Menjadikan Bandung Kota Sepeda, Realita yang Jauh dari Gambaran

Djoko Subinarto
Ditulis oleh Djoko Subinarto diterbitkan Senin 02 Jun 2025, 20:32 WIB
Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Djoko Subinarto)

Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Djoko Subinarto)

HAMPIR saban pagi, jalanan di Bandung bak seorang gadis cantik yang bangun kesiangan -- riuh, semrawut, dan sering kali tergesa. Banyak jalan di Kota Bandung kiwari dijejali motor dan mobil yang berebut ruang. Aroma knalpot menggantikan harum embun pagi. Suka atau tidak, inilah paras Bandung yang terpaksa dipilih warganya saat ini. setiap hari.

Kemacetan di Bandung kini bukan lagi cerita luar biasa. Ia sudah seperti tempe dan tahu alias menu sehari-hari. Lantas, sampai kapan kita akan menganggap ini sebagai hal yang wajar?

Padahal, Bandung adalah kota yang secara geografis dan kultural sangat cocok menjadi kota sepeda, bukan sebagai kota sepeda motor dan mobil. Iklimnya yang relatif sejuk adalah anugerah yang jarang dimiliki kota besar lainnya di negeri ini.

Realita jauh dari gambaran

Mari kita bayangkan hal ini. Pagi hari di Jalan Braga, deretan sepeda meluncur pelan ditemani semilir angin dan aroma kopi yang ngahiliwir dari dalam sejumlah kafe. Tidak ada deru bunyi ngaberebet knalpot motor yang kita dengar, melainkan justru denting bel sepeda yang ramah. Senyum pengayuh bersahutan dengan sapaan pejalan kaki. Ini benar-benar sebuah potret kota yang lebih manusiawi.

Tapi, kiwari, realitanya jauh dari gambaran tersebut. Data Dinas Perhubungan Kota Bandung tahun 2023 menyebut jumlah kendaraan bermotor telah melampaui 2,2 juta unit, dan kemungkinan bakal terus bertambah. Maka, setiap tahun, jalan-jalan di Bandung bakal makin sesak. Di saat yang sama, kualitas udara dipastikan makin menurun.

Luas jalan di Kota Bandung bisa dibilang tidak bertambah secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Kita mengalami pertumbuhan kendaraan tanpa dibarengi pertumbuhan ruang. Kondisi ini seperti kita menjejalkan lebih banyak ikan dalam sebuah akuarium yang space-nya tak pernah diperbesar.

Solusinya sudah barang tentu bukan memperlebar atau membangun jalan baru, tapi bagaimana mengubah minda alias pola pikir dan juga perilaku. Memperlebar jalan maupun membangun jalan baru pada gilirannya malah akan membuat makin banyak kendaraan bermunculan.

Nah, salah satu pola pikir yang bisa kita ubah dalam konteks makin sesaknya Bandung oleh kendaraan bermotor saat ini adalah bagaimana kita memandang sepeda. Sepeda pada hakikatnya bukan sekadar alat olahraga, melainkan moda transportasi yang sehat, murah, dan ramah lingkungan. Sepeda bisa menjadi simbol peradaban urban yang lebih bersih dan beradab.

Di Amsterdam dan Kopenhagen sana, dua kota yang identik dengan budaya bersepeda, sepeda justru menjadi alat transportasi utama. Di Kopenhagen, misalnya, 62 persen  warga kota menggunakan sepeda untuk pergi bekerja atau sekolah (data Cycling Embassy of Denmark, 2023). Budaya ini tumbuh dari kesadaran kolektif, bukan sekadar kebijakan sepihak. Bayangkan sekarang jika 62 persen warga Bandung mau nyapedah. Pasti dampak positifnya luar biasa.

Baca Juga: Mencoba Lezatnya Bandeng Cabut Duri 79 di Summarecon Bandung

Apakah Bandung tidak bisa seperti Kopenhagen?  Bisa, kalau mau.  Yang diperlukan hanya keberanian untuk memulai dan menjaga konsistensi.

Di Bandung, saat ini sudah terdapat sejumlah jalur khusus sepeda. Juga sudah ada gerakan Bike to Work. Ini dapat menjadi modal awal berharga.

Tentu, masih banyak tantangan. Salah satunya, aspek keamanan. Banyak warga yang ragu untuk mulai bersepeda karena takut diserempet kendaraan lain. Rasa cemas itu menjadi tembok penghalang yang harus dipikirkan oleh para pembuat kebijakan kota.

