Generasi milineal baru-baru ini mendapat perhatian khusus dari ketua Kemenag yaitu Nasaruddin Umar dalam acara nikah massal di Masjid Istiqlal pada Sabtu, 28 Juni 2025 untuk segera menikah.Nasihat tersebut diberikan lantaran diduga generasi milineal banyak yang melakukan living together.
Nasaruddin Umar khawatir jika para generasi tersebut terbawa arus oleh pemikiran Barat yang menanggap hidup bersama bukan hal yang tabu meskipun belum terikat pernikahan secara sah. Pergeseran budaya yang memandang bahwa pernikahan bukan hal yang penting pun turut menjadi alasan diadakannya program tersebut.
Berdasarkan data dan fakta di lapangan pun, justru gen dibawahnya seperti gen z banyak yang lebih berani untuk memilih pernikahan di usia muda. Hal ini sejalan dengan sebuah artikel yang pernah penulis baca di laman Good Stats pada tanggal 4/6/25
Data tersebut ditunjukkan oleh Populix melalui laporan bertajuk Indonesian Gen Z & Millennial Marriage Planning & Wedding Preparation Maret 2023. Sebanyak 1.087 responden terlibat dalam survei tersebut dengan presentase Gen Z 69%, Generasi Milenia 30%, dan Gen X 1%

Dibalik tren living together pada generasi milineal, sebetulnya ada milineal lain yang memiliki alasan untuk menunda bahkan memutuskan untuk tidak menikah. Menurut penulis Milenial merupakan generasi yang unik, kelahiran era 1980-1995 ini mengalami dua periode zaman yaitu, masa sebelum masifnya teknologi hingga teknologi menguasai dunia.
Milineal yang berada di tengah-tengah itu memiliki dua perspektif yang berbeda dalam memandang kehidupan. Ketika masa kecil, sebagian besar dari mereka menikmati kehidupan tanpa distraksi media sosial. Menjadi anak kecil sebagaimana usianya dan mejalani alur kehidupan sebagaimana tumbuh kembangnya.
Generasi terakhir sekaligus termuda dari Milineal yaitu kelahiran 1995, benar-benar baru terpapar dan diperkenalkan internet pada tahun 2010. Tahun dimana hampir sebagian besar gen tersebut berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Usia yang pas untuk mengenal sekaligus mengeksplor hal-hal baru mengenai internet, tidak terlalu muda juga tidak terlalu telat. Hal ini yang membuat beberapa gen tersebut bisa lebih bijak dalam menggunakan internet.
Menjadi Sandwich Generation di Keluarga
Generasi yang sering dikatakan sandwich generation ini merupakan mereka yang berada di tengah-tengah untuk menanggung tanggung jawab serta beban ekonomi orang tuanya dan satu generasi lagi yaitu anak-anaknya.
Namun tak jarang ada juga gen milineal yang belum berkeluarga tapi harus mengurus saudara/kakak yang juga sudah berumah tangga atau yang masih pengangguran di usia menjelang senja. Berdasarkan data pun generasi terbanyak yang mengalami kondisi sandiwch generation adalah mereka yang lahir pada tahun 1965-1980 (Gen X) dan 1980-1995.
Seperti yang sebelumnya sudah dibahas, gen milineal adalah generasi yang unik karena mereka selalu berada di tengah-tengah fenomena apapun yang terjadi di dunia. Kondisi ini menjadikan mereka selalu mendambakan idealisme dan keseimbangan. Meski mereka kadang tidak mampu tapi selalu berusaha mendobrak segala keterbatasan meskipun harus terseok-seok.
Pada satu sisi gen ini mendambakan hidup yang nyaman tanpa intervensi dari pihak lain. Namun kepeduliannya terhadap orang sekitar pun tak bisa dihindarinya. Gen ini merupakan salah satu gen yang masih menggangap bahwa perasaan orang lain lebih penting ketimbang perasaannya sendiri.
Kondisi ini kerap kali menjebak gen milineal untuk stagnan pada situasi yang sama, maju sulit tapi mundur pun enggan. Hal inilah yang mendasari milineal untuk menunda bahkan memilih untuk tidak menikah demi terjadinya keseimbangan dalam sebuah keluarga.
