Hidup dalam Gelembung Digital

Femi  Fauziah Alamsyah
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah diterbitkan Jumat 06 Jun 2025, 11:32 WIB
Filter Bubble membuat kita melihat dunia hanya dari sudut yang kita sukai saja. (Sumber: cottonbro studio)

Filter Bubble membuat kita melihat dunia hanya dari sudut yang kita sukai saja. (Sumber: cottonbro studio)

Pernah gak kamu merasa timeline media sosiamul itu-itu saja? Konten yang muncul seringnya sejalan dengan pandangan, hobi, atau pendapat yang kamu suka. Seolah-olah media baru ini tahu betul apa isi kepala kita.

Misalnya, Ketika kamu suka musik indie, hampir semua yang muncul di feed adalah lagu-lagu indie, atau Ketika kamu sering diskusi politik dari satu sudut pandang, feed kamu penuh dengan opini yang serupa.

Ini bukan suatu kebetulan, kamu sedang berada dalam filter bubble, istilah yang diperkenalkan oleh Eli Pariser (2011) dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You.

Ia menjelaskan bahwa algoritma digital menciptakan semacam gelembung informasi pribadi yang hanya menampilkan konten yang selaras dengan preferensi kita. Algoritma ini bekerja berdasarkan aktivitas digital: apa yang kita klik, sukai, cari, atau bagikan.

Seperti yang terjadi belakangan ini, nama Kang Dedi Mulyadi sering muncul di timeline media sosial warga Bandung, terutama terkait dengan gaya kepemimpinannya yang penuh kontroversi dan kebijakannya yang kerap jadi bahan perbincangan.

Kalau kamu perhatikan, isi feed yang kamu lihat biasanya sangat tergantung pada siapa yang kamu ikuti dan bagaimana interaksimu sebelumnya. Misalnya, jika kamu sering menyukai atau membagikan postingan pendukung Kang Dedi, maka algoritma media sosial akan terus menampilkan konten serupa, baik itu komentar positif, video orasi, atau meme yang mendukungnya.

Sebaliknya, bagi yang tidak setuju atau mengkritik, feed mereka lebih dipenuhi oleh kritik dan diskusi tentang kekurangan Kang Dedi. Fenomena ini adalah contoh nyata dari filter bubble

Bagaimana Filter Bubble terbentuk? Ia muncul sebagai hasil dari algoritmic curation (Napoli, 2011), yaitu proses ketika algoritma menyaring dan menyajikan informasi berdasarkan jejak digital kita.

Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube tidak menunjukkan semua informasi yang tersedia, tapi hanya potongan dunia yang dianggap “paling relevan” dengan kita. Semakin sering kamu menonton video politik konservatif, misalnya, maka kamu akan makin jarang melihat pandangan progresif, begitupun sebaliknya.

Kamu sadar gak? Saat ini kita sedang dikurung oleh preferensi kita sendiri. Kita merasa mendapatkan informasi yang “beragam” karena tampilannya berbeda-beda, padahal substansinya sangat “seragam”, menguatkan satu jenis narasi yang sama terus-menerus.

Kenapa Ini Terasa Nyaman? Secara psikologis, filter bubble sejalan dengan konsep confirmation bias (Nickerson, 1998), kecenderungan otak manusia untuk mencari dan lebih percaya pada informasi yang mendukung keyakinannya sendiri. Ketika kita hanya terpapar hal-hal yang kita setujui, otak merasa aman dan validasi sosial pun meningkat. Ini membuat kita lebih betah berlama-lama di platform, yang tentunya menguntungkan pihak pengelola media sosial dari sisi ekonomi.

Fenomena ini juga berhubungan dengan echo chamber, yaitu kondisi ketika kita hanya mendengar suara-suara yang serupa dengan suara kita sendiri (Sunstein, 2001). Akibatnya, kita tidak lagi melihat perbedaan sebagai sesuatu yang wajar, melainkan sebagai ancaman. Lama-lama, keberagaman pandangan dianggap sebagai hal yang "salah" atau bahkan "berbahaya".

Di balik kenyamanan yang ditawarkan filter bubble, ada sejumlah risiko serius yang kerap luput dari kesadaran kita. Salah satu dampak paling nyata yaitu terjadinya polarisasi sosial. Ketika seseorang hanya terpapar pada pandangan yang selaras dengannya, kemampuan untuk memahami orang yang berpikir berbeda perlahan memudar.

