Segala bentuk bencana alam: gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, angin puting beliung, kekeringan, banjir, tanah longsor, gelombang pasang, kebakaran hutan dan lahan, hingga pohon tumbang yang terjadi di berbagai daerah Indonesia merupakan bukti nyata dari ulah lalim manusia. Sikap serakah dan perilaku jahil yang tertanam dalam sanubari manusia telah membuat alam murka dan menunjukkan kekuatannya.
Salah satu contoh nyata kerusakan lingkungan terjadi di Raja Ampat, kawasan yang selama ini dikenal sebagai surga terumbu karang dunia. Kerusakan lingkungan dan gangguan terhadap biodiversitas di wilayah ini disebabkan oleh aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan di pulau-pulau kecil. Zat kimia berbahaya dengan mudah menyebar ke laut akibat dorongan arus, gelombang, dan pasang surut. Kerusakan kecil pun berpotensi memicu kerusakan dalam skala yang jauh lebih besar.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, memaparkan sejumlah indikasi pelanggaran dan kerusakan lingkungan dari empat perusahaan pertambangan nikel di Raja Ampat: PT GN, PT ASP, PT KSM, dan PT MRP. Hanif, menerima laporan dari masyarakat serta media terkait aktivitas pertambangan nikel yang mengancam ekosistem Raja Ampat.
Salah satu titik yang terdampak adalah Pulau Gag, bagian dari kawasan Raja Ampat. Pulau ini memiliki luas sekitar 6.060 hektare. Eksplorasi tambang nikel di pulau dimulai sejak 1998, dan produksi komersialnya dimulai pada 2018.
Yusthinus T. Male, guru besar logam berat dari Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, menegaskan kesimpulan mengenai kerusakan lingkungan tidak bisa diambil hanya berdasarkan pengamatan visual sesaat. Pekatnya sedimen di pesisir Pulau Gag menjadi indikasi awal bahwa kondisi lingkungan di kawasan itu telah mengalami perubahan drastis sejak aktivitas pertambangan dimulai.
Kementerian Lingkungan Hidup/BPLH menyatakan adanya indikasi pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat. Jika terbukti melanggar ketentuan hukum yang berlaku, izin lingkungan perusahaan-perusahaan tersebut akan dicabut. Pihak kementerian telah menerima laporan dampak aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat sejak Mei 2025. (Kompas, Senin 9 Juni 2025)
Peran Agama Jaga Alam

Ternyata, kehadiran agama sebagai sumber moralitas belum sepenuhnya dipraktikkan secara utuh. Akibatnya, manusia belum mampu berakhlak dengan baik terhadap alam sebagaimana mestinya. Padahal, alam merupakan tempat tinggal dan penopang kehidupan manusia.
Kerusakan ekologis terjadi karena kesalahan dalam pendekatan teologis terhadap alam, yang berakar dari ketidaktahuan dan ketidaksadaran manusia atas perannya sebagai khalifah di muka bumi.
Lynn White Jr. pernah mengkritik weltanschauung (pandangan dunia) agama-agama monoteistik yang dinilainya kurang bersahabat dengan alam. Menurutnya, penafsiran sebagian pemuka agama yang menempatkan manusia sebagai makhluk superior di atas alam justru menyebabkan eksploitasi alam dianggap sah dan bahkan sakral. Inilah yang menjadi salah satu akar persoalan krisis ekologi saat ini. Jika dibiarkan, kondisi lingkungan akan semakin memprihatinkan.
Saat ini, para ulama, birokrat, ilmuwan, hingga masyarakat umum sepakat bahwa pencemaran lingkungan telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Ironisnya, kondisi ini diperparah oleh mentalitas masyarakat yang masih minim kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.
Graham Parkes, seorang profesor dari University of Hawai’i, mengajak para ilmuwan, budayawan, dan pegiat studi agama untuk berpaling kepada ajaran-ajaran agama dan ideologi Timur. Baginya, alam dan lingkungan bukan hanya dinilai sakral, tetapi mengandung unsur ketuhanan dan menjadi sumber kearifan hidup. Misalnya, dalam ajaran Shinto di Jepang, Tuhan diyakini bersemayam dalam fenomena-fenomena alam; Gunung Fuji sangat dijunjung tinggi karena dianggap sebagai tempat kediaman Tuhan.
Dalam ajaran Taoisme dan Konfusianisme, hubungan harmonis antara manusia dan alam menjadi prinsip utama. Salah satu kitab klasik Konfusius, Cho, menyatakan bahwa langit dan bumi adalah "orang tua agung" yang memberikan kehidupan, sehingga layak untuk dihormati.
Pentingnya peran agama dalam upaya konservasi lingkungan disampaikan oleh Hendri Bastaman. Kegagalan berbagai program konservasi selama ini disebabkan oleh tidak dilibatkannya agama secara serius. Hal ini sudah terlihat sejak puluhan tahun lalu. Pada tahun 1972, diadakan konferensi lingkungan di Stockholm, Swedia, yang dihadiri oleh sekitar 100 negara.