Studi yang dilakukan oleh Teschke dan rekan-rekannya (2012) menunjukkan bahwa jalur sepeda yang dipisahkan secara fisik dari lalu lintas kendaraan bermotor dapat menurunkan risiko cedera hingga 90 persen dibandingkan jalur sepeda yang menyatu dengan jalan umum. Temuan ini menguatkan pentingnya infrastruktur bersepeda yang aman dan terpisah untuk mendukung mobilitas urban yang ramah lingkungan dan manusiawi.

Tantangan lainnya yaitu adalah menyangkut gaya hidup. Kita sudah terlalu nyaman naik sepeda motor. Kemana-mana ngaberengbeng tumpak motor, meski hanya untuk membeli pisang goreng di ujung gang, yang jaraknya cuma beberapa ratus meter. Gaya hidup praktis tapi tidak ramah lingkungan ini telah mengakar dalam keseharian kita. Termasuk para pelajar kita.

Padahal, bersepeda punya manfaat luar biasa bagi tubuh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa bersepeda selama 30 menit sehari dapat menurunkan risiko penyakit jantung hingga 50 persen dan diabetes hingga 40 persen. Belum lagi dampaknya bagi kesehatan mental yang sering luput dari perhatian.

Tak hanya membawa implikasi positif pada tubuh, sepeda juga menyelamatkan udara. Data dari AirVisual IQAir mencatat bahwa polusi udara Bandung pada jam sibuk bisa mencapai PM2.5 level 112 ”g/m³ -- dua kali lipat batas aman WHO. Angka ini menggambarkan kondisi darurat yang justru kerap kita abaikan.

Shelter Boseh di Dalem Kaum Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Muslim Yanuar)
Shelter Boseh di Dalem Kaum Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Muslim Yanuar)

Sudah barang tentu, andai lebih banyak yang mau mengayuh sepeda di Kota Bandung ini, angka tersebut bisa ditekan. Kita sama-sama ketahui, sepeda tidak menghasilkan emisi karbon. Bahkan, menurut European Cyclists’ Federation, bersepeda bisa mengurangi emisi hingga 21 juta ton CO₂ per tahun.

Kalau satu orang beralih ke sepeda untuk jarak tempuh 5 kilometer setiap hari, itu berarti penghematan sekitar 300 kg CO₂ per tahun. Bayangkan jika 100.000, atau lebih dari itu, warga Bandung melakukannya, setidaknya kita bisa menciptakan revolusi senyap demi udara yang layak hirup.

Dari sisi ekonomi, sepeda juga lebih bersahabat. Tidak perlu ongkos untuk beli bensin, bayar parkir, atau mungkin service bulanan. Uang yang dihemat bisa dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih penting.

Sesungguhnya, Bandung yang didera macet dan polusi bisa mulai "disembuhkan" bukan dengan proyek-proyek infrastruktur mahal, tapi dengan sepeda dan keberanian warganya untuk mengubah kebiasaan. Kota ini bisa menjadi pelopor jika berani memulai.

Mungkin Anda mamsih ingat lirik lagu Coldplay yang bertajuk Paradise. Salah satu bagian liriknya berbunyi “And so lying underneath those stormy skies, she said, oh I know the sun must set to rise.” Ya, kita harus melewati kebiasaan lama untuk menuju terang baru. Dan sepeda bisa menjadi cahaya pertama itu.

Langkah kecil seperti car-free day dan gerakan gowes mingguan patut diapresiasi. Namun, perlu dikembangkan jadi gerakan masif yang bukan sekadar event mingguan, melainkan strategi jangka panjang.

Sekolah bisa menjadi pionir. Berikan insentif bagi para siswa yang bersepeda ke sekolah. Bisa dalam bentuk nilai tambahan, atau sekadar apresiasi harian. Anak-anak akan tumbuh dengan kebiasaan ini dan membawanya ke masa depan. Kantor pemerintahan pun bisa memberi contoh. Bayangkan kalau setiap hari para ASN di Bandung mau bersepeda. Ini bener-bener keren.

Ramah manusia

Jan Gehl, arsitek dan perencana kota asal Denmark, menegaskan bahwa kota yang ramah pejalan kaki dan pesepeda adalah kota yang ramah manusia. Kota seperti itu menciptakan ruang untuk interaksi, bukan hanya untuk pergerakan. Dan Bandung bisa memulai dari trotoar dan jalur sepeda.

Dengan bersepeda, kita bukan hanya berpindah tempat. Kita juga membuka mata, menyapa tetangga, dan melihat kota dengan cara yang lebih perlahan, lebih manusiawi. Sebuah perjalanan yang mengembalikan rasa.

