Dulu, saat produk e-wallet belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari saya seperti sekarang, saya adalah orang yang cukup hemat. Saat iklan kopi susu kekinian menggoda, saya masih bisa berpikir, “Rp35.000 bisa buat beli nasi padang dua bungkus.” Sekarang, dengan promo diskon Rp3000, langsung tap Pay. Hemat Rp3000 sambil buang Rp25000 pun, saya masih merasa untung.
E-wallet dan produk pembayaran digital lainnya memang sangat memudahkan. Kita bisa beli apa saja, kapan saja, dan dimana saja hanya dengan satu kali tap dalam genggaman. Namun, disitulah tantangan muncul. Terlalu mudah. Kemudahan tidak hanya membuat belanja kita makin cepat, tapi juga saldo cepat hilang. Dalam lima tahun terakhir, penggunaan uang elektronik di Indonesia meningkat berkali lipat, apalagi sejak pandemi. Nilai transaksi transfer uang elektronik Indonesia melonjak dari Rp22,4 triliun di 2019 menjadi Rp303 triliun di paruh pertama 2024.
Hal yang wajar mengingat semua serba digital sekarang. Alasannya jelas: praktis, cepat, dan banyak promo. Cuma masalahnya, justru kemudahan inilah yang bahaya. Karena manusia, pada dasarnya, suka dimanjakan. Apalagi kalau ada cashback. Di tengah perkembangan uang elektronik yang sangat pesat, ada satu fenomena menarik. Bagi banyak orang, termasuk saya, merasa lebih boros sejak pakai e-wallet.
Baca Juga: Tung Tung Tung Sahur dan Anomali Absurd: Imajinasi Digital Generasi Alpha
Mengapa bisa demikian?
Fenomena ini ternyata punya penjelasan psikologis, lho. Beberapa teori dapat menjelaskan bagaimana otak kita merespon uang elektronik, ilusi kendali, jebakan konsumtif, dan impulsivitas yang seringkali tidak kita sadari.
Dalam teori psikologi, teori pain of paying menjelaskan bahwa rasa sakit dan emosi negatif yang kita rasakan saat bayar dengan metode tap pay maupun bentuk uang elektronik lainnya lebih rendah dibanding saat kita bayar secara tunai. Logikanya, saat kita bayar pakai uang tunai, kita akan merasakan “sakit” karena kita melihat uang berpindah tangan. Sedangkan ketika kita menggunakan e-wallet, kita hanya perlu tap, senyum ke kasir, selesai. Tidak terasa.
Bahkan dalam ilmu behavioral economics, ada hal yang disebut sebagai instant gratification. Instant gratification atau kepuasan instan merujuk pada keinginan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan atau keinginan secara langsung tanpa penundaan.
Banyak faktor pendukung lainnya yang menyebabkan kita bertindak lebih impulsif demi kepuasan cepat, standar sosial media yang membuat kita FOMO (Fear of Missing Out) misalnya. Kita dipaksa berhadapan dengan tingginya ekspektasi sosial akan diri kita sendiri. Dan uang elektronik menyediakan kemudahan dengan bentuk notifikasi, bunyi “ting!”, bahkan cashback yang membuat kita merasa untung, padahal sedang rugi karena terlalu konsumtif. Kita lebih cepat tergoda dengan notifikasi flash sale tinggal 5 menit lagi di setiap tanggal cantik.

Kemudahan-kemudahan transaksi yang ditawarkan oleh produk uang elektronik membuat kita lebih careless di sistem cashless. Sentuhan untuk tap pay di layar ponsel terasa jauh lebih ringan dibanding menyerahkan beberapa lembar uang daru dompet. Kita jadi merasa kaya dadakan, belanja seenaknya karena saldo di layar terlihat seperti angka ajaib yang selalu ada, sampai nanti notifikasi “saldo anda tidak mencukupi” muncul dan menampar. Kita mendadak ingat bahwa keuangan juga butuh perhitungan. Uangnya sudah tak terlihat, tapi efeknya masih sangat terasa, terutama saat akhir bulan datang lebih cepat dari gajian.
Jadi, apakah kita harus kembali ke sistem tradisional?
Jawabannya tidak harus. E-wallet sendiri bukan penjahatnya. Justru, banyak sekali fitur-fitur yang dapat membantu kita lebih hemat. Ada histori transaksi yang mudah diakses tanpa takut lupa, ada pengingat limit transaksi, bahkan ada fitur bawaan aplikasi e-wallet yang dapat membantu kita budgeting.
Baca Juga: Bandung Tak Pernah Mengeluh, justru Kita yang malah Sering Mengeluh
Masalahnya bukan di uang elektronik, namun ada di kita. Selama ini kita kurang peduli dengan fitur-fitur itu dan lebih tertarik dengan promo cashback dan diskon yang ditampilkan. Uang elektronik bisa membuat kita konsumtif bahkan cenderung boros kalau kita tidak punya kontrol diri dan masih suka kalap karena notifikasi “Buruan checkout! Flash sale berakhir 5.5 lima menit lagi!”
Solusinya bukan membatasi atau bahkan berhenti menggunakan e-wallet, tapi mulai sadar bahwa kenyamanan yang kita dapat harus dibarengi dengan kesadaran, jangan sampai kita berlarut-larut mengejar instant gratification. Kalau tidak, jangan terkejut kalau saldo e-wallet kita akan lebih sering kosong dari dompet asli. (*)