AYOBANDUNG.ID -- Jarang yag tahu bahwa ada sentra tusuk sate yang tersembunyi di pelosok Kabupaten Bandung. Di wilayah Desa Kutawaringin dan sekitarnya, terutama di Kampung Randukurung, tusuk sate menjadi bagian dari tradisi hidup yang sudah berjalan puluhan tahun.
Tak jauh dari Stadion Si Jalak Harupat, kawasan ini menjadi pusat aktivitas warga yang mengolah bambu menjadi tusuk sate. Setiap hari, warga yang kebanyakan perempuan lanjut usia, sibuk membelah dan meraut bambu.
Bambu-bambu tersebut kemudian dijemur di tepi jalan atau halaman rumah mereka. Setelah itu bambu tersebut dibersihkan dan dirapihkan menjadi ribuan tusuk sate.
Salah satu perajin yang saban hari duduk di teras rumah sembari mengolah bambu gombong menjadi tusuk sate adalah Karmini. Ia tampak lihai mengiris bambu sepanjang jengkal, lalu meraut ujungnya agar runcing sebelum dijemur agar tidak berjamur.
Aktivitas ini sudah menjadi bagian dari rutinitas hidupnya sejak muda. “Satu batang bambu bisa jadi ratusan ikat, tapi pengerjaannya bisa berhari-hari. Yang penting ada pemasukan, meski tak seberapa,” ujar Karmini.
Produksi tusuk sate di Kampung Randukurung memang bukan hal yang baru. Menurut warga, tradisi ini sudah berlangsung sejak sekitar tahun 1950-an. Nama Otob disebut-sebut sebagai salah satu pelopor di masa awal produksi tusuk sate.
Namun kegitan tersebut juga menyebar ke kampung-kampung lain seperti Cipeundeuy, Ciherang, Sinday, dan Cigondok. Meski mayoritas perajinnya adalah perempuan lanjut usia, generasi muda mulai ikut ambil bagian membantu proses awal seperti membelah bambu.
“Daripada bengong, mending bikin ancos,” ujar Uu, salah satu perajin, menggunakan istilah lokal untuk menyebut tusuk sate.
Ia sendiri masih aktif bekerja meski usia sudah senja. Bahkan Uu mengaku menikmati aktivitas tersebut meskipun hasilnya tidak besar.
Setiap batang bambu yang dibeli seharga Rp50.000–Rp60.000 bisa diolah menjadi sekitar 200–300 ikat tusuk sate. Satu ikat berisi 200 tusuk, dan biasanya dijual Rp1.500–Rp2.500 untuk dua ikat.
Dengan kecepatan produksi rata-rata 3–5 hari per batang, penghasilan harian perajin memang belum tinggi. Namun bagi warga sekitar, penghasilan tersebut tetap cukup untuk menopang kebutuhan dasar.
Setiap pekan, hasil produksi dikumpulkan oleh para pengepul. Kemudian barang-barang tersebut dipasarkan ke berbagai daerah, mulai dari Kabupaten dan Kota Bandung hingga ke Subang dan sekitarnya.
Permintaan tusuk sate pun terus meningkat, seiring meluasnya penggunaan benda tersebut untuk berbagai kuliner selain sate, seperti cilok, cilor, dan cilung.