Tentu, ada yang sinis. Bandung itu penuh tanjakan. Benar sekali. Namun, teknologi sepeda pun berkembang. Ada sepeda lipat, sepeda listrik, semua bisa jadi pilihan.

Apakah semua warga Bandung harus nyapedah? Tentu,tidak. Tapi, semakin banyak yang bersepeda, semakin lapang jalan bagi yang harus berkendara dengan kendaraan bermotor. Semua saling mendukung. Inilah solidaritas dalam konteks mobilitas.

Pada akhirnya, menjadikan Bandung kota sepeda adalah tentang bagaimana menggeser paradigma dari kota konsumtif ke kota yang aktif dan sadar lingkungan. Dan dari mobilitas cepat ke mobilitas bijak.

Baca Juga: Nasib Buruh Perempuan di Tengah Ekosistem Kerja yang Segregatif

Bandung bisa berubah, jika warganya memilih untuk tidak terus-menerus memilih hidup dalam kebisingan suara mesin dan kepulan asap knalpot. Perubahan Bandung bisa dimulai dari satu kayuhan.

Kita hanya perlu satu hal untuk memulai: kemauan. Karena revolusi kadang tak datang lewat suara keras, tapi bisa dari derik pelan rantai sepeda yang bergerak menuju masa depan. Satu pedal demi satu harapan.

Kita bisa memulainya dari hari ini. Naik sepeda bukan demi gaya, tapi demi udara yang layak, tubuh yang sehat, dan kota yang lebih bersahabat untuk semua. Mari mengayuh bersama, demi Bandung yang lebih baik. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Djoko Subinarto
Penulis lepas, blogger
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 23 Okt 2025, 07:50 WIB

Kliwon dan Komposisi Instrumen Sorawatu

Komposisi kliwon disepakati sebagai proses mengheningkan cipta pada semesta.
 (Foto: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 21:06 WIB

Setahun Pendidikan Bermakna, Menanam Peradaban Lewat Tindakan Nyata

Menyoroti langkah Kemendikdasmen dalam membangun peradaban melalui kebijakan yang berdampak nyata bagi generasi muda.
Foto mengajar di SD Tewang Kadamba, Kalteng. (Foto: Eka)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 20:30 WIB

Membangun Wisata yang Tak Merusak tapi Menghidupkan Alam dan Budaya Lokal

Di tengah tekanan kerja dan digitalisasi, banyak orang mencari pelarian ke alam. Tapi bukan sekadar alam liar, mereka menginginkan pula kenyamanan, estetika, dan pengalaman.
Di tengah gempuran wisata urban dan digital, LGE tetap mengusung semangat pelestarian budaya lokal Sunda, mulai dari nama tempat, makanan tradisional, hingga permainan rakyat. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 20:10 WIB

Enam Akar Asal-usul Agama

Jauh sebelum berdiri gereja, kuil, atau masjid, manusia telah lebih dulu menatap langit, gunung, petir, dan kematian dengan perasaan yang campur aduk.
The Histomap of Religion: The Story of Man’s Search for Spiritual Unity (John B. Sparks, 1952) (Sumber: UsefulCharts, https://www.youtube.com/watch?v=5EBVuToAaFI) | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 19:17 WIB

Gastrokolonialisme: Pelajaran Pangan dari Hawaii untuk Indonesia

Tanpa kita sadari justru kita masih dijajah secara halus lewat orientasi pangan lokal yang semakin tergantikan dengan kampanye makanan olahan
Mengutip dari Sebumi, sebab pada akhirnya  perjuangan melawan kelaparan bukan sekedar mengisi perut, melainkan mengembalikan martabak di meja makan kita sendiri (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 18:44 WIB

Pasar Syariah Belum Kompetitif? Begini Tantangan dan Solusi Investasi Islam di Indonesia

Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, potensi pengembangan instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dinilai sangat besar.
Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, potensi pengembangan instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dinilai sangat besar. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 17:04 WIB

Review Anime 'Chainsaw Man The Movie: Reze Arc', Romantisme dan Aksi dalam Visual Memukau

Film animasi produksi studio MAPPA yaitu "Chainsaw Man The Movie: Reze Arc" mengguncang layar lebar dengan cerita dan visual yang bagus.
Poster film Chainsaw Man The Movie: Reze Arc (Sumber: imdb.com)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 16:31 WIB

