AYOBANDUNG.ID - Suara letusan yang memecah keheningan malam di Kecamatan Galang itu bukanlah suara petani yang menembak hama, melainkan akhir dari kisah seorang dukun yang menjadikan mimpi sebagai alasan pembunuhan berantai. Dengan 42 korban yang terkubur di balik rimbun tebu, Ahmad Suradji menutup catatan kriminalnya dengan cara yang sama dramatisnya seperti hidup yang ia jalani: sunyi, gelap, dan penuh teka-teki yang tak pernah benar-benar terjawab.
Sekitar pukul sepuluh malam, suara letusan pecah seperti petasan akhir musim panen, hanya saja kali ini tak ada anak kecil yang bersorak. Di balik pepohonan, dua belas anggota Brimob berdiri tegang bersama senapan mereka. Tiga di antara senjata itu diam-diam berisi peluru sungguhan, dan tak satu pun dari para penembaknya tahu senjata siapa yang membawa takdir.
Begitu dentuman itu selesai menggema, tubuh seorang pria yang matanya ditutup dan tangannya terikat pada pohon ambruk perlahan. Begitulah berakhir hidup Ahmad Suradji, tokoh gelap yang populer dengan nama Dukun AS, sekaligus pembunuh berantai dengan rekor korban terbanyak dalam sejarah kriminal Indonesia.
Baca Juga: Hikayat Kasus Pembunuhan Marsinah, Pahlawan Buruh yang Kini Diakui Istana
Kisah Dukun AS bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah dongeng kegelapan yang dipahat dalam-dalam di benak publik, terutama warga Sumatera Utara. Namanya mencuat sejak pengakuannya pada 1997 mengguncang satu negeri. Ia mengaku telah menghabisi 42 perempuan dalam kurun waktu sebelas tahun. Angka itu melampaui catatan Robot Gedek atau Ryan Jombang, membuatnya berdiri sendirian dalam deretan pembunuh berantai paling produktif yang pernah dicatat Indonesia.
Lahir pada 10 Januari 1949 dengan nama Nasib, pria ini tumbuh dalam sebuah keluarga yang tak jauh dari dunia mistis. Ayahnya seorang dukun, dan profesi itu agaknya menghampiri sang anak seperti bekalan takdir. Sayangnya, takdir itu datang tanpa bimbingan langsung. Ayahnya meninggal saat ia baru tujuh bulan. Nasib kecil tumbuh normal seperti anak desa lain: bermain di ladang, berkejaran dengan teman, dan sesekali membuat ulah.
Tetangganya menjulukinya Nasib Kelewang setelah ia selamat dari kecemplung sumur ketika kecil, sebuah peristiwa yang baginya mungkin terasa biasa tapi bagi orang kampung sudah cukup untuk menganggapnya berbakat aneh.
Saat dewasa, Nasib tak hanya mengekspor keanehan itu, tetapi juga mulai menyimpan watak gelap yang sulit ditebak. Di usia 19 tahun, ia terseret ke penjara untuk urusan yang barangkali dianggap remeh oleh sebagian warga desa: pencurian dan kekerasan. Usai keluar, ia kembali berbuat ulah dengan mencuri ternak warga. Sama seperti sebelumnya, pintu sel kembali menutup untuknya. Tak ada yang menyangka bahwa pemuda lulusan sekolah dasar yang tampak biasa ini perlahan membentuk bayangan besar yang kelak menebarkan ngeri bagi semua orang.
Titik perubahan hidupnya terjadi pada malam tertentu di tahun 1986. Menurut penuturannya, ia bermimpi bertemu ayahnya. Sang ayah datang membawa warisan yang tak berupa benda. Sebuah bisikan gaib, demikian klaimnya, yang menyuruhnya membunuh 70 perempuan agar memperoleh kesaktian. Bila dunia mimpi itu dianggap semacam panggilan, maka panggilan tersebut segera diikuti tanpa ragu.
Baca Juga: Hikayat Sumanto, Kanibal Tobat yang Tertidur Lelap dalam Siaran Televisi
Ia mulai mempercantik identitasnya. Ia menjadi Dukun AS, sosok yang menawarkan bantuan spiritual pada siapa pun yang datang dengan harapan kekayaan, kecantikan, dan keberuntungan. Dunia perdukunan menjadi kedok rapi bagi obsesi kelam yang sudah mengambil alih hati dan pikirannya.
Korban pertamanya adalah seorang perempuan bernama Tukiyem pada Desember 1986. Ia datang dengan impian sederhana yang sering menemani banyak perempuan di desa lain: hidup lebih baik. Tetapi di tangan Dukun AS, mimpi itu berubah menjadi mimpi buruk. Modus Suradji nyaris sama untuk setiap korban.
Ritual dimulai dengan air putih yang sudah diludahi. Setelah beberapa sesi, ia meminta korban datang ke ladang pada malam hari. Di antara batang tebu yang bergoyang pelan ditiup angin, kejahatan itu berlangsung senyap seperti liturgi rahasia.
