Fakta di lapangan menunjukkan adanya pergeseran hak akses atas sumber air tradisional dari masyarakat ke tangan perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK). Perusahaan-perusahaan ini semakin menggenjot eksploitasi air tanah secara masif.
Sering kali, mereka membenarkan tindakan ini dengan mengklaim bahwa air permukaan yang diakses masyarakat memiliki kualitas buruk dan tidak menyehatkan. Alasan utama pengambilan air dari lapisan yang lebih dalam (akuifer) adalah keyakinan bahwa kualitas air di sana jauh lebih unggul daripada air permukaan, meskipun faktor ekonomis juga memainkan peran yang lebih dalam.
Pemanfaatan air tanah besar-besaran ini kini menimbulkan dampak lingkungan yang nyaris tak terkendali, mencapai taraf darurat bencana dan kerusakan ekologis. Intensitas ekstraksi air tanah ini menjadi pemicu utama bencana ekologis. Di sepanjang pesisir Pulau Jawa, misalnya, praktik ini diidentifikasi sebagai penyebab utama penurunan muka tanah. Studi AMDAL di Subang bahkan mengonfirmasi bahwa eksploitasi air tanah memicu penurunan signifikan permukaan air tanah, yang menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat.
Ekstraksi air dari akuifer secara masif membawa risiko tinggi, seperti penurunan muka air tanah, kekeringan mata air di area sekitar, dan potensi amblesan tanah (subsidence). Di kawasan pesisir utara Jawa, terutama Semarang, Pekalalan, dan Demak, kecepatan penurunan muka tanah mencapai 10 hingga 20 cm per tahun, menjadikannya salah satu laju amblesan tanah tercepat di dunia.
Di Bandung, khususnya Kecamatan Gedebage, laju penurunan melebihi ambang batas yang dikaitkan dengan ekstraksi air tanah 5 cm dan 8 cm, menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur. Konsekuensi lingkungan yang eksponensial ini meningkatkan kerentanan terhadap bencana dan menjadi ancaman eksistensial bagi wilayah pesisir.
Eksploitasi sumber daya air oleh korporasi berujung pada distribusi air yang tidak merata dan ketidaksetaraan sosial. Ironisnya, warga yang tinggal di dekat pabrik AMDK justru kesulitan mendapatkan air bersih. Kekhawatiran masyarakat lokal muncul akibat penurunan akuifer yang disebabkan oleh ekstraksi industri, serta berbagai dampak non-air dari pabrik, seperti polusi, kebisingan, lalu lintas industri, dan limbah domestik.
Tak diragukan lagi, logika bisnis kapitalistik yang dominan menjadi pendukung utama praktik penetapan harga yang eksploitatif dan manipulasi kemasan produk, semua demi memaksimalkan keuntungan. Dalam industri AMDK, perwakilan industri mengakui bahwa perbedaan harga jual (misalnya antara botol kaca dan plastik) lebih banyak dipengaruhi oleh biaya kemasan dan logistik (kaca lebih mahal), bukan karena perbedaan kualitas air itu sendiri.
Kontradiksi ini menyingkap bahwa fokus kapitalisasi air terletak pada rantai pasokan dan kemasan, mengabaikan nilai ekologis air. Keuntungan dari ekstraksi air tanah jatuh ke tangan perusahaan, sementara masyarakat dan negara yang menanggung dampak lingkungan nyata yang ditimbulkannya.

Masalah mendasar dari kapitalisme air adalah regulasi yang lemah terkait pembatasan penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam sistem hukum yang berlaku saat ini. Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) No. 17 Tahun 2019 dikritik karena pada dasarnya mengulang kembali ketentuan UU No. 7 Tahun 2004, yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015. Pembatalan UU 7/2004 didasarkan pada argumen bahwa UU tersebut melanggar hak konstitusional masyarakat atas air. Kenyataan bahwa UU 17/2019 kembali membuka pintu bagi privatisasi bisnis air melalui frasa 'penggunaan Sumber Daya Air untuk bisnis', menunjukkan kegagalan sistem legislatif dan politik yang lebih mengedepankan kepentingan korporasi daripada hak dasar masyarakat.
Di sisi lain, DSDAN dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR dinilai tidak efektif dalam menghentikan kapitalisme air. Situasi ini diperburuk oleh kurangnya keterbukaan legislatif. UU 17/2019 disusun dengan cara yang tertutup dan aman, diratifikasi tanpa melibatkan masukan akademis yang memadai. Kesenjangan ini mencerminkan kegagalan kelembagaan dalam pengawasan teknis serta kurangnya transparansi dalam proses politik.
Konstruksi Islam menawarkan paradigma tata kelola sumber daya air yang berpusat pada prinsip keadilan sosial dan pelestarian ekologi, berfungsi sebagai kerangka solusi normatif. Dalam pandangan Islam, SDA adalah milik publik (Milkiyyah Āmmah) yang tidak boleh dimiliki individu atau korporasi. Hukum Islam secara spesifik melarang komersialisasi karunia Allah, terutama air, sebagaimana ditekankan oleh hadis yang melarang penjualan fadhl al-mā’ (kelebihan air). Eksploitasi akuifer dalam oleh korporasi AMDK yang menyebabkan dhoror (kerusakan ekologis) melanggar prinsip ini karena merampas hak dasar air milik masyarakat.
Pengelolaan SDA harus dilakukan oleh negara demi mencapai kemaslahatan (kebaikan dan manfaat) masyarakat luas. Konsep Istikhlāf menempatkan manusia sebagai mandataris Tuhan di bumi, yang bertanggung jawab penuh atas pengamanan dan sustainabilitas air. Negara wajib memimpin pengelolaan yang menjamin hak pemanfaatan (Haq al-Syurb) bagi semua makhluk hidup.
Kerusakan yang diakibatkan oleh kapitalisasi air, seperti penurunan muka tanah dan hilangnya mata air, termasuk dalam kategori dhoror (bahaya atau kerugian). Konsep ini memberikan landasan hukum Islam yang kuat (kaidah la dharara wa la dhirar) untuk mencabut izin atau melarang total kegiatan industri yang terbukti merusak keseimbangan alam dan membahayakan keselamatan publik.
Lebih lanjut, Konstruksi Islam menekankan bahwa bisnis harus mengutamakan kejujuran dalam transaksi dan tidak boleh menimbulkan kerugian. Manipulasi produk—seperti klaim keunggulan kualitas yang tidak sebanding dengan harga, di mana harga justru didominasi biaya kemasan—bertentangan dengan etika bisnis Islam. Kejujuran ini juga menuntut transparansi mengenai sumber daya yang digunakan dan dampak ekologis yang ditimbulkan. (*)
