AYOBANDUNG.ID - Sore mulai turun pelan di Jalan Ir. H. Djuanda, Kota Bandung. Langit menguning pucat, kepulan asap knalpot mengambang di antara deretan kendaraan yang merayap.
Di trotoar dekat pom bensin, deru kendaraan bersahutan dengan panggilan salat dari masjid terdekat. Di sanalah Kurnia (49) bersiap menutup hari, tapi termos airnya justru baru hangat-hangatnya.
Motor tua berwarna putih itu berdiri tegak di bawah pohon kantil, dengan rak kayu di jok belakang, tersimpan kopi dan minuman saset yang dipajang. Di dalamnya ada kotak berisikan belasan rokok.
Kurnia dengan semangat mulai berjualan kopi seduh. Tanpa promosi yang berlebih, pembeli datang satu per satu. Disuguhkanlah kopi instan menggunakan cup plastik. Uapnya mengepul pelan, membaur dengan langit Bandung yang mulai senja.
"Dari jam 5-an (sore) sampai subuh, biasanya jam 3 selesai dagangnya," kata dia dengan nada lugas, Kamis, 5 Juni 2025.
Ia berjualan setiap hari, di saat kebanyakan orang-orang sibuk bermimpi dalam tidur. Tapi Kurnia bermimpi sambil berdagang. Memimpikan suatu saat keluarganya bisa hidup serba ada. Oleh karena itu, ia tak mengenal hari libur. Setiap hari ia pulang-pergi dari Ujungberung ke Dago.
Dalam rentang waktu tersebut, Kurnia bisa mendapat keuntungan dari Rp100 hingga Rp150 ribu. Uang itu diakuinya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan ia berhasil menguliahkan dua anaknya di perguruan tinggi ternama di Kota Bandung.
Namun usahanya tidak ia raih dengan mudah. Mang Toge—begitu ia disapa—memulai perjalanannya menjadi pedagang kopi starling sejak tahun 2020. Kala itu, Covid-19 mulai menyebar luas. Tapi hal tersebut tak membuat Kurnia mengurungkan niatnya mencari rezeki.
Bermodal uang Rp500 ribu yang ia pinjam dari temannya, beberapa renceng kopi dan satu bungkus rokok dia beli. Tak lupa juga membuat rak kayu sederhana yang dipasang di jok belakang. Dengan motor yang dimodifikasi itu, dia siap menjemput rezeki.
Awalnya, ia berkeliling dan mejeng di sekitaran Buahbatu. Sepi adalah yang paling diingat. Sebab dalam sehari, buat dapat Rp50 ribu saja jauh dari kata bisa.
Dari situ, ia mencoba ke daerah lain di Kota Bandung. Namun hasilnya nihil. Hingga akhirnya firasatnya menyuruh untuk melaju ke daerah pusat kota.
"Pernah keliling ke Jalan Soekarno-Hatta tapi sepi. Masuklah ke jalur kota, ke Dago. Saya muter-muter. Akhirnya diam di sini," ungkapnya seraya mengisap rokok.
Ketika di Jalan Dago, pembeli mulanya tidak banyak. Ia pun putar otak. Setiap ada pembeli yang datang, pria bertopi itu mengajak ngobrol para pecinta kopi. Lewat komunikasi, lapaknya lambat laun ramai pembeli. Kebanyakan adalah komunitas pecinta motor.
Apalagi di hari libur, beberapa komunitas motor sengaja nongkrong di lapaknya. Menikmati kopi seduh di bawah indahnya malam Dago. Stok jualannya pun akhirnya ditambah hingga bisa meraup untung seratus ribu rupiah.
"Kalau ada kayak konvoi Persib, alhamdulillah pendapatan sampai Rp300 ribu," bebernya.
Kendati demikian, berjualan malam hari bukan tanpa rintangan. Persoalan pertama adalah rasa dingin. Pagi di Bandung memang sejuk, namun beda cerita pada malam hari: dingin.
Belum lagi masalah keamanan. Saat tengah malam, tindak kejahatan berisiko lebih tinggi muncul. Kurnia harus ekstra waspada. Tetapi ia bisa sedikit tenang sebab selalu ada pembeli yang nongkrong di lapak starling-nya.
"Ya ada aja yang kayak gitu, bahkan pernah malam-malam waktu pulang didempet sama orang lain, kayak mau begal, untungnya nggak apa-apa," ujarnya.
Selain itu, tantangannya adalah pedagang kopi starling modern. Pedagang ini menjual kopi susu ala kafe, namun harganya jauh lebih murah. Keberadaan pedagang tersebut memberikan dampak bagi usaha Kurnia.
"Sangat berpengaruh, apalagi ke langganan dan pendapatan," akunya.

Hidup di Antara Survei dan Jalanan
Jauh sebelum menjadi pedagang kopi starling, Kurnia telah berlanglang buana di dunia survei dan korporat. Ia mengawali kisahnya dengan lulus sekolah sekitar tahun 1998. Kurnia kemudian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun tak selesai.
Alasannya karena biaya. Di awal kuliah, biaya ditanggung oleh sang kakak. Namun menjelang pertengahan semester, ia harus membayar UKT sendiri.