Doktrin Agama Yang Kuat
Milineal sepertinya menjadi gen terakhir yang berada pada situasi pembelajaran agama yang kondusif. Kehadiran internet yang belum masif seperti hari ini, menjadikan gen tersebut memiliki banyak aktivitas yang bersinggungan langsung dalam masyarakat. Pada zaman itu kegiatan yang dilakukan sepulang sekolah adalah bermain bola di lapangan, petak umpet, sondah, boy-boyan, gambar dan mengaji. Saat itu di beberapa kampung, pengajian seringkali dihadiri dalam beberapa sesi.
Pertama pengajian subuh yang seringkali diutamakan saat menjelang Ramadhan. Meski terkantuk-kantuk tapi kegiatan ini menjadi memori yang membekas dalam ingatan. Selepas pulang sekolah, biasanya ada pengajian sore yang dimulai setelaah shalat ashar hingga magrib. Kemudian setelah shalat isya, pengajian dilanjutkan umumnya untuk remaja yang sudah baligh untuk membahas kajian fiqih, nahwu sharaf ataupun akidah akhlak.
Pada saat itu agama seperti menjadi sebuah rutinitas yang dibutuhkan. Kegiatan agama selalu diselipkan di antara waktu-waktu mengejar sesuatu yang berhubungan dengan keduniawian. Pembelajaran agama menjadi pondasi yang secara tidak sadar melekat pada generasi milenial yang mengalaminya. Doktrin dan paradigma ini seolah ikut tumbuh dan hadir sebagai nilai-nilai yang menjadi rujukan untuk menjalani kehidupan bermasyarakat dan beragama.
Pembelajaran keagamaan seringkali memberikan panduan bagi seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Rasa takut kepada orang tua menjadi bentuk kehormatan akan sebuah adab. Banyak hal-hal yang dirasa tabu dan tidak pantas dilakukan oleh seorang anak kepada orangtuanya, salah satunya membangkang atau menyela sebuah pendapat. Hal inilah yang menjadikan milineal menjadi generasi yang manut dan penurut.
Tidak salah, ketika dewasa sifat itu terus menghantui dan jika dilanggar - rasa takut akan dosa menggeliat dalam ingatan. Namun perasaan ini kadang juga menyedihkan dan menjadi bumerang, karena tidak selamanya apa yang dikatakan orang tua dan segala hal yang diinginkannya terdapat sebuah kebaikan di dalamnya. Seperti halnya manusia, orang tua juga terkadang bisa salah tapi seringkali mereka tidak mau mengakuinya.
Generasi Yang Realistis

Perubahan yang seringkali datang tanpa aba-aba membuat generasi Milineal menjadi terlatih menghadapi segala tantangan. Mental yang sudah terbentuk inilah yang membuat gen tersebut menjadi sosok yang realistis dalam memandang kehidupan. Sosok yang penuh dengan pertimbangan ini, selalu memandang kehidupan dalam dua kacamata untung dan rugi.
Bagi sebagian generasi milineal, wabah Covid-19 menjadi bukti nyata bahwa hidup mesti dipandang sebagai sesuatu yang realistis. Bertahan pada situasi sandwich generation bukan perkara mudah tapi mereka bisa melaluinya dengan penuh kestabilan. Terlebih kondisi ekonomi Indonesia yang masih tidak menunjukkan adanya perbaikan menjadi alasan yang kuat bagi milineal untuk menunda pernikahan.
Belajar dari Pengalaman
Beberapa generasi milenial yang sudah menikah di usia muda menjadi saksi nyata bagaimana gambaran kehidupan setelah rumah tangga. Beberapa dari mereka yang sudah menikah memiliki satu atau dua orang anak. Banyak yang mereka ceritakan mengenai asam-pahit-manis pernikahan. Namun tak jarang justru banyak kepahitan yang mereka alami.