Studi dari Bail dan koleganya (2018) menunjukkan bahwa paparan terhadap opini yang berlawanan di media sosial, alih-alih memperluas perspektif, justru dapat memperkuat posisi ideologis seseorang. Ini terjadi karena perbedaan itu tidak dihadirkan dalam ruang dialog yang sehat, melainkan sebagai potongan-potongan yang mudah disalahpahami atau bahkan dipicu sebagai ancaman.

Filter Bubble membuat kita melihat dunia hanya dari sudut yang kita sukai saja. (Sumber: Pexels/Plann)
Filter Bubble membuat kita melihat dunia hanya dari sudut yang kita sukai saja. (Sumber: Pexels/Plann)

Selain itu, gelembung informasi ini juga mengaburkan batas antara fakta dan opini. Ketika sebuah informasi diulang terus-menerus dari satu sudut pandang saja, otak kita bisa tertipu dan menganggapnya sebagai kebenaran, meskipun belum tentu demikian.

Fenomena ini dikenal sebagai illusory truth effect, seperti yang dijelaskan oleh Fazio et al. (2015), sebuah kecenderungan kognitif di mana informasi yang salah bisa terasa benar hanya karena sering kita dengar. Akibatnya, kita mulai kehilangan daya kritis untuk menimbang, mempertanyakan, dan membandingkan informasi yang datang.

Kondisi ini menjadikan kita lebih rentan terhadap disinformasi dan hoaks. Hidup dalam ruang informasi yang homogen membuat kita kekurangan referensi pembanding. Seperti yang ditemukan oleh Cinelli dan timnya (2021), ketidakberagaman sumber informasi mempermudah penyebaran berita palsu karena tidak ada suara yang bisa membantah atau mengoreksi secara seimbang.

Dalam situasi ini, media sosial bukan lagi menjadi jembatan pengetahuan, melainkan cermin bias yang terus memantulkan pandangan kita sendiri, tanpa perlawanan dari kenyataan yang lebih kompleks.

Filter bubble juga terlihat jelas saat pandemi COVID-19. Di banyak negara, termasuk Indonesia, algoritma memperkuat bias dan ketakutan. Banyak orang menolak vaksin bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka hanya terpapar informasi yang memperkuat rasa takut dan ketidakpercayaan mereka terhadap sains dan pemerintah (Tufekci, 2015). Ini terjadi karena mereka hidup dalam filter bubble yang sangat homogen.

Lalu, bagaimana cara keluar dari jerat filter bubble? Tentu tidak mudah, apalagi ketika algoritma sudah lama membentuk pola konsumsi informasi kita tanpa disadari. Tapi bukan berarti tidak mungkin, langkah pertama bisa dimulai dengan sederhana: cobalah mengikuti akun-akun yang membawa pandangan berbeda dari yang biasa kamu lihat.

Tujuannya bukan untuk mengubah keyakinan atau pendirianmu, melainkan untuk memperluas sudut pandang. Dengan melihat dari berbagai sisi, kita bisa lebih memahami bahwa realitas tidak hitam putih, dan bahwa kebenaran sering kali punya banyak lapisan.

Membaca berita dari berbagai sumber juga penting. Jangan hanya terpaku pada satu portal atau media yang sejalan dengan ideologimu. Ketika kita membiasakan diri membaca dari beragam media, kita belajar untuk membandingkan, mencerna, dan melihat gambaran yang lebih utuh dari sebuah peristiwa. Ini adalah latihan penting agar tidak mudah terpancing atau tertipu oleh informasi yang setengah benar.

Di saat yang sama, kita juga perlu melatih skeptisisme digital. Apa yang muncul di timeline tidak selalu benar atau lengkap. Cek ulang, cari sumber lain, dan beri waktu untuk berpikir sebelum mempercayai atau menyebarkan sesuatu. Ini bukan berarti kita harus curiga terus-menerus, tapi kita perlu belajar memilah antara informasi yang bernilai dan yang menyesatkan.

Yang tak kalah penting adalah membangun ruang dialog di dunia nyata. Media sosial memang cepat dan praktis, tapi percakapan langsung dengan orang lain punya kekuatan yang berbeda. Ketika kita ngobrol dengan teman, keluarga, atau orang dari komunitas lain secara tatap muka, kita bisa saling bertanya, menjelaskan, bahkan tidak setuju, dalam suasana yang lebih manusiawi dan hangat. Dari sana, empati bisa tumbuh, dan pemahaman bisa berkembang.

Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi

Terakhir, ada cara teknis yang juga bisa dicoba, misalnya menggunakan mode incognito atau menjelajah lewat platform yang lebih netral. Ini membantu menghindari bias algoritma yang dibentuk dari riwayat pencarian atau interaksi kita sebelumnya. Dengan begitu, kita memberi kesempatan bagi informasi baru dan beragam untuk muncul.

