AYOBANDUNG.ID - Peningkatan aktivitas Gunung Tangkuban Parahu pada awal Juni mencuri perhatian publik. Ingatan masyarakat kembali ke 2019, saat terjadi ledakan erupsi yang tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat bahwa sejak 1 Juni, gempa vulkanik jenis Low Frequency (LF) meningkat signifikan.
Pada 3 Juni tercatat 270 kali kejadian gempa LF, jauh lebih tinggi dibanding dua hari sebelumnya. Meskipun sehari setelahnya terjadi penurunan, aktivitas kegempaan tetap dinilai berada pada level yang perlu diwaspadai.
Kepala Badan Geologi, Muhammad Wafid, menjelaskan bahwa tren penurunan aktivitas gempa pada 4 dan 5 Juni bukan berarti situasi telah aman sepenuhnya. Status gunung memang masih berada pada Level I atau Normal, namun potensi erupsi freatik tetap nyata dan bisa terjadi kapan saja tanpa peringatan jelas.

Erupsi freatik adalah jenis letusan yang seringkali tidak diawali dengan tanda-tanda vulkanik mencolok seperti gempa besar. Inilah yang membuatnya sulit diprediksi.
Letusan ini terjadi akibat tekanan uap dari air tanah yang memanas karena interaksi dengan panas dari dalam bumi.
Menurut Kristiyanto, Penyelidik Bumi Ahli Utama di Badan Geologi, data deformasi menunjukkan adanya pola inflasi—yakni menggelembungnya tubuh gunung akibat tekanan dari bawah permukaan. Ini diamati melalui instrumen seperti EDM dan GNSS. Inflasi tersebut menjadi indikator bahwa akumulasi tekanan masih berlangsung.
Asap tipis hingga sedang juga terlihat keluar dari Kawah Ratu dan Kawah Ecoma. Aktivitas fumarola dan solfatara tetap dominan, menunjukkan sistem hidrotermal yang masih aktif di kedalaman. Meski pengukuran gas belum menunjukkan lonjakan signifikan, namun sifatnya fluktuatif dan memerlukan pengawasan ketat.
Pihak PVMBG juga terus membandingkan pola aktivitas saat ini dengan letusan freatik pada 2013 dan 2019. Dua peristiwa tersebut menjadi pelajaran penting bahwa letusan bisa saja terjadi tanpa didahului eskalasi gempa yang masif. Ini memperkuat alasan perlunya mitigasi dini yang menyentuh semua aspek.
Gambaran pola waktu letusan ini diperkuat oleh analisa seorang volkanolog dari ITB Dr. Mirzam Abdurrachman. Dia menyatakan gunung Tangkuban Perahu memiliki pola letusan sekitar setiap 10 tahun.

Berdasarkan catatan sejarah, letusan tercatat terjadi pada 1951, 1961, dan 1971. Namun, pola ini sempat berubah setelah 1971, di mana letusan yang seharusnya terjadi pada 1981 justru terjadi dua tahun lebih lambat, yaitu pada 1983. Setelah itu, pola nyaris kembali ke siklus dasawarsa, dengan letusan pada 1994 dan 2004.
Letusan besar terakhir terjadi pada 2004. Jika mengacu pada pola sebelumnya, seharusnya letusan kembali terjadi pada 2014. Namun, erupsi kecil yang terjadi pada 2013 kemungkinan telah meredam potensi letusan besar.
Aktivitas erupsi ringan terus berlanjut setiap tahun mulai 2015 hingga 2019.
Meski demikian, Mirzam menyampaikan kekhawatirannya karena akumulasi energi di dalam gunung bisa jadi belum sepenuhnya terlepas. Ia berharap rentetan erupsi kecil tersebut cukup untuk mengurangi tekanan dan mencegah letusan besar dalam waktu dekat.
Selain pola waktu letusan, kondisi geografis Tangkuban Parahu yang dipengaruhi oleh curah hujan tinggi juga menjadi faktor pemicu potensial. Air hujan yang meresap ke tubuh gunung, bila bersinggungan dengan panas magma, dapat menciptakan uap bertekanan tinggi—bahan bakar utama erupsi freatik.

Mitigasi Adalah Kunci
T. Bachtiar dari Masyarakat Geografi Nasional Indonesia menjelaskan bahwa tekanan uap yang tidak tersalurkan secara alami akan mencari jalan keluarnya sendiri, yang bisa berupa letusan mendadak. Karena itu, kesiapsiagaan harus melibatkan seluruh komponen—pemerintah, masyarakat, hingga sektor wisata.
Menurut Bachtiar, langkah paling mendesak adalah edukasi publik.
Masyarakat sekitar Tangkuban Parahu perlu mendapat penjelasan praktis mengenai apa yang harus dilakukan saat terjadi erupsi. Informasi harus disampaikan dalam bahasa yang mudah dimengerti, bukan sekadar jargon teknis.
Selain edukasi, pemerintah daerah harus mulai memetakan dan menyiapkan titik-titik evakuasi aman. Lokasi ini harus dilengkapi fasilitas dasar, mulai dari logistik, air bersih, hingga dukungan medis. Ini bukan soal membuang anggaran, tapi investasi jangka panjang dalam manajemen bencana.
Satu hal yang kerap terlupakan adalah aspek ekonomi masyarakat sekitar. Banyak warga menggantungkan hidup dari sektor wisata, pertanian, dan peternakan di kawasan kaki gunung. Jika terjadi erupsi, penutupan zona wisata dan pengungsian akan berdampak langsung pada pendapatan mereka.

Bachtiar mengusulkan pembangunan kandang komunal di sekitar lokasi evakuasi. Ini penting untuk menampung hewan ternak milik warga agar mereka tidak kembali ke zona berbahaya hanya demi memeriksa hewan peliharaan.
“Kita harus cegah aksi nekat yang bisa berujung fatal,” tegasnya.
Imbauan untuk tidak turun ke dasar kawah sudah dikeluarkan oleh otoritas. Aktivitas wisata di area tersebut harus dibatasi, dan pengelola wajib berkoordinasi dengan Pos Pengamatan Gunung Api di Desa Cikole. Risiko yang muncul dari ketidaktahuan bisa jauh lebih berbahaya dibanding erupsi itu sendiri.
Langkah mitigasi tidak bisa berhenti pada alat pemantau dan laporan teknis semata. Diperlukan sinergi lintas sektor dan pendekatan yang lebih inklusif agar upaya kesiapsiagaan terasa relevan dan dapat diakses semua lapisan masyarakat.
PVMBG dan Badan Geologi sendiri memastikan bahwa pengawasan akan terus dilakukan secara intensif. Namun, tanpa partisipasi aktif masyarakat dan kesiapan daerah, sistem peringatan dini bisa tidak berarti apa-apa saat krisis benar-benar datang. (*)