Gowes Bukan Gaya-gayaan: Sepeda Bisa Jadi Solusi Urban Sustainability di Bandung

Tren bersepeda yang semula dianggap gaya-gayaan kini mulai menunjukkan potensi sebagai solusi urban sustainability yang nyata.
Tren bersepeda yang semula dianggap gaya-gayaan kini mulai menunjukkan potensi sebagai solusi urban sustainability yang nyata. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 15:31 WIB

Bandung dan Paradoks Kota Hijau: Potensi Besar yang Belum Tergarap

Bandung, kota kreatif dengan sejuta potensi, kini berhadapan dengan paradoks hijau.
Bandung, kota kreatif dengan sejuta potensi, kini berhadapan dengan paradoks hijau. (Sumber: Unsplash/Ikhsan Assidiqie)
Beranda 22 Okt 2025, 15:10 WIB

Insinerator Digencarkan, Tapi Bukan Solusi Tuntas Atasi Krisis Sampah di Kota Bandung

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, pun mengakui bahwa penggunaan insinerator tak bisa serampangan.
Salah satu insinerator di tempat pembuangan sampah di Kota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)
Ayo Jelajah 22 Okt 2025, 13:38 WIB

Saat Hacker Bjorka Bikin Polisi Kelimpungan Tiga Kali

Bjorka bikin polisi kelimpungan tiga kali. Dari Cirebon sampai Minahasa, negara sibuk memburu bayangan di layar komputer.
Ilustrasi hacker Bjorka.
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 12:48 WIB

Film Rangga & Cinta: Mengenang Kembali Kisah Romansa Masa Remaja

Film Rangga & Cinta dikemas dengan nuansa awal 2000-an yang autentik.
 Salah satu adegan film Rangga & Cinta (Sumber: X/@habisnontonfilm)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 11:51 WIB

Mengokohkan Sistem Manajemen Kinerja: Pilar Penggerak Profesionalitas ASN

Penguatan sistem manajemen kinerja ASN bukan sekadar urusan teknis, tetapi langkah strategis membangun birokrasi berdampak.
Aparatur Negeri Sipil (ASN). (Sumber: Pemkot Magelang)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 10:10 WIB

Menakar Ulang Feodalisme Pesantren

Esai ini ditulis dalam rangka memperingati hari santri.
Ilustrasi santri yang sedang belajar di pesantren. (Sumber: Pexels/Mufid Majnun)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 09:12 WIB

Selusin 'Fun Fact' buat Kita yang Sering Salah Kaprah Menyama-nyamakan Setiap Agama

Masalahnya, cara pandang itu sering banget dipakai buat bikin dunia agama terlihat rapi dan gampang dipahami.
Buku Pengantar tentang Agama-Agama (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 05:21 WIB

Khalifah di Era Konsumerisme: Menemukan Keseimbangan dengan Menjaga Lingkungan

Modernitas telah membawa manusia hidup dalam era konsumerisme.
Tugas kita hari ini adalah menanam benih peradaban bumi yang hijau. Sekecil apapun itu karena menjaga bumi adalah bagian dari ibadah seorang Hamba kepada Pencipta-Nya. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 20:51 WIB

Menjaga Etika Jurnalistik

Trans7 telah mempertontonkan ketidaktahuannya akan sebuah tradisi yang sudah turun temurun dilakukan tanpa ada yang protes. 
media harus bekerja keras lagi mencari strategi untuk mendapat respons positif dari masyarakat. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 21 Okt 2025, 20:12 WIB

Angkat Tema ‘Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital”, AMSI Gelar Indonesia Digital Conference (IDC) 2025

IDC mengangkat tema “Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital”, yang menyoroti pentingnya kedaulatan dan kemandirian industri media dalam menghadapi gelombang transformasi digital berbasis AI.
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) kembali menyelenggarakan ajang tahunan Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 di The Hub Epicentrum, Jakarta Selatan. (Sumber: AMSI)
Ayo Biz 21 Okt 2025, 18:39 WIB

Industri Pariwisata Jawa Barat, Lokomotif Ekonomi yang Menanti Lompatan Strategis

Pertumbuhan sektor pariwisata Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari kontribusi berbagai komponen industri, terutama perhotelan dan restoran.
Pertumbuhan sektor pariwisata Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari kontribusi berbagai komponen industri, terutama perhotelan dan restoran. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 17:19 WIB

Rebel Ridge dan Beratnya Mengungkap Penyimpangan Aparat Penegak Hukum

Rebel Ridge menyingkap sisi gelap aparat penegak hukum dan menggambarkan beratnya perjuangan rakyat sipil melawan ketidakadilan.
Poster Rebel Ridge (Sumber: Foto: Netflix Media Center/Poster Rebel Ridge (2024))