Ditulis oleh Benedict Erick Mutis, Putu Jovita Nareswary, dan Willfridus Demetrius S.
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan begitu banyak pulau dan keberagaman budaya. Salah satunya adalah Kampung Adat Cireunde yang terletak di kecamatan Cimahi Selatan, Leuwigajah, Jawa Barat.
Kampung Adat Cirendeu masih mempertahankan budaya dan warisan leluhur di tengah dinamika peradaban yang selalu mengedepankan semangat eksploitasi dan konsumtif.
Masyarakat Adat Cireundeu memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam yang diwariskan oleh leluhur dan senantiasa dilestarikan dan dihidupi. Hal ini nampak dari cara mereka menjaga alam, merawat, dan mengelola pangan secara bijaksana.
Arti ‘Cirendeu’, menurut para sepuh berasal dari dua kata ‘ci’ (air) dan “rendeu” (pohon ‘rendeu’, ‘sarendeu’: kebersamaan, kekompakan). Konon, Kampung Adat Cireundeu sudah eksis sejak abad 16M. Kampung tersebut secara periodik telah mengalami perubahan sosial, salah satunya akibat gelaran kolonialisme-imperialisme Belanda. Pada 1918, para sepuh menggagas ide yang dinamakan: ‘nendeun kersanyai’, bermakna menyimpan padi dengan alasan mulia untuk kemerdekaan lahir-batin, luar-dalam masyarakat Kampung Adat Cireundeu.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa praktik kolonialisme Belanda melakukan perampasan kekayaan alam sekaligus mendukung niat Gubernur Jenderal Daendels yang merencanakan pemindahan Ibu Kota Batavia ke Kota Bandung. Dengan demikian, butuh pasokan logistik cukup besar untuk mewujudkan rencana tersebut.
Kampung Adat Cireundeu menjadi salah satu pemasok bahan pangan kepada pemerintah kolonial saat itu. Para sepuh menggunakan tanda-tanda alam, berupa padi-padian sebagai simbol kemerdekaan lahir batin. Salah satu pendahulu Kampung Adat Cireundeu, bernama Abu Sepuh mendapatkan piagam penghargaan sebagai ‘pahlawan pangan’.
Menjaga api semangat Abu Sepuh dan sesepuh lain masyarakat Kampung Adat Cireundeu bertekad merawat sistem ketradisian hingga saat ini. Menggarisbawahi ketahanan pangan yang berkelindan dalam tradisi dan kebudayaan dapat kita telusuri dalam visi ‘kemerdekaan pangan’ menjadi salah satu pilar pembangunan yang berkelanjutan - Sustainable Development Goals (SDGs).
SDGs merupakan kompendium aspirasi global untuk mengeliminasi kemiskinan, menghapus kelaparan, memastikan kehidupan yang sehat dan sejahtera, menyediakan pendidikan berkualitas, mencapai kesetaraan gender, menyediakan air bersih dan sanitasi yang layak, menawarkan energi bersih dan terjangkau, menciptakan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, mendorong industri, inovasi, dan infrastruktur, mengurangi kesenjangan, membangun kota dan pemukiman yang berkelanjutan, menerapkan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, menangani perubahan iklim, melestarikan ekosistem laut dan darat, serta mempromosikan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, serta membangun kemitraan untuk mencapai tujuan global. Tujuh belas pilar SDGs, merangkum inti permasalahan dunia masa kini, langkah mitigasi serta solusinya hingga tahun 2030.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk merangkul berbagai elemen sosial, seperti komunitas adat, pemerintah, dan berbagai lapisan masyarakat. Kolaborasi, memegang peranan penting di sini. Seluruh stakeholder, saling kait-mengait mewujudkan kesejahteraan umum, menutup kesenjangan, pemerataan manfaat sosio-ekonomis, dan memberi penekanan pada pembangunan berkelanjutan. Masyarakat adat, turut dilibatkan dalam proses pencapaian SDGs. Pengetahuan lokal (local genius), agrikultur, dan konsistensi menjaga warisan leluhur menguatkan komunitas adat untuk tetap adaptif - kontekstual dengan peradaban masa kini.
