Pernah gak kamu merasa timeline media sosiamul itu-itu saja? Konten yang muncul seringnya sejalan dengan pandangan, hobi, atau pendapat yang kamu suka. Seolah-olah media baru ini tahu betul apa isi kepala kita.
Misalnya, Ketika kamu suka musik indie, hampir semua yang muncul di feed adalah lagu-lagu indie, atau Ketika kamu sering diskusi politik dari satu sudut pandang, feed kamu penuh dengan opini yang serupa.
Ini bukan suatu kebetulan, kamu sedang berada dalam filter bubble, istilah yang diperkenalkan oleh Eli Pariser (2011) dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You.
Ia menjelaskan bahwa algoritma digital menciptakan semacam gelembung informasi pribadi yang hanya menampilkan konten yang selaras dengan preferensi kita. Algoritma ini bekerja berdasarkan aktivitas digital: apa yang kita klik, sukai, cari, atau bagikan.
Seperti yang terjadi belakangan ini, nama Kang Dedi Mulyadi sering muncul di timeline media sosial warga Bandung, terutama terkait dengan gaya kepemimpinannya yang penuh kontroversi dan kebijakannya yang kerap jadi bahan perbincangan.
Kalau kamu perhatikan, isi feed yang kamu lihat biasanya sangat tergantung pada siapa yang kamu ikuti dan bagaimana interaksimu sebelumnya. Misalnya, jika kamu sering menyukai atau membagikan postingan pendukung Kang Dedi, maka algoritma media sosial akan terus menampilkan konten serupa, baik itu komentar positif, video orasi, atau meme yang mendukungnya.
Sebaliknya, bagi yang tidak setuju atau mengkritik, feed mereka lebih dipenuhi oleh kritik dan diskusi tentang kekurangan Kang Dedi. Fenomena ini adalah contoh nyata dari filter bubble
Bagaimana Filter Bubble terbentuk? Ia muncul sebagai hasil dari algoritmic curation (Napoli, 2011), yaitu proses ketika algoritma menyaring dan menyajikan informasi berdasarkan jejak digital kita.
Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube tidak menunjukkan semua informasi yang tersedia, tapi hanya potongan dunia yang dianggap “paling relevan” dengan kita. Semakin sering kamu menonton video politik konservatif, misalnya, maka kamu akan makin jarang melihat pandangan progresif, begitupun sebaliknya.
Kamu sadar gak? Saat ini kita sedang dikurung oleh preferensi kita sendiri. Kita merasa mendapatkan informasi yang “beragam” karena tampilannya berbeda-beda, padahal substansinya sangat “seragam”, menguatkan satu jenis narasi yang sama terus-menerus.
Kenapa Ini Terasa Nyaman? Secara psikologis, filter bubble sejalan dengan konsep confirmation bias (Nickerson, 1998), kecenderungan otak manusia untuk mencari dan lebih percaya pada informasi yang mendukung keyakinannya sendiri. Ketika kita hanya terpapar hal-hal yang kita setujui, otak merasa aman dan validasi sosial pun meningkat. Ini membuat kita lebih betah berlama-lama di platform, yang tentunya menguntungkan pihak pengelola media sosial dari sisi ekonomi.
Fenomena ini juga berhubungan dengan echo chamber, yaitu kondisi ketika kita hanya mendengar suara-suara yang serupa dengan suara kita sendiri (Sunstein, 2001). Akibatnya, kita tidak lagi melihat perbedaan sebagai sesuatu yang wajar, melainkan sebagai ancaman. Lama-lama, keberagaman pandangan dianggap sebagai hal yang "salah" atau bahkan "berbahaya".
Di balik kenyamanan yang ditawarkan filter bubble, ada sejumlah risiko serius yang kerap luput dari kesadaran kita. Salah satu dampak paling nyata yaitu terjadinya polarisasi sosial. Ketika seseorang hanya terpapar pada pandangan yang selaras dengannya, kemampuan untuk memahami orang yang berpikir berbeda perlahan memudar.
Studi dari Bail dan koleganya (2018) menunjukkan bahwa paparan terhadap opini yang berlawanan di media sosial, alih-alih memperluas perspektif, justru dapat memperkuat posisi ideologis seseorang. Ini terjadi karena perbedaan itu tidak dihadirkan dalam ruang dialog yang sehat, melainkan sebagai potongan-potongan yang mudah disalahpahami atau bahkan dipicu sebagai ancaman.

Selain itu, gelembung informasi ini juga mengaburkan batas antara fakta dan opini. Ketika sebuah informasi diulang terus-menerus dari satu sudut pandang saja, otak kita bisa tertipu dan menganggapnya sebagai kebenaran, meskipun belum tentu demikian.
