnya inovasi, kepedulian lingkungan, dan pemeliharaan budaya lokal — terutama menyeimbangkan aspek pembangunan fisik, sosial, ekonomi, dan kultural.
4. Untuk sektor sosial & kemasyarakatan: Pemkot menggandeng institusi pendidikan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai mitra strategis — misalnya untuk konsultasi pembangunan, inovasi kota, dan implementasi pendekatan pentahelix (pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat, media).
Tantangan, kritik, dan harapan dari warga untuk menjadi perbaikan ke depan:
Kritik utama: belum ada hasil nyata yang terasa oleh sebagian besar warga dalam 10 bulan awal — banyak warga dan wakil rakyat merasa belum “menyentuh” masalah nyata seperti kemacetan, banjir, layanan sehari-hari.
Kelompok masyarakat juga mengungkap terputusnya antara janji politik dan realita: ada keluhan terkait ketimpangan sosial, pelayanan publik yang sulit diakses, sanitasi, keamanan lingkungan — terutama di wilayah padat, kumuh atau kurang terlayani.
Tantangan struktural: pengelolaan kawasan perbatasan dan kerja sama lintas wilayah menjadi penting — misalnya koordinasi dengan kota tetangga seperti Kota Cimahi sudah mulai dilakukan, meliputi tata ruang, infrastruktur dan pengelolaan banjir/kolam retensi. Namun implementasinya akan membutuhkan komitmen dan waktu.
Harapan terhadap pemerataan pembangunan: legislatif menekankan bahwa dokumen perencanaan jangka menengah daerah (RPJMD 2025–2030) harus dirancang dan dijalankan secara serius agar visi kampanye “Bandung Utama” — unggul, terbuka, amanah, maju, agamis — bisa tercapai.
Implikasi & apa yang mungkin terjadi ke depan:
Transisi ke layanan publik digital bisa meningkatkan efisiensi, mengurangi birokrasi, dan lebih transparan — ini bisa menjadi fondasi bagi program-program pembangunan lebih besar. Sukses di SPBE & IKD menunjukkan arah positif.
Jika program infrastruktur, penataan ruang, penanganan banjir & sampah, transportasi, dan pemerataan sosial dikawal dengan sungguh-sungguh, ada potensi Bandung berubah signifikan dalam 2–5 tahun ke depan — terutama kalau OPD bekerja kolaboratif dan warga dilibatkan.
Namun keberhasilan besar tergantung pada implementasi — tidak cukup lewat janji. Tantangan seperti kemiskinan urban, ketimpangan layanan, partisipasi publik, dan konsistensi regulasi perlu dijawab.
Ruang untuk partisipasi warga, mahasiswa, komunitas — seperti yang sudah dibuka melalui pendidikan politik, kemitraan dengan akademisi dan lembaga swadaya — bisa menjadi modal sosial penting agar pembangunan lebih inklusif dan sesuai kebutuhan warga. (*)