SDGs merupakan ‘cetak biru’ (blueprint) sinergi atas keragaman masyarakatnya, mulai dari etnis, ras, dan bahasanya. Pilar SDGs yang relevan dengan semangat ketahanan pangan Kampung Adat Cireundeu adalah ‘Tanpa Kelaparan’ (Zero Hunger). Pilar tersebut, berkorelasi dengan laku sosio-kultural masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Merencanakan, membangun, dan merawat pola ketahanan pangan mandiri berimplikasi pada lepasnya ketergantungan pada pola konsumsi beras. Mereka mengembangkan sumber pangan lokal berbasis singkong atau yang dikenal dengan rasi (beras singkong) yang memiliki lebih banyak kandungan serat dan rendah glukosa.

Inisiasi yang dihidupi oleh Masyarakat Adat Cirendeu tak hanya menjaga keberlanjutan pangan lokal, melainkan menjadi strategi budaya untuk menekan risiko kelaparan akibat krisis ketersediaan beras nasional. Prinsip "jika sudah lepas dari beras, berarti sudah dekat dengan kemerdekaan," Masyarakat Adat Cireundeu selalu mengakarkan kemandirian pangan dan kecukupan gizi bagi semua individu tanpa terkecuali. Strategi ini mencerminkan poin dua SDGs, yakni memastikan aksesibilitas kecukupan, kebergizian, dan keberlanjutan pangan masyarakat luas.
Strategi yang dipraktikan oleh Masyarakat Adat Cireundeu berbarengan dengan pengetahuan dan pemeliharaan ekosistem hijau, rantai pasok pangann nasional, dan pertimbangan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Ideologi ‘ketahanan pangan’ dapat dicapai tanpa merusak biodiversitas alam setempat. Bukan sebaliknya, monokulturisasi alam dengan dalil meraih ‘kemerdekaan pangan’, justru menampilkan manusia sebagai ‘serigala’ atas alam. Falsafah Sunda Wiwitan tentang alam: “Indung Nu Teu Ngandung” (alam sebagai ibu yang tak mengandung), berarti alam secara cuma-cuma melahirkan, merawat, menimang kehidupan manusia.
Kang Tri, salah satu warga Kampung Adat Cireundeu menuturkan bahwa secara saintifik, singkong cocok bagi para penderita diabetes dan bagi mereka yang menjalankan program diet. Skema ekologis yang berakar pada kemandirian pangan, berdampak pula pada variasi pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat umum.
Di lain pihak, ruang kolektivitas dalam kegiatan panen, penyimpanan, dan pengolahan makanan memberi makna tersendiri. Kebudayaan lokal menyatu dengan aktivitas agrarianya melalui semangat gotong royong, urun rembuk, welas asih, dan rasa syukur atas tanah pemberi kehidupan.
Kampung Adat Cireundeu memberikan contoh konkret, bagaimana komunitas adat mampu memajukan keberlanjutan pangan yang senada, selaras dengan alam. Kepastian distribusi dan aksesibilitas terkait ketercukupan, kebergizian, dan keberlanjutan pangan perlu diperkuat dengan regulasi yang berpihak pada kebaikan bersama (bonum commune).
Sistem pangan berkelanjutan perlu dipertimbangkan secara serius dalam konteks pertumbuhan dan populasi yang cepat, urbanisasi, pola konsumsi yang terus berubah, globalisasi, perubahan iklim dan penipisan sumber daya alam. Perkembangan dalam sistem pangan telah menghasilkan banyak hal positif.
Perspektif sosial budaya menganggap sistem pangan dapat dikatakan berkelanjutan apabila ada keadilan distribusi yang berakar pada tradisi kelompok adat tertentu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Poin kuncinya adalah praktik baik sistem pangan berkelanjutan perlu dan terus berkontribusi pada kemajuan dan keutuhan sosio-kultural seperti nutrisi, kesehatan masyarakat, tradisi, etos kerja, dan kesejahteraan.
Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi
Masyarakat Adat Cirendeu telah membuktikan bahwa setiap individu memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan sistem pangan mulai dari pengolahan lahan sampai pascakonsumsi. Beras singkong yang menjadi bahan makanan pokok dijaga keberlanjutannya melalui harmoni, sinergi, dan perilaku baik yang diwariskan turun temurun.
Bersinergi dengan alam! Kata para sepuh, lamun urang nyaah ka alam, alam ge bakal nyaah. Lamun leuweung maneh ruksak, maranehna (orang yang punya bisnis) rugi moal? Kan moal, maranehna mah da nyokot kauntungan hungkul. Lamun halodo cai béak, lamun hujan pasti banjir. (*)
Ditulis oleh Benedict Erick Mutis, Putu Jovita Nareswary, dan Willfridus Demetrius S., merupakan dosen dan mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan.