Membongkar Jejak Danau Purba, Kisah yang Nyaris Terlupakan di Balik Kota Metropolitan Bandung

Gilang Fathu Romadhan
Ditulis oleh Gilang Fathu Romadhan diterbitkan Senin 02 Jun 2025, 09:19 WIB
Kawasan padat penduduk di Kota Bandung, Senin 5 Mei 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Kawasan padat penduduk di Kota Bandung, Senin 5 Mei 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

AYOBANDUNG.ID — Di bawah hamparan padatnya Kota Bandung yang saat ini ramai oleh hiruk pikuk manusia dan deru kendaraan, tersimpan rahasia yang nyaris terlupakan. Ribuan tahun lalu, dataran ini bukanlah daratan, melainkan sebuah danau raksasa—Danau Bandung Purba.

Jejak-jejaknya masih tertanam diam-diam di balik bukit, endapan tanah, dan legenda masyarakat Sunda. Namun pertanyaannya, bagaimana danau sebesar itu bisa menghilang begitu saja?

Di pelataran kedai di Jalan Garut, Kota Bandung, seorang pria berusia senja menjawab pertanyaan itu. Dia bukan sembarang orang. Dia adalah T Bachtiar, penulis buku Peta Danau Bandung Purba.

Bachtiar mengatakan, sekitar 560.000 tahun yang lalu, berdiri gunung Jayagiri di kawasan cekungan Bandung. Gunung kemudian meletus hingga menghancurkan tubuh gunung tersebut. Hingga akhirnya terciptalah kaldera Jayagiri. Letaknya berada di bagian tenggara Bandung

"Letusannya linear, linear itu gasnya besar sehingga letusannya tinggi. Nekannya kuat. Gasnya tinggi, asam. Kalau endapannya tebal banget sangat mungkin itu yang membentuk kaldera, salah satu indikatornya batu apung," kata dia dalam diskusi bertajuk 'Diskusi Peta Danau Purba', Minggu, 1 Juni 2025.

Ia menjelaskan, kaldera tercipta bukan karena gunung yang terlontar. Tetapi karena material yang ada di perut gunung keluar akibat tekanan gas yang tinggi.

Hal ini membuat kekosongan di tubuh gunung. Hingga akhirnya bagian atas gunung tidak kuat menahan dan ambruk. Kemudian membuat kawah yang sangat besar. Jika diameternya lebih dari 2 kilometer disebut kaldera.

Selang 300.000 tahun kemudian, lahirlah gunung Sunda dengan ketinggian 4.000 meter dari dasar ke puncaknya. Gunung ini yang bakal menjadi penyebab terciptanya Danau Bandung Purba. Letusan terakhirnya yang diperkirakan terjadi pada 105 ribu tahun lalu, sangat dahsyat, membuat gunung itu hancur.

Kaldera Sunda pun terbentuk di bagian barat laut. Keberadaannya sempat tidak dipercayai oleh banyak orang. Namun ada orang Belanda yang mencatat perjalanan ke Pulau Jawa. Dalam catatan yang dibukukan itu, disebutkan pemandangan di kaldera Sunda sangat indah dan asri.

"Jadi kita yakin bahwa itulah danau kaldera Sunda. Pada 1920-an diusulkan dibendung untuk keberlanjutan air agar kebutuhan warga Kota terpenuhi," ujarnya.

Material dari ledakan gunung kemudian menyumbat sungai Citarum. Sementara laharnya turun dan menyebar sampai ke pematang tengah—batuan inklusif yang berada di tengah cekungan Bandung—atau kawasan Cimahi Utara. Sungai Citarum disebutnya terbendung dalam waktu yang sangat singkat.

Wilayah Bandung Raya akhirnya terendam dan berubah menjadi danau raksasa. Membentang dari Cicalengka hingga Kabupaten Bandung Barat (KBB). Bachtiar membagi danau menjadi dua bagian, yakni Timur dan Barat. Bagian timur berada di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Sedangkan bagian barat berada di KBB. Waduk Saguling yang kini dianggap besar bahkan lebih kecil ukurannya dari danau tersebut.

Jejak letusan dahsyat Gunung Sunda masih bisa ditemukan hingga kini. Salah satunya ada di Curug Sigay, yang terletak di area belakang Kampus UPI. Selain itu, ada lava basal Pahoehoe di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura), Dago, serta Kapulaga yang berada di sekitar Ciater, Lembang.

Penulis buku 'Peta Danau Bandung Purba', T Bachtiar tengah menyampaikan hasil risetnya mengenai jejak danau tersebut dalam sebuah diskusi. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Penulis buku 'Peta Danau Bandung Purba', T Bachtiar tengah menyampaikan hasil risetnya mengenai jejak danau tersebut dalam sebuah diskusi. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Jebolnya Bendungan Danau Bandung Purba

Sementara itu, ia menuturkan, berdasarkan catatan Bujangga Manik, hulu sungai Citarum berada di Gunung Sembung. Air lalu mengalir ke daerah Majalaya kemudian ke Nanjung.

Nanjung merupakan daerah yang masuk pematang tengah. Lahar letusan berakhir di sana hingga mengurug sungai Citarum. Dari Nanjung aliran mengarah ke Utara atau ke kawasan Padalarang hingga ke hilir, melewati lembah Cimeta.

Seiring berjalannya waktu, air danau purba surut. Kuat diduga karena urugan lahar letusan gunung Sunda roboh. Bachtiar menduga, jebolnya 'dinding' yang menahan air danau Bandung Purba dikarenakan aktivitas gempa atau sesar. Aktivitas itu membuat dinding beton yang tercipta dari erupsi letusan gunung Sunda rontok.

"Pasti bukan hanya karena erosi, tapi juga peran gempa bumi. Jadi digoyang gempa, kalau lihat garis sesarnya di sana banyak yang sesuai arah sungai," ungkapnya.

Dia bilang, lokasi jebolnya dinding itu berada di sekitar Curug Jompong. Meski di satu sisi banyak yang meyakini lokasinya di Sanghyang Tikoro. Ia tetap mengamini prediksinya sebab bendungan yang jebol posisinya mesti sama dengan ketinggian danau. Sementara hasil risetnya menunjukkan bahwa letak Sanghyang Tikoro lebih rendah dari danau purba.

"Selisihnya 400 meter. Jadi kalau jebolnya di sini (Sanghyang Tikoro) nggak akan ada danau, itu logika matematikanya. Jadi ngga mungkin jebolnya di Sanghyang Tikoro," ucap dia.

Usai jebol, Bachtiar bilang air danau purba tidak semuanya menyusut. Lokasi danau berubah menjadi rawa. Sementara aliran sungai Citarum terbentuk seperti sekarang.

Menapaki Jejak Danau Bandung Purba Lewat Pendakian

Setelah Bachtiar menjadi pembicara, kini giliran seorang pendaki senior yang telah melakukan pendakian sekitar 70 gunung di Bandung Raya. Jika Bachtiar berbicara soal teori, pendaki itu mengajak peserta diskusi merasakan sensasi mendaki sambil belajar geologi.

"Mendaki gunung bukan hanya soal fisik, tapi juga tentang meresapi jejak-jejak bumi dan budaya yang terhampar di hadapan kita," ujar Gan-gan Djatnika, pemandu geowisata sekaligus pecinta alam.

Ucapan itu bukan sekadar retorika. Dalam kesempatan ini, Djatnika mengajak masyarakat untuk melihat gunung dan alam bukan semata tempat rekreasi, tetapi juga ruang belajar.

Kisah ini dimulai dari sebuah ajakan: "Yuk, kita naik gunung di Bandung." Bagi Djatnika, gunung adalah 'produk' nyata dari 'brosur' geologi yang dipaparkan para ahli. Ketika Tachtiar, peneliti geologi, menyusun peta dan informasi tentang Bandung Purba, Djatnika menjelajahinya satu per satu.

"Kalau Pak Bachtiar penyusunnya, saya ini ibarat sales-nya," canda Djatnika. Ia menampilkan peta lewat layar televisi, menunjuk langsung lokasi yang disebut di teori, dan mengajak peserta diskusi merasakan sendiri pengalaman berada di 'lembar sejarah' itu.

Salah satu ekspedisi berkesan terjadi saat pandemi COVID-19, ketika ia mendaki Gunung Papandayan bersama para senior yang memiliki keahlian dalam ilmu tentang alam.

"Gunungnya sepi, ilmunya penuh," ujarnya.

Dalam ekspedisi lainnya, ia mendaki salah satu bukit di Baleendah, kawasan yang menyimpan situs batuan kuno. Dari puncaknya, terlihat jelas Cekungan Bandung yang dahulu disebut Danau Bandung Purba.

Ia menunjuk gunung-gunung yang mengelilingi cekungan: Manglayang hingga Tangkuban Parahu. Semua itu kini menjadi bagian dari mozaik sejarah geologi yang ia narasikan kepada peserta diskusi.

Lewat kegiatan mendaki, Djatnika juga membongkar banyak mis konsepsi yang tersebar di masyarakat. Misalnya, banyak yang menyangka bahwa Cekungan Bandung dulunya adalah satu gunung raksasa. Padahal, batuan penyusunnya sangat beragam. Semua berbeda asal-usul, menandakan bahwa cekungan itu terbentuk dari banyak aktivitas geologi, bukan satu gunung yang meledak.

Ia juga meluruskan pemahaman tentang Sanghyang Tikoro, yang sering dikira sebagai titik pecahnya Danau Bandung Purba. "Itu hanya lubang masuk Sungai Citarum ke dalam tanah, bukan titik letusan," jelasnya.

Gunung Padakasih, yang berada di Pematang Tengah antara dua danau purba (Timur dan Barat), kini menjadi salah satu fokus konservasi Djatnika. Bekas tambang yang sempat mengancam keberadaannya kini mulai ditata kembali.

Lewat kampanye #AtapTertinggiCimahi, ia mengajak warga untuk melihat gunung bukan sebagai sumber tambang, tapi warisan alam dan sejarah yang layak dilindungi.

"Mungkin tidak bisa memperbaiki kerusakan lama, tapi jangan sampai rusaknya makin menjadi-jadi," tegasnya.

Dalam setiap perjalanan melalui foto, Djatnika tak hanya menunjukkan batu dan gunung. Ia membawa narasi. Di Curug Jompong, ia menjelaskan batu pothole—lubang alami yang terbentuk oleh putaran air dan batu.

Ketika foto menunjukkan keadaan di Gua Pawon, ia mengajak peserta melihat struktur gua dengan sudut pandang sejarah manusia purba. Bahkan di Lembah Tengkorak, ia menelusuri proses terbentuknya situ akibat longsoran material dari Gunung Pangparang.

"Gunung itu seperti lukisan," katanya. "Kalau tidak paham, kita cuma lihat gambar. Tapi kalau tahu ceritanya, kita bisa terkesima dan menghargainya."

Mendaki baginya bukan sekadar olahraga. Tapi cara untuk kembali menjadi anak-anak: penuh rasa ingin tahu, semangat bermain, dan terbuka menerima cerita dari alam. Ia percaya bahwa dengan pemahaman, rasa cinta terhadap alam akan tumbuh dan dari situlah pelestarian dimulai. (*)

News Update

Ayo Netizen 04 Jun 2025, 20:22 WIB

Membaca sambil Menikmati Makanan Khas Toko Buku Pelagia

Toko Buku Pelagia merupakan toko yang mengusung konsep kafe dan perpustakaan secara langsung.
Menu makanan Toko Pelagia, Kamis, 29 Mei 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 04 Jun 2025, 17:39 WIB

Dari Hobi ke Kesuksesan: Ria Nirwana dan Perjalanan Kreatifnya

Ria Nirwana memulai langkahnya tanpa pernah menyangka bahwa hobi kecilnya akan membawanya ke industri kreatif yang berkembang hingga ke luar negeri.
Ria Nirwana memulai langkahnya tanpa pernah menyangka bahwa hobi kecilnya akan membawanya ke industri kreatif yang berkembang hingga ke luar negeri. (Sumber: Instagram @rnirwana)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 17:20 WIB

Laki-Laki, Pancingan, dan Stigma Pengangguran

Jika kamu berada di skena pemancing, mungkin kamu merasakan betapa menyebalkan stigma pengangguran melekat terhadap diri mereka.
Ilustrasi memancing. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 04 Jun 2025, 16:03 WIB

Dari Piyama Rumahan ke Panggung Gaya: Kisah Sukses Ckl Looks dan Revolusi Fesyen Santai

Ckl Looks merek lokal yang membawa piyama dari kamar tidur ke panggung gaya, lahir di tengah pasar yang melihat piyama sebagai pakaian semata untuk bersantai di rumah.
Ckl Looks merek lokal yang membawa piyama dari kamar tidur ke panggung gaya. (Sumber: Ckl Looks)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 14:12 WIB

Tips Meningkatkan Kepercayaan Diri Saat Public Speaking

Artikel ini membahas 6 tips praktis mengatasi rasa gugup sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri saat public speaking.
ada lelucon yang menyebut public speaking menduduki tingkat pertama hal yang paling ditakuti oleh orang-orang bahkan melebihi ketakutan akan kematian. (Sumber: Pexels/Rica Naypa)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 11:12 WIB

Ibadah Haji, Momentum Tunduk dan Berserah Diri

Sejatinya Ibadah haji merupakan momentum yang sangat tepat untuk belajar.
Ilustrasi ibadah haji. (Sumber: Pexels/Mido Makasardi)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 09:07 WIB

Ibadah Kurban, antara Kesungguhan dan Batas Kemampuan

Menyambut Idul Adha dengan cinta dan pengorbanan. Sebuah ibadah kurban.
Sapi dan kambing yang akan dikurbankan (Sumber: ayobandung.id)
Ayo Netizen 03 Jun 2025, 19:20 WIB

Mirip Bentuk Tanda Baca Apostrof dan Petik Tunggal, Gunanya Ternyata Beda

Bicara tentang apostrof dan petik tunggal kali ini. Tanda baca yang mirip bentuknya, tapi beda fungsinya.
Meski bentuknya serupa, apostrof dan petik tunggal beda fungsinya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Biz 03 Jun 2025, 17:00 WIB

Delchi Patisserie: Ketika Sebuah Keresahan Berbuah Manis di Kota Kembang

Delchi Patisserie lebih dari sekadar patisserie, tempat ini adalah jawaban atas keresahan seorang perempuan bernama Pramesti Istiandari atau Ichi.
Mille Crepe sebagai primadona dari toko kue Delchi Patisserie. (Sumber: Instagram @delchi.id)
Ayo Netizen 03 Jun 2025, 15:33 WIB

Pembangunan untuk Siapa? Antara Kota Maju dan Desa yang Tertinggal

Pembangunan di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang berat sebelah dengan lebih banyak menyasar wilayah perkotaan dan melupakan desa.
Di balik gemerlap pembangunan kota, ada permasalahan serius yang tidak boleh diabaikan. (Sumber: Pexels/Tom Fisk)
Ayo Biz 03 Jun 2025, 12:23 WIB

Perjuangan Rara Mengangkat Kecantikan Lokal, Filosofi di Balik Amora Beauty Cosmetic

Di balik kemilau industri kecantikan, ada kisah perempuan yang berani melangkah, mendobrak batasan, dan menghadirkan sesuatu yang lebih dari sekadar kosmetik.
Produk Lipcream Jawa Series dari brand lokal Amora Beauty Cosmetic. (Sumber: Instagram @amora.beautycosmetic)
Ayo Netizen 03 Jun 2025, 11:27 WIB

Kehidupan Remaja yang Terluka, Review Film Cry Me A Sad River

Film China “Cry Me A Sad River” diadaptasi dari novel “Bei Shang Ni Liu Cheng He” karya Guo Jingming.
Film China yang berjudul Cry Me A Sad River. (Sumber: Youtube/Cry Me A Sad River)
Ayo Netizen 03 Jun 2025, 09:06 WIB

Berfilosofi Memangkas Ego, Belajar Menerima Kegagalan seperti PSG

Ada pelajaran sangat berharga dari prestasi sepak bola yang ditorehkan PSG.
Terkadang seperti PSG, dibutuhkan keberanian untuk mulai dari nol, menyusun ulang fondasi, dan percaya pada proses. (Sumber: Pexels/TBD Traveller)
Ayo Netizen 02 Jun 2025, 20:32 WIB

Menjadikan Bandung Kota Sepeda, Realita yang Jauh dari Gambaran

Bandung bisa berubah, jika warganya memilih untuk tidak terus-menerus memilih hidup dalam kebisingan suara mesin dan kepulan asap knalpot.
Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Djoko Subinarto)
Ayo Netizen 02 Jun 2025, 18:44 WIB

Mencoba Lezatnya Bandeng Cabut Duri 79 di Summarecon Bandung

Bandeng Cabut Duri Sedap 79 menyediakan berbagai macam olahan ikan Bandeng.
Outlet Bandeng cabut Duri Sinpasa Summarecon Bandung (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto: Syifa Fauziah)
Ayo Biz 02 Jun 2025, 17:57 WIB

Twinnietwoes, Abon Tongkol Pasti Deudeuieun dari Garut

Berawal dari resep nenek, abon tongkol kering buatan Twinnietwoes kini jadi favorit dan merambah toko oleh-oleh serta pasar digital.
Abon tongkol Twinnietwoes (Sumber: Instagram @abon.tongkol_)
Ayo Biz 02 Jun 2025, 16:33 WIB

Dari Mimpi ke Mangkuk: Perjalanan Hendriq Mewujudkan Bakso Djando Guntursari

Di balik semangkuk Bakso Djando Guntursari yang kaya rasa, ada perjalanan panjang seorang pria yang berusaha mewujudkan mimpinya.
Bakso Djando Guntursari salah satu destinasi kuliner favorit di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 02 Jun 2025, 15:06 WIB

Sekolah Rakyat Bisakah Jadi Solusi atau malah Tambal Sulam Kemiskinan?

Sekolah Rakyat merupakan program yang dicanangkan pemerintah untuk menjamin pendidikan kalangan ekonomi bawah dengan tujuan menuntaskan kemiskinan. Akankah menjadi angin segar?
Ilustrasi | Sekolah Rakyat dirancang sebagai sekolah berasrama dengan fasilitas lengkap, termasuk laboratorium, fasilitas olahraga, dan sistem pembelajaran berbasis teknologi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Magang Foto/Algifari Tohaga Abdillah)
Ayo Biz 02 Jun 2025, 12:31 WIB

Perjalanan Sang Desainer Linda Chandra: Tiga Dekade Lebih Menenun Mimpi dalam Sepasang Sepatu

Di balik langkah yang diambil, ada cerita yang melekat erat. Bagi Linda Chandra, cerita itu terukir dalam setiap pasang sepatu yang ia buat.
Di balik langkah yang diambil, ada cerita yang melekat erat. Bagi Linda Chandra, cerita itu terukir dalam setiap pasang sepatu yang ia buat. (Sumber: Linda Chandra)
Ayo Jelajah 02 Jun 2025, 11:21 WIB

Jejak Bandung Baheula: Dari Dusun Sunyi hingga Kota yang Heurin Ku Tangtung

Kisah transformasi Bandung dari permukiman sunyi abad ke-17 menjadi kota urban yang padat dan penuh dinamika pada abad ke-20.
Suasana Bandung tahun 1968. (Sumber: Flickr | Foto: Frank Stamford)