Saat itu, pendekatan pendidikan dan keilmuan dianggap sebagai solusi utama dalam mengatasi masalah lingkungan. Namun, 15 tahun kemudian, pada pertemuan di New York tahun 1987, hasil evaluasi justru mengejutkan banyak pihak. Hasilnya, ditemukan bahwa tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan justru terus meningkat.
Baca Juga: Gol Rukma Bikin Stadion Ikada Pecah
Evaluasi menyadarkan banyak pihak bahwa pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan penegakan hukum atau objektivitas ilmu pengetahuan semata. Salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan adalah modernisasi yang mengabaikan konsekuensinya terhadap alam. Alam diperlakukan semata-mata sebagai objek eksploitasi, tanpa memedulikan fungsi dan perannya dalam kehidupan.
Tentunya manusia harus kembali kepada kelembutan ajaran agama. Kita perlu menempatkan diri secara proporsional dalam ekosistem alam, sesuai dengan fitrah kita sebagai makhluk yang diberi amanah untuk menjaga bumi. (M. Ziaulhaq, 2011: 2-4 dan 18-19)
Spiritualitas Pecinta Bumi

Ingat, agama menjadi sebuah pandangan dunia (world view) yang memengaruhi sikap manusia terhadap alam dan menjadi suatu komponen penting yang memberikan petunjuk untuk bertindak. White mengatakan pandangan manusia terhadap lingkungan ini ditentukan oleh agama. Karena agama menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku terhadap lingkungan.
Gerakan penyadaran terhadap lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam kembali melihat potensi agama sebagai salah satu wahana penting dalam menyadarkan manusia untuk bersikap lebih baik guna mengelola alam dan lingkungan. Tampilnya E.O Wilson, Kellert S.R yang prihatian terhadap laju degradasi sumber daya alam ini menghimbau kepada kita semua akan pentingnya kerjasama antara sains dan agama dalam menganggapi persoalan-persoalan konservasi lingkungan.
Krisis lingkungan dan ancaman pemanasan global terhadap kemanusiaan, merupakan persoalan moral manusia (yang berakar dari agama) dalam bertindak terhadap lingkungan. Dengan demikian, sangat perlu dikembangkan pengetahun tentang konsep-konsep bagaimana agama dapat mendorong pada penguatan kehidupan manusia sehari-hari dalam upaya mengimpelementasikan pengelolaan konservasi sumber daya alam secara strategis, berdasarkan pada keyakinan (keimanan) agama yang dianutnya. (Fachruddin Majeri Mangunjaya, 2014:2-3).
Menyelamatkan bumi berarti menyelamatkan kehidupan. Oleh karena itu, upaya yang ditempuh seharusnya dilakukan dengan cara memuliakan kehidupan, bukan melalui kekerasan yang justru berpotensi menimbulkan kematian.
Menyelamatkan alam adalah memuliakan budaya kehidupan. Maka, penyelamatan itu pun dilakukan dengan cara-cara yang menghormati kehidupan, termasuk kepada para perusak alam itu sendiri. Kesaksian bahwa kita mencintai ciptaan juga dinyatakan dalam perjuangan itu. Bagaikan bumi yang terus-menerus memberi hidup, kita terus memancarkan semangat kehidupan. Bumi tidak akan jera memulihkan kehidupan di atas (dalamnya), tak peduli manusia mencintai atau pun merusaknya. Jika terjadi reaksi dalam rupa bencana karena ulah manusia, itu adalah upaya rekonstruksi atas destruksi yang terjadi padanya. Dengan bahasa alamnya, bumi menunjukkan bahwa setiap tindakan terhadapnya, akan membuahkan reaksi.
Karena itu, penyelamatan ciptaan seharusnya dilakukan dengan penuh kelembutan, bukan dengan kekerasan. Menyelamatkan ciptaan adalah cinta. Cinta itu bersumber pada cinta Sang Pencipta yang menciptakan alam ini, dari tiada menjadi ada. (Lukas Awi Tristanto, 2016:14, 16).
Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi
Dengan menjalani hidup yang selalu berusaha memuliakan air (sungai, laut) sebagai sumber kehidupan sekaligus bagian dari upaya menjaga, merawat, dan melestarikan alam, maka kita akan lebih tanggap terhadap berbagai bencana alam (banjir, tanah longsor, kerusakan terumbu karang) yang mengancam bumi.
Dengan demikian, air (sungai, danau, laut) adalah sumber kehidupan, bukan hanya bagi manusia, tetapi untuk seluruh makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi. Pasalnya, sejak awal, peradaban manusia memang tumbuh dan berkembang di sekitar sungai, terutama di lembah-lembah perairan besar. (*)