BANDUNG -- yang katanya sekarang heurin ku tangtung -- bukan sekadar kota. Ia juga adalah rasa yang hadir dalam setiap sudut jalan dalam bentuk, misalnya, senyum ramah dari pedagang kaki lima atau rasa sejuk yang kita rasakan dari rindangnya pohon-pohon di sepanjang Jalan Cipaganti dan Tamansari.
Dulu sekali, kota ini berjuluk Kota Kembang. Tapi, jauh sebelum itu, pemerintah kolonial Belanda sudah menenun mimpi dengan merancang Bandung sebagai sebuah kota taman yang anggun, tertib, dan pikabetaheun. Ia digadang-gadang menjadi sebuah kota yang menyatukan alam dan manusia dalam irama yang tenang.
Sejak awal abad ke-20, Bandung dirancang bukan hanya sebagai pusat administrasi, tetapi juga sebagai contoh kota ideal, sebuah kota yang mendekatkan manusia pada ruang hijau di tengah kepungan gunung-gunung nan anggun.
Herman Thomas Karsten, arsitek dan urban planner Belanda, memperkenalkan prinsip stadsvorming, yakni gagasan membangun kota yang selaras dengan lanskap lokal dan nilai budaya masyarakat. Dalam hal ini, kota bukan sekadar bangunan, tapi organisme hidup.
Maka, taman-taman dibuat dengan penuh perhitungan. Trotoar dibikin lebar untuk manusia. Jalur air diatur agar hujan tak menjelma jadi petaka. Dan Bandung pun dirancang menjadi sebuah paras kota tropis modern yang indah mempesona.
Namun, toh roda zaman bergulir. Bandung kian padat. Kota ini kian terasa heurin. Lapangan hijau berubah jadi ruko, sungai jadi got, dan langit biru menjadi kelabu karena lebih sering tertutup debu. Mimpi Bandung sebagai kota taman perlahan menjadi sekadar catatan kaki buku sejarah.
Lalu, bagaimana kita harus mencintai Bandung hari ini, yang telah banyak berubah? Apa yang bisa kita korbankan untuk ikut memulihkan keindahan Bandung yang hampir hilang?
Bukan perkara nostalgia

Mencintai Bandung bukan perkara nostalgia. Tapi, tentang aksi nyata. Dan aksi kadang berarti melepaskan ego kita: rela berjalan kaki, naik angkot, naik sepeda, atau menanam pohon tanpa menunggu tepuk tangan.
Jan Gehl, urbanis asal Denmark, dalam karyanya bertajuk Cities for People (2010), menulis antara lain: "A good city is like a good party. You stay longer than you plan." Akan tetapi, bagaimana mau bertahan lama, kalau setiap sudut kota kini dipenuhi bising knalpot yang beberetan menulikan telinga dan polusi yang bikin sesak dada?
Jujur saja, Bandung punya pekerjaan rumah besar berupa kualitas udara yang memburuk. Menurut IQAir, indeks kualitas udara Bandung kerap masuk kategori tidak sehat, terutama di musim kemarau.
Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi
Studi dan laporan berbagai pihak, termasuk kajian yang dilakukan ITB dan lembaga lingkungan seperti IESR, menunjukkan bahwa sektor transportasi adalah salah satu kontributor utama emisi karbon di perkotaan, termasuk di Bandung. Kendaraan pribadi -- mobil dan sepeda motor -- menjadi penyumbang terbesar dalam lanskap emisi harian yang menyelimuti kota ini.
Tren umum menunjukkan bahwa lebih dari separuh pencemaran udara kawasan urban, seperti Bandung, berasal dari aktivitas kendaraan bermotor. Setiap sepeda motor yang meraung dan setiap mobil yang melaju, membawa beban karbon yang perlahan menyusup ke napas kita dan napas kota.
Padahal, sepeda kayuh bisa menjadi salah satu solusi paling sederhana untuk mengurai kemacetan dan polusi kota. Namun, ironisnya, lajur sepeda di Bandung masih sering dibiarkan nganggur, tidak dimanfaatkan secara optimal. Bahkan, di beberapa titik, lajur ini justru tergusur oleh parkir liar.
