AYOBANDUNG.ID - Waduk Cirata, salah satu sentra budidaya ikan terbesar di Jawa Barat, kini menjadi sorotan setelah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa ikan hasil budidaya di sana mengandung merkuri tinggi dan tidak layak konsumsi. Ia mengungkapkan kekhawatiran untuk mengambil tindakan tegas karena bisa memicu gelombang protes dari ribuan pembudidaya yang menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut.
Pernyataan itu mendapat respons keras dari para pembudidaya keramba jaring apung (KJA) di sekitar waduk. Mereka tidak menampik bahwa pencemaran logam berat di Cirata memang sudah lama menjadi masalah, namun menyayangkan pernyataan sepihak tanpa diikuti dengan solusi konkret dari pemerintah. Asep Sulaeman, salah satu pembudidaya yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Cirata (MPC), mengungkapkan bahwa dirinya telah mengetahui kondisi air tercemar sejak 2009 berdasarkan sejumlah penelitian. Ia menyebut pencemaran diperparah oleh air lindi dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti yang mengalir langsung ke waduk.
Pernyataan Menteri Trenggono dinilai berpotensi merusak kepercayaan pasar terhadap ikan Cirata. Padahal, Cirata dan Jatiluhur selama ini menyumbang produksi ikan air tawar dalam jumlah besar untuk Jawa Barat. Para pembudidaya khawatir, stigma negatif akibat pernyataan menteri akan menurunkan nilai jual ikan mereka di pasaran, tanpa diimbangi tindakan tegas terhadap sumber pencemar utama seperti limbah domestik, industri, dan pertanian.
Berbagai penelitian memang mengonfirmasi tingginya kadar logam berat di Waduk Cirata. Sebuah studi tahun 2009 oleh Adang Saputra menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri di sedimen mencapai 26,83 mg/kg, dengan timbal 2,38 mg/kg dan besi 29.495 mg/kg. Studi itu juga mencatat peningkatan kadar logam berat pada ikan patin yang dibudidayakan di keramba setelah enam bulan, dengan kandungan merkuri naik drastis dari 0,0001 mg/kg menjadi 0,025 mg/kg.
Penelitian lain oleh Nandang Priyanto dan tim (2008) mengungkapkan bahwa logam berat dalam air dan sedimen di Cirata kerap melampaui ambang batas aman. Misalnya, kandungan merkuri di outlet waduk sempat mencapai 62,58 ppb, jauh di atas batas aman 2 ppb. Sementara itu, studi dari Universitas Padjadjaran (2020) mencatat bahwa air di beberapa titik pengamatan mengandung timbal 0,0307 mg/L, sudah melewati batas baku mutu untuk budidaya ikan air tawar.

Kondisi ini tak hanya membahayakan keberlanjutan usaha budidaya, tetapi juga mengancam kesehatan konsumen yang mengonsumsi ikan atau tutut dari waduk tersebut. Meski beberapa sampel biota masih menunjukkan kadar logam di bawah ambang batas aman, namun fakta bahwa pencemaran telah menjalar ke air dan substrat menandakan bahaya yang kian nyata.
Para peneliti menekankan perlunya langkah pemulihan serius. Penataan ulang kawasan budidaya dan penegakan aturan terhadap sumber pencemaran dianggap sebagai solusi mendesak. Hal senada juga disuarakan Asep, yang menyatakan dukungannya terhadap pemerintah jika benar-benar serius menata ulang kawasan Cirata secara menyeluruh, bukan sekadar mengeluarkan peringatan di media.
Menurut Asep, para pembudidaya sudah terlalu lama menjadi korban dari kondisi lingkungan yang memburuk. Ia menambahkan bahwa program revitalisasi Citarum yang selama ini digaungkan pemerintah belum menunjukkan dampak signifikan bagi perbaikan kualitas air di Cirata.
Jika pemerintah ingin menghentikan budidaya demi menjaga keselamatan pangan masyarakat, para pembudidaya berharap ada kompensasi dan langkah transisi yang adil. Tanpa itu, mereka akan terus berada dalam dilema antara menjaga kesehatan konsumen dan mempertahankan mata pencaharian.
Dalam menghadapi persoalan lingkungan yang kompleks seperti ini, keseimbangan antara keberlanjutan ekosistem dan kelangsungan ekonomi masyarakat menjadi kunci. Tanpa penanganan menyeluruh dan kolaboratif, waduk yang dulu menjadi sumber kehidupan bisa berubah menjadi ancaman diam-diam bagi banyak pihak. (*)