Fenomena ini dikenal sebagai illusory truth effect, seperti yang dijelaskan oleh Fazio et al. (2015), sebuah kecenderungan kognitif di mana informasi yang salah bisa terasa benar hanya karena sering kita dengar. Akibatnya, kita mulai kehilangan daya kritis untuk menimbang, mempertanyakan, dan membandingkan informasi yang datang.
Kondisi ini menjadikan kita lebih rentan terhadap disinformasi dan hoaks. Hidup dalam ruang informasi yang homogen membuat kita kekurangan referensi pembanding. Seperti yang ditemukan oleh Cinelli dan timnya (2021), ketidakberagaman sumber informasi mempermudah penyebaran berita palsu karena tidak ada suara yang bisa membantah atau mengoreksi secara seimbang.
Dalam situasi ini, media sosial bukan lagi menjadi jembatan pengetahuan, melainkan cermin bias yang terus memantulkan pandangan kita sendiri, tanpa perlawanan dari kenyataan yang lebih kompleks.
Filter bubble juga terlihat jelas saat pandemi COVID-19. Di banyak negara, termasuk Indonesia, algoritma memperkuat bias dan ketakutan. Banyak orang menolak vaksin bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka hanya terpapar informasi yang memperkuat rasa takut dan ketidakpercayaan mereka terhadap sains dan pemerintah (Tufekci, 2015). Ini terjadi karena mereka hidup dalam filter bubble yang sangat homogen.
Lalu, bagaimana cara keluar dari jerat filter bubble? Tentu tidak mudah, apalagi ketika algoritma sudah lama membentuk pola konsumsi informasi kita tanpa disadari. Tapi bukan berarti tidak mungkin, langkah pertama bisa dimulai dengan sederhana: cobalah mengikuti akun-akun yang membawa pandangan berbeda dari yang biasa kamu lihat.
Tujuannya bukan untuk mengubah keyakinan atau pendirianmu, melainkan untuk memperluas sudut pandang. Dengan melihat dari berbagai sisi, kita bisa lebih memahami bahwa realitas tidak hitam putih, dan bahwa kebenaran sering kali punya banyak lapisan.
Membaca berita dari berbagai sumber juga penting. Jangan hanya terpaku pada satu portal atau media yang sejalan dengan ideologimu. Ketika kita membiasakan diri membaca dari beragam media, kita belajar untuk membandingkan, mencerna, dan melihat gambaran yang lebih utuh dari sebuah peristiwa. Ini adalah latihan penting agar tidak mudah terpancing atau tertipu oleh informasi yang setengah benar.
Di saat yang sama, kita juga perlu melatih skeptisisme digital. Apa yang muncul di timeline tidak selalu benar atau lengkap. Cek ulang, cari sumber lain, dan beri waktu untuk berpikir sebelum mempercayai atau menyebarkan sesuatu. Ini bukan berarti kita harus curiga terus-menerus, tapi kita perlu belajar memilah antara informasi yang bernilai dan yang menyesatkan.
Yang tak kalah penting adalah membangun ruang dialog di dunia nyata. Media sosial memang cepat dan praktis, tapi percakapan langsung dengan orang lain punya kekuatan yang berbeda. Ketika kita ngobrol dengan teman, keluarga, atau orang dari komunitas lain secara tatap muka, kita bisa saling bertanya, menjelaskan, bahkan tidak setuju, dalam suasana yang lebih manusiawi dan hangat. Dari sana, empati bisa tumbuh, dan pemahaman bisa berkembang.
Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi
Terakhir, ada cara teknis yang juga bisa dicoba, misalnya menggunakan mode incognito atau menjelajah lewat platform yang lebih netral. Ini membantu menghindari bias algoritma yang dibentuk dari riwayat pencarian atau interaksi kita sebelumnya. Dengan begitu, kita memberi kesempatan bagi informasi baru dan beragam untuk muncul.
Teknologi seharusnya membantu kita melihat dunia lebih luas, bukan menyempitkan pandangan kita. Filter bubble memang nyaman, tapi jika dibiarkan, ia bisa mengikis kemampuan kita untuk berpikir kritis, berempati, dan berdialog.
Kita tidak boleh menjadi tahanan algoritma. Keluar dari gelembung bukan berarti kehilangan identitas, tapi memperluas horizon pemahaman kita. Karena dunia ini jauh lebih kaya, kompleks, dan penuh warna daripada apa yang ditampilkan layar smartphone kita setiap hari.
Jadi, mari kita mencoba keluar dari “kurungan” filter bubble….