Kesediaan untuk berubah

Berkorban untuk Bandung agar kota ini menjadi lebih baik bukan sekadar slogan, tapi bentuk nyata dari kesediaan kita untuk berubah. Rela berjalan kaki sedikit lebih jauh, menahan diri untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi setiap saat, atau memberi ruang bagi yang tak bersuara seperti pohon, udara, dan air adalah pengorbanan yang dibutuhkan kota ini. Kota yang sehat dan manusiawi lahir dari pilihan-pilihan kecil yang penuh kesadaran.
Sungai Cikapundung, yang membelah Kota Bandung, adalah salah satu cermin kita. Dulu ia jernih, tempat anak-anak bermain dan orang tua menimba air. Kini ia membawa aroma getir peradaban yang abai.
Bandung mungkin lelah menampung semua kelalaian kita. Tapi, ia sama sekali tak pernah mengeluh. Justru kita semua yang terus mengeluh, dan bahkan uring-uringan. Betapa tidak. Kita mengeluh soal macet, mengeluh soal banjir, mengeluh soal udara kotor, tanpa sadar, kitalah sebenarnya biang keroknya.
Seandainya Bandung bisa bernyanyi, mungkin ia akan memilih mendendangkan lirik lagu Coldplay yang berbunyi: "Lights will guide you home / And ignite your bones / And I will try to fix you."
Sayangnya, Bandung bukanlah Chris Martin. Bandung, jelas, tak bisa memperbaiki dirinya sendiri. Ia butuh tangan-tangan manusia, tangan-tangan kita semua, yang rela memperbaiki, tanpa harus ada sorotan kamera.
Tak perlu menjadi pejabat atau pesohor beken untuk berkontribusi. Cukup mulai dari hal-hal kecil semisal memungut sampah yang berserakan, memberi ruang bagi pejalan kaki dan pesepeda, atau sekadar tidak membuang limbah ke selokan. Kota ini akan pulih bukan karena satu aksi besar, tapi oleh ribuan aksi kecil yang dilakukan dengan konsisten dan penuh cinta.
Bandung bukan panggung bagi ego kita, melainkan rumah bagi kehidupan bersama. Ia tumbuh dari empati, bukan dari gengsi. Ketika warga Bandung saling menjaga dan saling mengingatkan, di situlah semangat kota ini hidup. Dan mungkin, di sanalah kita semua sedang menjadi bagian dari lagu indah yang belum selesai ditulis.
Dipenuhi warga yang mau berkorban
Para ahli urbanisme sepakat bahwa kota yang baik bukan yang penuh gedung tinggi, tapi yang dipenuhi warga yang mau berkorban untuk kenyamanan bersama. Konsep social capital dari Robert Putnam menunjukkan bahwa kota tumbuh sehat jika ada kepercayaan dan solidaritas di antara warganya. Kota tumbuh lewat kebersamaan.
Sedihnya, ruang publik di Bandung justru makin menyempit. Lahan hijau beralih fungsi, taman disulap jadi mal, trotoar digusur parkiran. Kota kehilangan ruang untuk bernapas.
Tapi, kita masih bisa memulai dari hal-hal sederhana, seperti yang telah disebutkan di muka. Kebiasaan-kebiasaan kecil bisa berdampak besar. Pasalnya, kota dibentuk dari jutaan kebiasaan kecil yang dikumpulkan setiap hari.
Pemerintah pun harus rela berkorban. Bukan sekadar membuat program populis, tapi menerima kritik dan berani belajar dari kesalahan. Kota bukan panggung politik semata. Bandung perlu pemimpin yang visioner, yang tak hanya memikirkan elektabilitas.
Kota ini tak butuh lebih banyak beton, tapi lebih banyak kasih. Dan kasih, seringkali lahir dari pengorbanan. Pengorbanan sendiri tak harus besar dan mewah. Jika kita mencintai Bandung, maka kita harus rela melepas sedikit kenyamanan pribadi, demi ruang yang lebih nyaman untuk semua. Karena pada akhirnya, kita semua hanyalah tamu di kota ini. Dan tamu yang baik, pasti tahu caranya menjaga rumah yang ia singgahi.
Bandung kiwari adalah rumah yang mulai rapuh namun masih menawan. Ia menanti tangan-tangan yang peduli, hati yang rela berkorban. Dan semuanya bisa dimulai hari ini, dari kita semua. (*)