Beberapa tahun ini, warga Bandung mulai mengeluhkan betapa sulitnya terbang dari kota ini. Bandara Husein Sastranegara sepi, sementara Kertajati terasa jauh. Namun kini jarak itu mulai “dilipat” oleh Kereta Cepat Whoosh dan akses jalan tol. Cerita baru mobilitas Bandung pun dimulai.
Sejak 2023 Bandara Kertajati mulai melayani penerbangan reguler dan disasar menjadi gerbang besar yang menghubungkan Bandung Raya dengan dunia. Namun perjalanan tidak berhenti di langit, mobilitas di darat harus tertata dari bandara ke kota, dari stasiun ke destinasi.
Bagi wisatawan yang mendarat di Soekarno-Hatta, opsi ke Bandung bisa naik Whoosh (Halim-Tegalluar). Memang kurang dari 45 menit. Tetapi untuk mencapai stasiun Whoosh, mereka harus menembus kemacetan di Jakarta. Tiba di Tegalluar, keluhan lain muncul karena minimnya moda lanjutan untuk mencapai pusat kota dan kawasan wisata. Banyak yang akhirnya memilih turun di Padalarang, meski harus repot dan siap berjejalan di kereta feeder menuju Bandung. Akses makin mudah, tapi konektivitas belum tuntas.
Berita Kompas 18 November 2025 menunjukkan tren menarik. KA Parahyangan mencatat 728.949 penumpang sepanjang Januari–Oktober 2025, naik 41,75 persen dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya. KAI menyebut panorama jalur Jakarta-Bandung menjadi daya tarik kuat bagi pelancong. Fenomena “biar lama tapi asyik” seperti hidup kembali.
Sementara itu, wisatawan yang mendarat di Kertajati, membutuhkan waktu tempuh lebih dari tiga jam ke Bandung tergantung kondisi lalu lintas. Banyak yang akhirnya memilih tujuan lain daripada langsung menuju Bandung.
Padahal Bandung memiliki modal besar untuk memudahkan perpindahan moda. Jaringan tol Jakarta-Bandung-Majalengka-Cirebon, terminal Leuwipanjang, hingga gagasan bus listrik Bandung Raya. Namun semua itu ibarat alat musik tanpa dirigen, semua tersedia, tetapi belum berpadu.
Bandung tetap diminati, meski belum mudah di jangkau.
Membaca Angka Melihat Potensi

Data BPS Jawa Barat menunjukkan perjalanan wisatawan nusantara ke Bandung naik dari 13,74 juta perjalanan per Oktober 2024 menjadi 17,04 juta pada Oktober 2025. Namun wisatawan mancanegara yang masuk lewat Bandara Kertajati hanya 151 orang, jauh di bawah tahun sebelumnya. Salah satunya disebabkan akses transportasi belum terintegrasi.
Mobile Positioning Data (MPD) PORTAL JABARPROVGOID memperkuat tren ini. Pada Januari-September 2025 terdapat 17,76 juta perjalanan wisatawan nusantara ke Bandung, naik 24,77 persen dibanding tahun 2024 dan menjadi capaian tertinggi dalam lima tahun terakhir. Bandung menjadi tujuan utama kedua setelah Kabupaten Bogor, dengan pangsa 11,20 persen periode Januari-September 2025. Tingkat Hunian Kamar hotel pada September 2025 pun mencapai 50,90 persen, melampaui rata-rata provinsi dan nasional.
Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mencatat 6,5 juta orang hingga triwulan III 2025 dan diproyeksikan menembus 8,7 juta di akhir tahun. Kepala Disbudpar Kota Bandung, Adi Junjunan Mustafa, menegaskan bahwa daya tarik utama Bandung berasal dari kuliner, disusul belanja, mode, dan heritage. Destinasi populer seperti Bandros "Bandung Tour on Bus", Kawasan Kota Tua Bandung, Taman Lalu Lintas, Museum Geologi, Saung Angklung Udjo, Masjid Raya Al Jabbar, serta Kiara Artha Park terus menarik minat.
Sektor pariwisata Bandung pun mulai merata, tidak lagi terpusat di jantung kota, tetapi meluas ke pinggiran. Problematiknya, pelancong merasa terlalu banyak waktu habis di jalan, yang seharusnya di tempat jajan. Konektivitas menjadi kunci agar Bandung tak hanya “didatangi”, tapi benar-benar “dinikmati”.
Selain keterhubungan antar-kota, pengelolaan mobilitas dalam Kota bandung juga perlu diperkuat. Tanpa Transport Demand Management (TDM) yang tepat, pusat kota akan terus dipadati kendaraan pribadi. Akibatnya wisatawan tiba, lalu terjebak macet di detik terakhir.
Penataan parkir yang bisa berpotensi menambah PAD, pembatasan kendaraan di koridor sibuk, serta layanan angkutan last-mile yang terintegrasi, bisa menjadi alternatif.
Dengan mengusung program Bandung Triple Helix, penataan sistem transportasi semakin terencana, terarah, dan ilmiah. Memadukan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pengusaha.
Bayangkan wisatawan turun dari pesawat, naik kereta cepat ke Tegalluar, langsung berpindah ke bus listrik menuju Dago atau Lembang dalam satu tiket terintegrasi. Perjalanan menjadi pengalaman yang menyenangkan, juga meninggalkan kesan yang mendalam.
Konektivitas Bandung tak bisa dibangun sendirian. Kota ini harus bersinergi dengan wilayah lain agar mobilitas tidak berhenti di batas administratif. Interkonektivitas pembangunan tidak cukup hanya dengan menaruh “gula” di hinterland (daerah penyangga) sambil berharap terjadinya trickle-down effect. Bandung harus tumbuh bersama daerah sekitarnya. Dengan begitu, transportasi menjadi urusan bersama dan alat pemerataan antar wilayah.
Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bertemu Direktur Utama PT KAI, merumuskan empat inisiatif besar perkeretaapian. “Kereta Wisata Jakalalana” untuk menggerakkan ekonomi kawasan selatan-barat Jabar. “Gerbong Tani Mukti” untuk angkutan hasil pertanian dan peternakan ke Jakarta dengan tarif yang ramah. “Kereta Kilat Pajajaran” sebagai konektivitas cepat di wilayah tengah, dan “Kereta Listrik Padalarang–Cicalengka” untuk mendorong transportasi hijau.
Jika inisiatif besar itu terhubung dengan paket tur Bandung Raya, peluang ekonomi kreatif akan terbuka, bahkan mendorong pembentukan lembaga inkubator bisnis baru. Petani, pengrajin, pelaku wisata, hingga pelajar dapat bergerak lebih mudah. Bandung tidak lagi sekadar tujuan, melainkan titik temu dalam jaringan besar Jawa Barat.
Kota ini punya peluang besar bukan hanya sebagai kota wisata, tapi sebagai simpul pergerakan, ekonomi, dan kreativitas yang menyambungkan seluruh Jawa Barat. Bandung tidak perlu terlalu risau dengan langitnya (bandara Husein) yang masih tertutup, perkuat pijakan mulai dari rel, jalan aspal, halte, dan stasiun. Kota yang hebat bukan hanya yang bisa didatangi dengan cepat, tetapi yang bisa dinikmati tanpa tergesa-gesa. (*)
