Ditulis oleh Ihsan Nugraha
AYOBANDUNG.ID - Pasar Banjaran sudah dibangun ulang. Lantai keramiknya mengilap, bangunannya menjulang, dan dari luar tampak seperti simbol kemajuan. Tapi di balik cat tembok dan kios-kios baru, ada suara-suara yang pelan-pelan menghilang.
Suara dari para pedagang yang tak lagi bisa berjualan seperti dulu. Suara dari orang-orang yang kehilangan ruang, penghasilan, juga kehilangan ritme hidup yang selama ini mereka kenal.
“Sekarang mah dagang bukan soal untung atau rugi, tapi soal bisa makan atau enggak,” kata seorang pedagang lama yang masih bertahan di luar sistem pasar baru yang katanya lebih modern itu.
Revitalisasi pasar memang kata yang terdengar canggih. Tapi di lapangan, yang terasa adalah tekanan hidup. Banyak pedagang gulung tikar.
Ada yang stres sampai jatuh sakit. Ada yang rumah tangganya ikut ambruk. Bukan karena mereka malas atau menolak perubahan, tapi karena perubahan itu datang seperti petir: cepat, bising, dan tak sempat diajak bicara dulu.
Bukan Diajak, tapi Ditetapkan
Dari awal, proses revitalisasi ini memang tidak banyak memberi ruang suara.
Pedagang lama merasa tidak dilibatkan. Tidak diajak rembug. Tidak ditanya bagaimana mestinya. Tahu-tahu sudah ditetapkan: pasar akan dibangun ulang, dan para pedagang harus menyesuaikan.
Mereka yang sehari-harinya hidup dari jualan sayur, sembako, atau kebutuhan pokok lain, mendadak harus memikirkan cicilan kios, relokasi, dan sistem baru yang tidak semuanya mampu mereka pahami apalagi jalani.
Satu hal yang paling menyakitkan dari pembangunan macam ini adalah ketika orang-orang yang sudah lama menghidupi pasar justru merasa paling asing di rumahnya sendiri.
Pasar Baru, tapi Belum Semua Dapat Tempat

Sekarang sebagian besar pasar memang sudah berdiri. Tapi pembangunan belum sepenuhnya selesai. Beberapa blok masih kosong dan aktivitas belum stabil.
Pedagang lama lokasi 1 banyak yang ditempatkan di lantai dua. Sementara di lantai satu, justru diisi wajah-wajah baru. Ada perasaan ditinggalkan, bahkan tersingkir dari rumah sendiri. Tapi soal lantai sebenarnya cuma sebagian kecil. Yang lebih dalam adalah kehilangan relasi pelanggan dan kehilangan daya juang.
Pasar Banjaran kini memang tampak lebih bersih, lebih tinggi, lebih rapi. Tapi suara-suara dari dalamnya jauh lebih lirih. Mereka yang membangun denyut ekonomi lokal selama bertahun-tahun, kini justru menjadi korban pembangunan.
Pasar tak seharusnya dimodernisasi dengan cara memutus akar kehidupan para pelakunya. Mereka yang selama ini menjaga denyut ekonomi rakyat kecil justru menjadi korban dari transformasi yang tak ramah. Modernisasi seharusnya memuliakan, bukan meminggirkan.
Baca Juga: Ayobandung.id Ajak Mahasiswa se-Bandung Raya Menulis di AYO NETIZEN
Kami Hanya Ingin Didengar
Mereka tidak menolak pembangunan. Tidak juga ingin memutar waktu. Yang mereka minta sederhana: dilibatkan. Dihargai. Dipandang sebagai bagian dari pasar, bukan sebagai beban proyek.
Suara mereka mungkin pelan, tapi tetap ada. Tetap hidup di antara lorong pasar atau di pojok toko kecil yang masih bertahan. Dan selama suara itu masih ada, kisah Pasar Banjaran belum selesai. (*)
Penulis, Ihsan Nugraha, adalah masyarakat pemerhati kebijakan publik. Konten ini ditulis selepas ngobrol sore bersama pedagang Pasar Seng Banjaran, 1 Mei 2025.