Namun uang memang sering kali jadi tembok yang tak bisa dipanjat hanya dengan niat. Kurnia berhenti di tengah jalan, semester empat. Ia mulai mencari rezeki sendiri, apa saja, asal halal dan bisa bertahan.
"Mungkin karena sudah tahu uang, jadi kuliah terasa jauh,” gumamnya.
Tahun 2002 jadi titik baliknya. Ia ditawari kerja pertama kali sebagai tenaga survei di Lembaga Survei Indonesia (LSI). “Kalau sekarang mah disebutnya freelance. Kami keliling, mencatat data produk, mencari outland,” kenangnya.
Lima tahun ia bergulat dengan pekerjaan itu, sebelum akhirnya pindah ke perusahaan distributor makanan dan minuman. Di sana ia bekerja sebagai sales selama tiga bulan. Lalu dia dipindahkan ke bagian survei berkat pengalamannya.
Bakatnya memang di survei. Dari survei, ia naik ke posisi audit. Sebuah lompatan yang jarang terjadi tanpa latar pendidikan tinggi.
Lalu datang tawaran baru dari perusahaan bir di Cimareme, Cimahi. Dua tahun ia bertahan di sana, sebelum kembali lagi ke dunia survei dan audit. Dunia yang akrab dengannya. Dunia di mana ia merasa berguna. Hingga badai pandemi datang.
"2019 menjelang Covid, saya putus kontrak. Perusahaan goyang, semua ekonomi hancur,” ceritanya.
Ia kehilangan pekerjaan. Dunia yang dibangun dari lapis-lapis pengalaman itu runtuh hanya dalam hitungan bulan. Akibatnya, ia sempat menganggur nyaris setahun. Bahkan ia sempat menjadi juru parkir di kawasan Tegalega.
Kurnia adalah satu dari banyak wajah yang tak masuk statistik kemajuan ekonomi. Namanya tak tercatat dalam berita besar, tapi kisahnya menggambarkan ketangguhan tanpa selempang kehormatan. Dari survei, sales, audit, hingga pengangguran karena pandemi. Ia hidup dalam jeda antara harapan dan realita.
“Saya cuma mau kerja yang halal. Itu saja,” tutupnya pelan.
Tubuhnya tegap meski raut lelah tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia bukan siapa-siapa di panggung gemerlap media, tapi kisah hidupnya adalah potret getir dari banyak orang yang bertarung dalam sunyi, di antara kerasnya kota dan laparnya perut.
Dan di hari itu, di lapak kopi starling-nya, Kurnia kembali menyesap kopinya. Pahit, seperti hidup, tapi tetap hangat—karena ia belum berhenti berjuang.
Menjadi Penjual Kopi Starling Ketimbang Nganggur
Namun bukan hanya Kurnia yang menaruh asa lewat kopi starling. Di Kota Bandung, hampir di pusat keramaian terdapat pedagang ini. Misalnya di Jalan Dipatiukur, Jalan Riau, hingga Jalan Asia-Afrika. Salah satunya adalah Rizky (32).
Ia telah menjadi penjual kopi starling sejak setahun yang lalu. Dia bilang, berjualan di malam hari memberi cerita berbeda. "Kalau pagi orang buru-buru, kalau malam mereka santai. Ngobrol bisa lama,” katanya sambil menyeduh kopi pesanan malam itu, Jumat, 6 Juni 2025.
Rizky berjualan mulai pukul 5 sore hingga lewat tengah malam, tergantung ramainya pembeli. Ia biasa mangkal di sekitar taman kota, perempatan ramai, atau depan minimarket 24 jam. Tapi paling sering di Jalan Dipatiukur. Targetnya jelas: sopir ojek daring, pasangan muda, dan anak-anak nongkrong yang malas masuk kafe tapi tetap ingin kopi.
Motornya sudah tak muda, suara knalpotnya berat, tapi ia merawatnya sepenuh hati. Di belakang motor, rak plastik dipasang berisi kopi berbagai merek. Di sampingnya, termos air panas berdiri.
“Kadang saya bikin kopi lebih dari 60 gelas semalam,” ujar Rizky. Ia menjualnya dengan harga Rp5.000 per gelas.
Meski kelihatan santai, menjadi pedagang kopi malam tidak selalu romantis. Sebab hawa dingin kerap menembus jaketnya, membuatnya menggigil. Tapi ia tetap bertahan. Baginya, ini lebih baik daripada menganggur. Rizky memilih kerja, walau di jalan.
Ia pernah mencoba kerja di toko ponsel, tapi hanya bertahan tiga bulan. Upah kecil dan waktu kerja panjang membuatnya kembali ke jalan.
"Di sini saya bebas. Kalau sepi bisa pindah. Kalau capek ya istirahat di pinggir jalan,” ujarnya.
Jam menunjukkan pukul 8 malam. Rizky baru saja melayani dua pemuda yang minta kopi tubruk, lalu duduk di trotoar sambil bercanda. Malam semakin sunyi, hanya diselingi suara motor melintas dan gelak tawa sesekali. (*)