Sekuntum bunga
(Tsvetok)
Sekuntum bunga kering dan layu
Kulihat dalam bukunya.
Aku penuh idaman sayu,
Idaman masa lalunya.
Di mana bunga ’tu bermekar,
Siapa memetikkannya?
Teman, musuh atau pendekar?
Mengapa sini diletakkannya?
Untuk mengingat temu manis,
Saat berpisah yang sedih,
Atau tamasya jalan kaki
Di taman indah dan bersih?
Dan apa nasib pemetiknya?
Masih hidup? Masih kekal?
Atau pun menjadi layu
Bak bunga ’tu yang tak kenal?
1828
***
Mawar
(Roza)
Di manakah mawar,
Temanku tersayang?
Layulah mawar,
Hilang bak bayang.
Jangan berkata:
Masa muda pun layu.
Jangan berkata:
Kehidupan tak sayu.
Mohon maaf
Pada kusuma,
Tunjukkan kami
Bunga lili.
1828
***
DI JANTUNG KOTA MOSKOW, pada hari yang cerah di bulan Juni 1799, dunia menyambut kehadiran sosok yang akan menjadi raja puisi Rusia. Alexander Sergeyevich Pushkin, seorang bangsawan yang lahir dalam kondisi kekurangan, tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas sastra Rusia.
Keluarga bangsawannya tak menghalangi bakatnya untuk tumbuh; justru, akar yang dalam dari keanekaragaman budaya dan sejarah keluarganya memberikan warna unik pada karya-karyanya.
Sejak usia muda, Pushkin menunjukkan kecintaan yang mendalam pada bahasa dan puisi. Pada tahun 1811, ia melangkah ke dalam dunia sastra yang lebih besar ketika ia diterima di Tsarskosel’sky Litsei di St Petersburg. Di sinilah, dalam suasana yang penuh inspirasi, kerinduan akan kebebasan serta keindahan alam terlahir dalam karya-karyanya.
Sajak, ingatan, dan ungkapan jiwa pertama kali mengalir dari tangannya seperti aliran sungai yang tak terputus. Karya-karya awalnya, seperti "Vospominaniya o Tsarskom Sele" dan "Roza", menunjukkan betapa dahaga jiwa seorang anak muda untuk memahami dunia di sekitarnya.
Namun, perjalanan Pushkin tak selamanya mulus. Semangatnya yang berkobar untuk kebenaran dan kebebasan bersuara dianggap berbahaya oleh pemerintah tsar. Dalam jangka waktu yang singkat, ia mendapati dirinya terasing di selatan Rusia. Pembuangan ini, yang seharusnya menjadi penjara jiwa, malah menjadi ladang subur bagi benih kreativitas yang ditanamnya.
Di balik batas pengasingan, lahir karya-karya monumental, seperti "Kavkazskiy Plennik" dan "Bakchisaraysky Fontan", yang merenungkan kerinduan dan kesedihan, serta keindahan alam yang tak terlupakan.
Salah satu mahakarya yang mencerminkan perjalanan hidupnya adalah "Eugeny Onegin", sebuah novel bersajak yang tak hanya mempertanyakan nilai-nilai masyarakat, tetapi juga mengundang pembaca untuk merenung mengenai cinta, kehilangan, dan arti kehidupan.
Karakter Onegin yang skeptis dan Lensky yang romantis seakan berbicara langsung kepada setiap individu yang pernah merasakan dilema serupa. Tatiana, sosok wanita dalam novel tersebut, menampilkan konflik antara cinta dan kehormatan, simpati dan pengorbanan, menjadikan setiap pembacanya terhubung dengan naluri kemanusiaan yang mendalam.
Di antara kisah-kisah indah tersebut, Pushkin tak henti-hentinya menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan. Puisi-puisinya, seperti "Kebebasan" dan "Desa", memberikan lirik yang memperjuangkan keadilan dan kebebasan dari penindasan.
Dia menegur situasi sosial yang tidak adil, bahkan ketika dirinya berisiko menghadapi kemarahan penguasa. Namun, langkahnya tak dapat dihentikan, dan semangatnya tak akan padam.
Baca Juga: Dago dan 'Mata di Jalan'

Seiring waktu, Pushkin menemukan kebahagiaan dalam pernikahan dengan Natalia Goncharova, sosok yang mengisi hidupnya dengan cinta dan inspirasi. Namun, di balik kebahagiaan itu, bayang-bayang konflik tetap menghantui langkahnya.
Pada tahun 1837, duel tragis dengan Georges Dantes membawa penulis besar ini pada akhir yang menyedihkan. Dalam pertarungan yang seharusnya menjaga kehormatan, Pushkin mengalami luka fatal yang mengakhiri hidupnya, namun menandai awal legasi yang akan abadi.
Sejarah mencatat gerakan cerdasnya, menuangkan kata-kata yang mampu menggugah jiwa banyak orang. Pushkin bukan hanya sekadar penyair, tetapi juga pencipta bahasa Rusia modern. Karya-karyanya diterbitkan dalam juta-an eksemplar dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, memperkuat posisinya sebagai pilar sastra dunia.
Hari kelahirannya setiap tahun dirayakan sebagai Hari Budaya Rusia, sebuah pengakuan akan cinta dan pengorbanan seorang seniman yang tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga mengubah cara orang melihat dan merasakan.
Di sisi patung Pushkin yang berdiri kokoh di Moskow, terukir petikan dari puisinya, "Lama aku akan disanjung oleh orang banyak, karena aku membangkitkan rasa baik hati melalui puisiku...". Kata-kata ini menggema seiring berjalannya waktu, menegaskan bahwa meskipun jasadnya telah terpisah dari dunia, jiwanya hidup dalam tiap bait yang mengekspresikan kebebasan, cinta, dan keindahan.
Karya-karya Pushkin terus menginspirasi generasi baru penulis dan pecinta sastra, menciptakan jejak yang tak akan pernah hilang. Cinta Rusia terhadap Pushkin mengajarkan kita tentang kekuatan kata-kata, bahwa sebuah puisi dapat menjadi jembatan bagi jiwa-jiwa untuk saling terhubung. Dalam setiap bait, kita menemukan suhu kehidupan, nostalgia, dan harapan—semua yang pernah, sedang, dan akan ada dalam perjalanan panjang umat manusia. Di sinilah, di antara puisi dan prosa, kita menemukan diri kita sendiri. (*)