Ia membawa karung, cangkul, dan tali. Korban diminta memegang senter untuk menerangi tanah. Lubang satu meter digali, cukup untuk menanam tubuh manusia hingga pinggang. Korban kemudian disuruh melepas pakaiannya dan membenamkan tubuhnya dalam tanah. Ketika suara jangkrik berada di puncak konser malam, Suradji menutup mulut dan hidung korban dengan tangan kiri, dan tangan kanannya menekan leher. Korban tak bisa bergerak, setengah tubuhnya telah dikubur seperti tanaman yang gagal tumbuh.
Setelah korban tewas, Suradji melakukan ritual yang membuat siapa pun yang mendengarnya ngeri berkepanjangan. Tubuh korban kemudian dikeluarkan, dilucuti pakaiannya, lalu dikubur kembali dengan kepala menghadap rumah sang dukun. Pagi harinya, ia berjalan-jalan seperti warga biasa, seolah malam tadi hanya tidur lebih nyenyak dari biasanya.
Desa Sei Semayang menjadi panggung kelam bagi 42 perempuan berusia antara 11 hingga 30 tahun yang menjadi korban berikutnya. Nama-nama mereka kini tinggal dalam catatan forensik, dimulai dari Yusniar pada 1987, lalu Tomblok, Rusmina, Diduk, Rusmiani, dan puluhan lainnya. Selama sebelas tahun, masyarakat tak curiga sedikit pun. Ritual pembunuhan dilakukan di ladang tebu yang kemudian dikenal sebagai kuburan massal yang tak pernah diinginkan siapa pun.
Baca Juga: Hikayat Dukun Digoeng Bantai Warga Cililin, Gegerkan Wangsa Kolonial di Bandung

Terkuaknya Kuburan Tebu
Semua kebusukan itu akhirnya terungkap pada 27 April 1997. Ladang tebu desa itu, yang sebelumnya dianggap lokasi paling aman untuk sekadar mengobrol sambil memetik pucuk muda, mendadak menjadi tempat yang menakutkan. Warga menemukan mayat perempuan tanpa busana. Korban itu adalah Sri Kemala Dewi, seorang gadis 22 tahun yang hilang tiga hari sebelumnya. Seorang warga mengaku pernah mengantar Dewi ke rumah Dukun AS, dan informasi kecil itu menjadi potongan kunci yang memecahkan misteri panjang.
Polisi bergerak cepat. Di rumah Suradji, petugas menemukan perhiasan, pakaian perempuan, dan barang-barang milik korban. Tak perlu waktu lama sebelum Suradji dan tiga istrinya diringkus. Ketiga istrinya adalah kakak beradik: Tumini, Tuminah, dan Ngatiyah, sebuah susunan keluarga yang mungkin lebih cocok dijadikan sinetron televisi daripada fakta lapangan.
Dalam pemeriksaan, Suradji awalnya mengaku membunuh 16 perempuan. Tetapi angka itu terus bertambah seperti hitungan kalender kotor yang belum dibersihkan. Ketika polisi menemukan 42 kerangka manusia di ladang tebu, tak ada lagi penyangkalan yang tersisa.
Baca Juga: Hikayat Ponari, Dukun Cilik Batu Petir Pembelah Logika Orang Dewasa
Persidangan Dukun AS dimulai 11 Desember 1997. Dokumen dakwaan setebal ratusan halaman dibacakan di ruang sidang yang penuh sesak. Pada 24 April 1998, ia dijatuhi hukuman mati. Bukannya sedih, ia tampak tenang, hampir seperti orang yang baru saja menerima kabar bahwa panennya berhasil, bukan vonis hukuman paling berat. Upaya banding dan kasasi dilakukan, tetapi semuanya kandas. Hingga permohonan grasi terakhir pada 2007 pun ditolak.
Selama di penjara, Suradji mengaku bertobat dan mengikuti kegiatan rohani. Tetapi bagi para keluarga korban, pertobatan tak mengubah jumlah kuburan. Dan bagi pengadilan, pertobatan tak mengubah hukuman.
Kontroversi singkat sempat muncul ketika istrinya, Tumini, mengajukan grasi di awal 2008. LBH Medan menilai eksekusi tak boleh dilakukan sebelum ada keputusan presiden. Namun polemik itu tak menjadi panjang. Pada malam gelap di bulan Juli, hukuman mati dijalankan.
Di akhir hidupnya, Dukun AS tetap menjadi figur yang dijauhi masyarakat. Warga Sei Semayang menolak jasadnya dimakamkan di kuburan desa. Mereka takut kuburan itu menjadi tempat ziarah atau malah dianggap angker. Keluarga akhirnya menguburkannya di lokasi lain yang lebih tenang, jauh dari ladang tebu yang dulu menjadi panggung kejahatannya.
