PENDUDUK usia produktif Bandung adalah harapan sekaligus sumber masalah jika tidak dikelola dengan baik.
Kita sudah akrab dengan istilah bonus demografi. Istilah ini merujuk kepada kelompok usia produktif yang besar yang akan turut mendorong ekonomi bertumbuh. Namun, realitanya bisa tidak sesimpel itu.
Artinya, ada syarat-syarat yang mesti pula dipenuhi agar kelompok usia produktif yang besar itu benar-benar mampu mendorong ekonomi bertumbuh. Salah dua syarat itu adalah kualitas pekerjaan dan kecocokan keterampilan.
Di sinilah kemudian muncul istilah lain yang sedikit menakutkan, yakni mismatch skills. Apa itu?
Fakta di lapangan, banyak lulusan bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi ternyata tidak menemukan pekerjaan yang sesuai karena kompetensi yang diajarkan berbeda jauh dengan kebutuhan pasar. Hal ini tentu bisa menjadi masalah.
Bandung, dengan universitas dan politeknik berdiri berjajar, sesungguhnya punya stok talenta nan besar. Namun, stok ini acap kali terfragmentasi. Misalnya, ada yang jago teori tapi lemah dalam soal praktik, ada yang terampil namun tak punya akses ke jaringan industri.
Dalam konteks seperti itu, pelatihan vokasi bisa menjadi kunci solusi. Sayangnya, program vokasi di lapangan seringkali masih berorientasi pada pekerjaan tradisional, sementara permintaan pasar kerja kiwari bergeser cepat ke sektor digital dan layanan bernilai tambah.
Bandingkan kebutuhan industri perangkat lunak, data, dan kreatif digital yang butuh problem solving, desain interaksi, dan literasi data, dengan kurikulum pendidikan vokasi masih yang bertahan di keterampilan teknis heubeul. Nah, ketidaksinkronan inilah yang diistilahkan sebagai mismatch.
Kiwari, peluang ekonomi digital bermunculan. Peluang itu bisa dibilang bergemuruh, namun belum menggetarkan semua lapisan kota. Sekadar ilustrasi, startup, agensi kreatif, dan perusahaan teknologi mengerubuti daerah sekitar kampus. Toh tak semua lulusan kampus bisa masuk ke sektor itu.
Penyebabnya bisa beragam. Sebut sebagai misal, akses pengalaman kerja nyata yang terbatas, bahasa pemrograman yang diajarkan tak sesuai kebutuhan industri, sampai minda pendidikan yang masih mengedepankan nilai ujian atau ijazah ketimbang portofolio kerja.
Keunggulan unik

Bandung sejak baheula sudah punya keunggulan unik. Ekosistem kreatifnya kuat. Dari musik, film, desain produk, sampai fesyen, kota ini sudah lama menjadi laboratorium budaya. Itu adalah modal sosial yang sulit ditiru kota lain.
Dan modal sosial itu seharusnya dipakai untuk membangun talent pipeline digital. Jadi, bukan sekadar kursus-kursus singkat, melainkan jalur yang menggabungkan pembelajaran, mentorship, dan akses proyek nyata bersama para pelaku industri.
Contoh konkret, misalnya, program magang berbasis proyek kolaborasi antara politeknik, startup, dan pemerintah kota. Magang yang menghasilkan produk nyata -- bukan hanya laporan -- bakal memberi nilai tambah besar pada CV generasi muda Bandung.
Kebijakan publik tentu saja harus mengubah orientasi insentif. Selama dukungan terhadap pelatihan lebih pada kuantitas peserta daripada kualitas outcome, hasilnya bakal seperti hujan di musim kemarau, banyak tapi tidak menyejukkan.
Pemerintah Kota Bandung sendiri punya peluang sebagai fasilitator. Ruang kerja bersama (co-working), akses data lapangan, dan kemitraan industri dapat dipromosikan sebagai fasilitas publik. Ingat, infrastruktur fisik saja tidak cukup, tetapi juga butuh kurasi program yang tajam.
Model pembelajaran hybrid (online + praktik lapangan) bisa menjadi pilihan, lantaran jangkauannya luas sekaligus mampu mempertahankan kualitas. Teknologi pembelajaran menawarkan skalabilitas bila dikombinasikan dengan standar kompetensi yang jelas.
Sektor swasta juga tidak boleh leha-leha. Perusahaan yang merasa kekurangan talenta muda sebaiknya tidak cuma mengeluh, tapi juga membuka pintu kesempatan.
Caranya bisa sederhana tapi efektif. Misalnya, buat program magang atau apprenticeship supaya orang muda bisa belajar langsung di tempat kerja. Bagikan data anonim untuk latihan, sehingga mereka bisa mencoba menganalisis data nyata tanpa risiko melanggar privasi atau adakan hackathon terstruktur, yaitu lomba tim yang menantang peserta memecahkan masalah nyata dengan aturan dan bimbingan jelas, sehingga ide bagus bisa langsung diuji dan dipakai.
Perhatian khusus mesti diberikan pada kelompok rentan, yaitu perempuan muda, dari daerah pinggiran, dan lulusan SMK yang seringkali tersisih. Dengan demikian, bonus demografi bisa berubah menjadi aset kolektif, bukan keuntungan segelintir kelompok.
Soal data

Bicara soal data, Bandung perlu pula benchmark yang lebih baik, mencakup peta keterampilan regional, kebutuhan industri per sub-sektor, dan tingkat penempatan kerja lulusan. Tanpa data, intervensi apapun bakal kurang efektif. Ibarat orang menembak sasaran tapi matanya ditutup lakban.
Lalu soal budaya kerja juga perlu mendapat perhatian. Generasi muda Bandung harus diajak membangun learning-agility, yakni kemampuan belajar cepat dan menyesuaikan diri. Ini lebih penting daripada menghafal satu set keterampilan yang mungkin usang dalam lima tahun.
Kurikulum perguruan tinggi juga perlu revitalisasi. Mata kuliah interdisipliner, proyek lintas fakultas, dan mata kuliah berbasis industry-readiness perlu lebih ditekankan. Kolaborasi antar kampus di Bandung bisa menciptakan portofolio program yang saling melengkapi.
Hal lain yang tak kalah penting adalah wirausaha produktif. Artinya, tidak semua generasi muda Bandung harus jadi karyawan perusahaan. Banyak yang bisa dilakukan untuk membangun usaha mikro bernilai tambah lewat keterampilan digital. Misalnya di sektor desain, pemasaran digital, dan e-commerce.
Terkait pembiayaan, ekosistem pembiayaan mikro dan pembinaan bisnis lokal harus disinkronkan dengan pelatihan vokasi. Modal tanpa keterampilan mudah hilang. Adapun keterampilan tanpa akses modal cepat berhenti menjadi mimpi dan angan-angan.
Sudah barang tentu, setiap program pelatihan harus punya indikator outcome yang jelas. Contohnya, berapa persen peserta yang bekerja relevan setelah 6 bulan, berapa yang buka usaha sendiri, dan apakah gaji/penghasilan mereka meningkat signifikan.
Melihat potensi yang dimilikinya, Bandung berpeluang besar menjadi kota pelatihan talenta digital asalkan ada visi bersama, yang mencakup pendidikan yang responsif pasar, kemitraan publik-swasta-akademi, dan perlindungan sosial bagi generasi produktif. Tanpa visi itu, bonus demografi Bandung bakal berubah menjadi bencana demografi.
Tinggal pilih mau yang mana? (*)