Masalahnya pun kompleks mulai dari, ketidakrukunan dengan mertua, ipar yang mencampuri urusan, pasangan yang tidak bertanggung jawab, KDRT, perselingkuhan, perilaku pasangan yan tidak sesuai ekspektasi hingga masalah perekonomian. Bahkan tak jarang beberapa dari mereka seringkali meminjam uang kepada yang single untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sementara pada beberapa rekan yang termasuk generasi z, pernikahan yang belum stabil secara emosional banyak menyebabkan masalah KDRT serta perselingkungan yang berujung pada status duda dan janda muda. Faktor di atas menjadi sebuah pertimbangan yang harus diselesaikan sebelum masuk dan mengarungi mahligai kehidupan rumah tangga.
Beberapa dari milineal lebih memilih menginvestasikan uangnya untuk pendidikan agar punya kehidupan karir yang lebih menjanjikan. Melakukan konsultasi kepada psikolog untuk menyembuhkan luka batin dari pengasuhan orang tuanya. Mengikuti berbagai kajian ilmu mengenai pernikahan dan parenting dengan harapan bisa meminimalisir permasalahan yang terjadi dalam pernikahan.
Mendambakan Hidup yang Stabil
Generasi yang super kokoh ini selalu mendambakan kehidupan yang stabil di masa depan. Kestabilan pun tidak hanya di ukur dari segi keuangan tapi fisik, mental hingga kesiapan. Menurut pengamatan penulis beberapa pernikahan bisa hancur hanya karena sebetulnya belum benar-benar terdapat kesiapan dalam individu yang bersangkutan.
Banyak pernikahan yang dilandaskan pada tekanan sosial mengenai umur ideal untuk menikah. Pernikahan atas dasar permintaan orang tua yang haus akan validasi tetangganya. Pernikahan seakan-akan menjadi ajang perlombaan sebagai penentu kesuksesan seseorang.
Padahal menikah tanpa kesiapan itu seperti berperang di medan perang tanpa senjata. Tentu bisa saja mati atau jika mampu bertahan pun akan banyak luka yang dialami. Fenomena ini seperti mengulang sejarah, kita sebagai orang tua yang belum siap dengan kestabilan mental kemungkinan besar dapat menurunkan luka yang sama kepada anak.
Kondisi ini menjadi rantai luka generasi yang terus diturunkan tanpa adanya kesadaran untuk memutus. Tentu bukan berarti penulis melarang untuk menikah dengan cara menakut-nakuti tapi adanya baiknya memang dipertimbangkan secara matang. Menikah adalah sebuah ibadah terpanjang seorang manusia, karena dipastikan banyak ujiannya maka setidaknya kita bisa bersiap lebih awal.
Karier, Mimpi dan Pemutus Rantai Keluarga
Banyak generasi milineal era tahun 90-an yang masih fokus mengembangkan karirnya, baik sebagai seorang karyawan ataupun belajar menjadi pengusaha. Bagi mereka karir menjadi bentuk aktualisasi dari kestabilan khususnya bagi perempuan. Berawal dari kesadaran akan pendidikan lalu terejawantahkan menjadi bentuk tindakan melalui karir.
Generasi perempuan milineal sadar bahwa semua keberhasilan berawal dari seorang perempuan yang memiliki kestabilan emosi, wawasan yang luas dan merasa cukup dengan dirinya sendiri.
Begitu banyak mimpi dan kenyaman yang baru generasi milenial rasakan dan nikmati di usia 30 tahun ke atas. Sesederhana makan fried chicken satu potong penuh atau makan ayam tanpa nasi. Berada di situasi keluarga dengan banyak saudara, tentu mengharuskan milineal berbagi dengan saudaranya.
Baca Juga: Sudah Kirim Artikel ke Ayobandung.id, tapi Belum Terbit? Pastikan 'Send to REVIEW'
Menunda bermain di masa muda untuk membantu perekonomian keluarga. Struggle mengejar pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik. Banyak inner child yang baru bisa mereka penuhi di usia matang.
Pengalaman hidup yang tidak begitu menyenangkan dari kecil hingga beranjak dewasa, membuat mereka tidak mau melanjutkan budaya itu kepada generasi selanjutnya. Mereka memutuskan untuk menjadi generasi yang memutus kebiasaan buruk yang dilakukan kedua orang tuanya. Mereka memilih untuk sadar dan waras ketika memutuskan masuk ke jenjang pernikahan. (*)