Teknologi seharusnya membantu kita melihat dunia lebih luas, bukan menyempitkan pandangan kita. Filter bubble memang nyaman, tapi jika dibiarkan, ia bisa mengikis kemampuan kita untuk berpikir kritis, berempati, dan berdialog.

Kita tidak boleh menjadi tahanan algoritma. Keluar dari gelembung bukan berarti kehilangan identitas, tapi memperluas horizon pemahaman kita. Karena dunia ini jauh lebih kaya, kompleks, dan penuh warna daripada apa yang ditampilkan layar smartphone kita setiap hari.

Jadi, mari kita mencoba keluar dari “kurungan” filter bubble….

Femi  Fauziah Alamsyah
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 06 Jun 2025, 18:44 WIB

Merawat Tradisi, Memuliakan Manusia Saat Idul Adha

Setiap tradisi, kepercayaan, dan agama mengajarkan pentingnya pengorbanan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diterima.
Warga saat akan memotong hewan kurban jenis sapi dan domba di Halaman Masjid Lautze 2, Jalan Tamblong, Kota Bandung, Senin 17 Juni 2024. (Sumber: Ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi) | Foto: Ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi))
Ayo Jelajah 06 Jun 2025, 13:58 WIB

Geger Bandung 1934, Pembunuhan Berdarah di Rumah Asep Berlian

Pembunuhan keji terhadap lima orang di rumah Asep Berlian gegerkan Bandung pada 1934. Motifnya: cinta, cemburu, atau harta?
Mintarsih, Komariah, dan Maliah merupakan tiga dari lima korban dalam tragedi pembunuhan brutal di kediaman Asep Berlian. (Sumber: Sin Po, 9 Februari 1935)
Ayo Netizen 06 Jun 2025, 11:32 WIB

Hidup dalam Gelembung Digital

Filter Bubble membuat kita melihat dunia hanya dari sudut yang kita sukai saja.
Filter Bubble membuat kita melihat dunia hanya dari sudut yang kita sukai saja. (Sumber: cottonbro studio)
Ayo Netizen 06 Jun 2025, 05:38 WIB

Hari Raya Idul Adha Bertepatan Hari Jumat, Tetap Wajibkah Shalat Jumat?

Perkara ini adalah masalah fikhiyah.
Bagaimana bila Idul Adha jatuh tepat pada hari Jum’at? (Sumber: Pexels/Pir Sümeyra)
Ayo Biz 05 Jun 2025, 16:03 WIB

Ember Sampah yang Mengubah Nasib: Kisah Ema Suranta dan Bank Sampah Bukit Berlian

Bukit Berlian mungkin terdengar mewah, tapi aktivitas komunitas ini jauh dari kesan glamor. Anggotanya, yang mayoritas kaum ibu, berurusan dengan sesuatu yang sering dianggap menjijikkan.
Ema Suranta, pendiri komunitas Bukit Berlian (Sumber: PT Permodalan Nasional Madani (PNM))
Ayo Biz 05 Jun 2025, 16:02 WIB

Nyi Empol, Manisan Terung Ungu Warisan Ibu Pilihan Oleh-oleh Garut

Lewat Nyi Empol, Lina Marliana pertahankan manisan terong khas Garut dengan inovasi agar tak kalah saing di pasar oleh-oleh.
Manisan terung ungu Nyi Empol. (Sumber: Instagram @warung_bulienz)
Ayo Netizen 05 Jun 2025, 12:39 WIB

6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi

Pengumuman 6 tulisan orisinal terbaik dari netizen yang aktif berkontribusi pada periode Mei 2025.
Dalam tujuan mengapreasiasi kamu yang gemar menulis dengan etika orisinalitas, Ayobandung.id pun memberi total hadiah Rp1,5 juta setiap bulannya. (Sumber: Pexels/Lisa)
Beranda 05 Jun 2025, 10:39 WIB

Polemik Tablet Rp850 Juta untuk DPRD Bandung Barat di Tengah Seruan Efisiensi

DPRD Bandung Barat anggarkan Rp850 juta untuk tablet anggota dewan, ironi di tengah seruan efisiensi dari Presiden.
Ilustrasi tablet. (Sumber: Pexels | Foto: Matheus Bertelli)
Ayo Netizen 05 Jun 2025, 08:42 WIB

Negeri atau Swasta? Potret Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan

Benarkah semua sekolah negeri seperti tidak lebih baik dari swasta?
Ilustrasi murid sekolah negeri. (Sumber: Pexels/Yazid N)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 20:22 WIB

Membaca sambil Menikmati Makanan Khas Toko Buku Pelagia

Toko Buku Pelagia merupakan toko yang mengusung konsep kafe dan perpustakaan secara langsung.
Menu makanan Toko Pelagia, Kamis, 29 Mei 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 04 Jun 2025, 17:39 WIB

Dari Hobi ke Kesuksesan: Ria Nirwana dan Perjalanan Kreatifnya

Ria Nirwana memulai langkahnya tanpa pernah menyangka bahwa hobi kecilnya akan membawanya ke industri kreatif yang berkembang hingga ke luar negeri.
Ria Nirwana memulai langkahnya tanpa pernah menyangka bahwa hobi kecilnya akan membawanya ke industri kreatif yang berkembang hingga ke luar negeri. (Sumber: Instagram @rnirwana)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 17:20 WIB

Laki-Laki, Pancingan, dan Stigma Pengangguran

Jika kamu berada di skena pemancing, mungkin kamu merasakan betapa menyebalkan stigma pengangguran melekat terhadap diri mereka.
Ilustrasi memancing. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 04 Jun 2025, 16:03 WIB

Dari Piyama Rumahan ke Panggung Gaya: Kisah Sukses Ckl Looks dan Revolusi Fesyen Santai

Ckl Looks merek lokal yang membawa piyama dari kamar tidur ke panggung gaya, lahir di tengah pasar yang melihat piyama sebagai pakaian semata untuk bersantai di rumah.
Ckl Looks merek lokal yang membawa piyama dari kamar tidur ke panggung gaya. (Sumber: Ckl Looks)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 14:12 WIB

Tips Meningkatkan Kepercayaan Diri Saat Public Speaking

Artikel ini membahas 6 tips praktis mengatasi rasa gugup sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri saat public speaking.
ada lelucon yang menyebut public speaking menduduki tingkat pertama hal yang paling ditakuti oleh orang-orang bahkan melebihi ketakutan akan kematian. (Sumber: Pexels/Rica Naypa)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 11:12 WIB

Ibadah Haji, Momentum Tunduk dan Berserah Diri

Sejatinya Ibadah haji merupakan momentum yang sangat tepat untuk belajar.
Ilustrasi ibadah haji. (Sumber: Pexels/Mido Makasardi)
Ayo Netizen 04 Jun 2025, 09:07 WIB

Ibadah Kurban, antara Kesungguhan dan Batas Kemampuan

Menyambut Idul Adha dengan cinta dan pengorbanan. Sebuah ibadah kurban.
Sapi dan kambing yang akan dikurbankan (Sumber: ayobandung.id)
Ayo Netizen 03 Jun 2025, 19:20 WIB

Mirip Bentuk Tanda Baca Apostrof dan Petik Tunggal, Gunanya Ternyata Beda

Bicara tentang apostrof dan petik tunggal kali ini. Tanda baca yang mirip bentuknya, tapi beda fungsinya.
Meski bentuknya serupa, apostrof dan petik tunggal beda fungsinya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Biz 03 Jun 2025, 17:00 WIB

Delchi Patisserie: Ketika Sebuah Keresahan Berbuah Manis di Kota Kembang

Delchi Patisserie lebih dari sekadar patisserie, tempat ini adalah jawaban atas keresahan seorang perempuan bernama Pramesti Istiandari atau Ichi.
Mille Crepe sebagai primadona dari toko kue Delchi Patisserie. (Sumber: Instagram @delchi.id)
Ayo Netizen 03 Jun 2025, 15:33 WIB

Pembangunan untuk Siapa? Antara Kota Maju dan Desa yang Tertinggal

Pembangunan di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang berat sebelah dengan lebih banyak menyasar wilayah perkotaan dan melupakan desa.
Di balik gemerlap pembangunan kota, ada permasalahan serius yang tidak boleh diabaikan. (Sumber: Pexels/Tom Fisk)
Ayo Biz 03 Jun 2025, 12:23 WIB

Perjuangan Rara Mengangkat Kecantikan Lokal, Filosofi di Balik Amora Beauty Cosmetic

Di balik kemilau industri kecantikan, ada kisah perempuan yang berani melangkah, mendobrak batasan, dan menghadirkan sesuatu yang lebih dari sekadar kosmetik.
Produk Lipcream Jawa Series dari brand lokal Amora Beauty Cosmetic. (Sumber: Instagram @amora.beautycosmetic)