AYOBANDUNG.ID - Lupakan Vin Diesel dan Dominic Toretto. Bandung era 1970-an sudah punya versi lokal Fast and Furious, tapi dengan nama lebih sopan: balap becak. Bedanya, kecepatan bukan dari turbo, tapi dari nasi rames dan sebotol jamu buat doping halal. Dan jangan remehkan tikungan Gasibu, di sana banyak becak hampir salto tanpa efek CGI.
Kala itu, balap becak menjadi satu hiburan rakyat yang bikin degup jantung penonton meningkat dan betis para peserta kejang-kejang. Sebuah tontonan kolosal yang tak kalah menegangkan dari MotoGP, hanya saja tanpa Valentino Rossi dan tanpa mesin 1.000cc. Cukup dengan sepasang betis dan keyakinan.
Suasana balapan ini begitu berkesan hingga diabadikan oleh Majalah Mayapada No. 116, Th. IV, 6 Mei 1971. Begini narasinya:
"Belakangan ini mereka didjuluki 'Radja.' Radja djalanan, jg. ditakuti dan disegani. Bukan karena wibawa mereka jang patut dihormati, melainkan karena sepak terdjang mereka jang sungguh2 mentjiutkan 'njali'."
Siapa mereka? Ya, para tukang becak yang biasanya duduk melamun di bawah pohon kini menjelma jadi jagoan trek lurus. Balap becak bukan sekadar lomba genjot-genjotan. Ini adalah ajang eksistensi. Tempat tukang becak naik panggung. Momen ketika pedal-pedal jadi senjata dan becak berubah jadi kuda besi.
Bagaimana antusiasme publik? Jangan ditanya. Warga datang ramai-ramai, bahkan dari luar kota. Yang nonton sambil duduk di pinggir jalan, yang berdiri di trotoar, dan yang bawa anak kecil di atas pundak, semua larut dalam semangat. Kalah menang bukan soal. Yang penting lihat becak bisa lari seperti kesurupan.
Sejak tahun 1970-an, beberapa lokasi jadi arena balap: dari Gasibu, Gedung Sate, hingga finish line di Ciwastra. Tapi memori itu pelan-pelan larut oleh waktu. Untungnya masih ada yang mengingat. Salah satunya Adang Sudarman, tukang becak 63 tahun yang kami temui di sekitar Jalan Suniaraja, dekat Pasar Baru. Wajahnya terkejut begitu ditanya soal balap becak.
“Balap becak itu diadakan satu tahun sekali. Acara paling besar itu diadakan di Gasibu dan Gedung Sate,” ujar Adang. Soal hadiah? “Abdi ge hilap deui.”
Sosok Adang bukanlah pembalap. Ia penonton. Tapi ingat betul antusiasme rakyat kecil saat itu. Kadang, ia menonton sambil membayangkan jadi pembalap. Tapi hidup berkata lain. “Jadi dulu itu, yang langganan juara balap becak itu berasal dari timur. Kebanyakan kode becaknya itu KR,” ungkapnya. KR adalah kode untuk becak asal Kiaracondong, wilayah yang konon menghasilkan pembalap becak paling ganas.
Kabar dari Adang membawa Ayobandung pada nama samar: seseorang dari Kiaracondong yang selalu juara. Sebuah perburuan dimulai. Bertanya sana-sini, dari tukang parkir hingga pedagang gorengan. Hingga pada suatu hari, bertemulah Ayobandung dengan Maman Suherman, veteran pengayuh becak sejak 1970 yang hanya punya satu gigi tersisa tapi segudang cerita.
“Betul, dulu memang ada salah satu tukang becak yang selalu mewakili daerah Kiaracondong untuk balap. Di Jalan Papanggungan, coba cari di sana,” ujar Maman sambil naik becaknya, melenggang perlahan menyusuri aspal.

Gumbira Juara Sang Legenda Hidup
Jalan Papanggungan X, Sukapura, Kiaracondong. Sang legenda akhirnya ditemukan: Tarya Sutarya, pria jangkung berumur 70 tahun yang dulu dikenal sebagai Gumbira Juara. Ia bukan sembarang pengayuh becak. Ia juara sejati. Bukan sekali. Tapi tiga kali. Dan bukan menang karena hoki, tapi karena betis yang ditempa sejak usia 12 tahun.
“Saya itu gak sengaja narik becak, karena pas usia 12 tahun atau lulus SD kalau gak salah,” kenangnya. Becak yang ia kayuh adalah milik Pak Kastim, disewa Rp300 sehari. Bagi Tarya kecil, itu adalah awal dari segalanya. Ia narik becak dari tahun 1969, lebih tua dari sebagian besar gedung kantor kelurahan hari ini.
Sampai suatu hari, dari radio, ia dengar kabar tentang balapan becak di Gasibu dan Gedung Sate. “Ngincer hadiahnya,” katanya jujur, seperti anak SD mengejar permen.
Didukung teman-temannya yang tergabung dalam PEPERGA (Persatuan Pengayuh Roda Tiga), Tarya mendaftar. “Kalau gak salah waktu itu saya diantar teman yang lain untuk mengikuti lomba.”
Balapannya sendiri tidak main-main. Total ada 100 peserta, dibagi 10 grup. Setiap peserta harus mengelilingi lintasan tiga kali. Menariknya, becak tak boleh kosong. Harus ada penumpang sebagai penyeimbang. Ya, jadi pembalap becak saat itu butuh kecepatan dan kestabilan. Sedikit miring, bisa "tiguling."
Tarya kecil menang. “Alhamdulillah pas di putaran terakhir saya berhasil menjadi juara pertama dan mendapatkan hadiah dari panitia,” kenang Tarya. Hadiah itu bukan uang. Tapi lebih mulia dari uang: beras dua karung, kaos, jamu, dan radio baterai.
Tak berhenti di sana, ia menang lagi di dua kompetisi lain, termasuk lomba dengan rute Baleendah–Ciwastra. Luar biasa? Tentu. Saat itu, tukang becak jadi seperti legenda jalanan. Dan becak milik Tarya, diberi nama Gumbira, ikut menjadi legenda tersendiri.
Tarya pensiun dari balapan dan narik becak sekitar tahun 1982. Ia lalu bekerja di SPBU Jalan Riau hingga 2009. Sekarang? “Ya sekarang mah di rumah aja ngasuh incu,” katanya, lalu tertawa. Katanya, badannya masih bugar. “Mungkin pengaruh dulu narik becak, olahraga terus.”

Ia bukan cuma saksi sejarah. Tapi bagian dari sejarah itu sendiri. Ia tak punya medali emas, tapi ia punya kenangan yang cukup jadi cerita lintas generasi.
Balap becak memang sudah tinggal cerita. Kota berubah. Becak digantikan ojek online, balapan digantikan TikTok. Tapi kisah para “Radja Djalanan” seperti Tarya adalah pengingat bahwa Bandung pernah punya momen ketika rakyat kecil jadi sorotan, bukan karena kontroversi, tapi karena keberanian dan otot betis.
Sosok awam tak pernah masuk buku sejarah. Tapi mungkin, di hati warga sekitar Jalan Papanggungan, nama Gumbira Juara tetap hidup. Tak peduli berapa karung beras yang ia menangkan, yang penting: ia pernah jadi raja. Tanpa mahkota. Cukup dengan pedal dan semangat.
Kalau lewat Kiaracondong, tengoklah gang kecil di Papanggungan. Siapa tahu, Gumbira masih tersenyum di beranda rumah, menyambut cucu—dan sesekali, pewarta penasaran yang ingin menuliskan namanya lagi.